Senin, 31 Agustus 2015

MAKNA KITAB SUCI GIOK LEK ( Bab 2 )

II. COH KANG ONG

Raja Giam kun yang kedua.

Kraton dimana Coh kang ong berkuasa letaknya diluar lautan besar, arahnya juga ke timur, pegang kuasa atas orang-orang yang berdosa melakukan berbagai macam kejahatan yang beraneka ragam bentuknya seperti :
1. Menculik anak, menipu laki atau perempuan yang belum dewasa lalu dijual untuk dijadikan budak.
2. Merebut dan menguasai harta benda orang lain.
3. Berhati culas dan punya maksud jahat misalnya merusak mata, kuping atau membuat buntung kaki tangan orang lain.
4. Menjadi dokter atau tabib gadungan menjual obat palsu demi mengeruk keuntungan pribadi dosa yang satu ini teramat berat.
5. Memungut anak perempuan dijadikan babu setelah dewasa tidak diizinkan menikah, sehingga masa remajanya terbuang percuma, hal-hal yang sering dianggap sepele ini juga ada sanksinya.

Bagi mereka yang melakukan kesalah-kesalahan seperti tersebut diatas akan diusut perkaranya, setelah jelas persoalannya baru akan dijatuhi hukuman, petugas yang menunaikan perintah akan menggusurnya ke dalam sidang, disini dosa kesalahannya akan dibeberkan dan berdasarkan undang-undang neraka yang berlaku diputuskan hukumannya.

Perlu dijelaskan lebih jau bahwa dikraton kedua ini Coh kang ong yang berkuasa dengan sebutan Wan cai dimana terdapat lima ratus Yu sun yang berkeliling letak satu dengan lain Yu sun jaraknya ada empat puluh dupa. Diluar lima ratus Yu sun ini masih terdapat pula enam belas neraka kecil. Sesuai dengan fungsi dan peranannya ke 16 neraka kecil ini mempunyai nama yang berbeda, yaitu :

Hek hun swa
Dalam neraka kecil yang pertama ini, arwah yang harus menjalan hukuman akan dicincang kaki tangannya, bila tiba saatnya akan menghembus datang angin badai yang membawa pasir hitam, begitu kencang dan derasnya angin berpasir ini, sehingga tubuh si terhukum tak karuan lagi bentuknya, sekujur badan penuh luka-luka, bayangkan saja betapa derita siksa yang dialaminya. Usai disiksa disini masih harus masuk neraka kecil kedua.

Pun sai ni
Sesuai namanya lumpur kencing dan najis. Dalam keadaan badan penuh luka terkena pasir hitam, dineraka kedua ini si terhukum dicemplungkan kedalam lumpur kecing dan najis. Selama beberapa waktu lamanya ia direndam dalam lumpur itu, padahal betapa busuk baunya, setiba saatnya baru dikeluarkan dan harus menjalani siksa bentuk lain pula di neraka kecil ketiga.

Ngo jia
Dalam neraka kecil ketiga yang gelap ini terdapat lima jalan simpang, dibagian atas jalan setinggi leher manusia direntangkan kawat-kawat baja yang simpang siur. Begitu si terhukum masuk kesini ia tidak akan kuat bertahan duduk atau berdiri karena lantainya panas, didalam kegelapan dia tentu akan lari kian kemari mencari tempat yang aman namun setiap kali bergerak tentu lehernya terjirat kawat, begitu jatuh ia pasti hangus terbakar. Begitulah selama berada di neraka ketiga ini si terhukum akan jatuh bangun dan terjirat lehernya dalam kegelapan. Setelah habis tempo hukumannya baru dikeluarkan dan dimasukkan pula ke neraka kecil keempat.

Ki goh
Dalam keadaan tubuh luka kena pasir, bau busuk karena kencing dan najis, lalu terbakar dan melepuh di neraka kecil keempat yang juga gelap gulita ini, ia tidak disiksa secara badaniah, tapi dalam jangka waktu yang ditentukan ia tidak diberi makan dan minum. dalam keadaan lemas lunglai kembali ia diseret ke neraka kecil kelima.

Cou kai
Dalam keadaan lemas lunglai ini kembali tubuhnya dipanggang diatas bara yang berkoar hingga hangus.

Long hiat
Dalam keadaan lemas lunglai, tidak makan lagi tubuh penuh luka dan kotor sudah tentu luka-luka ditubuhnya itu akhirnya membusuk dan bernanah, saking lapar dan tak tertahankan lagi terpaksa ia menghirup darah dan nanah ditubuhnya sendiri.

Tang hu
Di neraka kecil ini terdapat banyak kawat tembaga yang besar berjajar, mereka yang dihukum disini dibakar sampai tubuhnya hangus lebur menjadi abu. Tapi ditempat ini ada malaikat yang bertugas, begitu tubuh si terhukum menjadi abu, dengan senjata wasiatnya ia dapat memulihkan tubuh si terhukum seperti sedia kala. begitulah secara ulang alik hukuman itu harus dilakoni hingga temponya habis.

To tong hu
Di neraka kecil ini juga dibentang banyak kawat-kawat kuningan bukan besar tapi kecil lagi halus, juga bukan dibakar tapi dipanasi seperti datangnya arus listrik yang bertegangan tinggi hingga siterhukum akan bergetar dan meronta-ronta saat arus panas itu dialirkan.

Tiat khai
hukuman ini masih terus berlanjut di neraka ke 9 disini terdapat gilingan besi. Semua pesakitan disini digilas dengan gilingan besi raksasa hingga tubuhnya hancur lebur dan gepeng. Tapi malaikat yang berdinas disini akan memulihkan kembali badan kasarnya, lalu digilas lagi hingga jatuh temponya.

Sui liang
Di neraka kecil ke 10 ini para pesakitan akan digantung dengan leher ditusuk kaitan besi yang bentuknya mirip kaitan dacing, ada pula yang ditusuk kakinya, pinggang, mulut atau perutnya, seusai menjalani hukuman disini, masih diseret keneraka kesebelas.

Ke siauw
Aneh adalah di neraka kesebelas ini banyak terdapat ayam-ayam jago, tapi bukan jago sembarang jago, karena paruh dan taji jago-jago ini ternyata sekeras baja dan tugas jago-jago ini adalah mematuki badan para pesakitan.

Si ho
Dalam neraka ke 12 ini terdapat sungai tapi air sungainya dari kapur putih tidak pernah mengalir, para pesakitan dicemplungkan ke sungai kapur dan ditenggelamkan sampai beberapa waktu lamanya.

Ciak ciat
Begitu ada pesakitan terhukum disini datanglah iblis-iblis jahat dengan bentuk dan tampang yang menakutkan lebih mengerikan lagi iblis-iblis ini membawa pedang besar. Ada pula yang membawa kapak, para pesakitan dibentangkan kaki tangannya, lalu satu persatu dibacok putus dan badannya terus dicincang hingga luluh. Namun malaikat yang berwenang disini mengembalikan badan kasarnya terus didorong ke neraka ke empat belas.

Kiam yap
Disini terdapat hutan pedang, tak terhitung banyaknya pedang-pedang runcing dan tajam yang ditata dengan ujungnya menghadap keatas pesakitan yang masuk disini langsung dilempar kedalam hutan pedang ini hingga tubuhnya tertembus pedang. Aneh adalah para pesakitan yang badannya luka tertembus pedang ini tidak mati namun dibiarkan tersiksa kenereka lima belas.
Dalam neraka kecil ini berkeliaran srigala-srigala kelaparan yang sengaja diciptakan dengan gigi dan taring setajam pisau, demikian pula cakarnya sekuat ujung tombak. Pesakitan yang dijebloskan dineraka ini menjadi rebutan kawanan srigala lapar itu, hingga yang sisa hanya tulang belulangnya, namun malaikat yang bertugas mengebutnya kembali menjadi sedia kala. Begitulah secara berulang-ulang tubuhnya dibiarkan menjadi santapan kawanan srigala.

Han ping
Air yang teramat dingin biasanya mengeras menjadi es berbeda dengan air dalam empang di neraka ke enam belas ini, dinginnya melebihi es tapi tidak beku. Bila pesakitan direndam dalam air empang ini, kawanan iblis lalu berjaga dengan ketat tiada satu pun para pesakitan yang bisa menongolkan hanya kepalanya sekalipun dipermukaan air.
Maka kalau manusia di dunia ini, lelaki atau perempuan suka membaca dan menganjurkan orang lain juga membaca Giok lek, atau buku yang ada padamu kau berikan kepada orang lain serta menyebar luaskan kitab suci ini. Atau bila melihat orang lain sakit, sering membelikan obat dan memberikan bubur atau nasi, membimbing si lemah dan membantu keluarga miskin, walau dahulu ia pernah berbuat salah dan berdosa, tapi kalau belakangan mau insyaf dan bertobat, maka jasa dan pahala berbuat baik itu dapat menebus dosa kesalahannya, malah bukan mustahil takaran kebaikannya akan menghimpas hukuman yang semestinya ia jalani.

Untuk ini perlu dianjurkan untuk lebih giat beramal, mencintai sesamanya terutama semua makhluk berjiwa, tidak sembarang membunuh atau menganiaya. Berilah petuah kepada anak-anak jangan membunuh serangga apapun, selama hidup dianjurkan untuk berbuat baik. Saat bertobat dan berjanji untuk berbuat baik yang paling tepat adalah tanggal 1 bulan 3 penanggalan imlek, tapi selanjutnya harus bersumpah pantang membunuh dan membebaskan atau melepaskan hewan dan ikan atau burung, kelak setelah meninggal arwahnya tidak usah masuk neraka yang penuh siksa derita, tapi boleh langsung menitis arwahnya kepada keluarga bangsawan atau keluarga dermawan di dunia.

MAKNA KITAB SUCI GIOK LEK ( Bab 1 )

MAKNA KITAB SUCI GIOK LEK

I. CIN KHONG ONG Raja Giam kun pertama

Tugas penting dan paling utama bagi Cin khong ong adalah menguasai mati hidup manusia untung atau buntung bagi arwah-arwah yang memasuki akhirat. Disini ada petugas atau pemandu yang kerjanya menimbang baik atau buruk arwah seseorang, entah dia akan diantar ke sorga atau harus segera dilempar kembali ke dunia fana dan dilahirkan dikeluarga kaya berpangkat atau bangsawan. Bagi orang yang pahala kebaikkannya dua kali lipat lebih banyak dari standar yang sudah ditentukan, setelah mati arwahnya akan langsung diantar dan diserahkan kepada Giam kun ke 10. Dari sini akan langsung dilahirkan kembali ke dunia fana sebagai manusia biasa. Bagi orang yang semasa hidupnya melakukan kejahatan lebih banyak dari kebajikan, setelah mati diharuskan naik ke Giat khia thai. Giat khia thai terletak di sisi kanan ruang sidang, tingginya ada satu tombak lebih kaca bundar yang bergaris tengah 10 kaki itu digantung kearah timur menghadap matahari, disebelah atasnya bergantung juga sebuah pigura besar, dimana terukir huruf-huruf yang berbunyi, diatas ( didepan ) Giat khia thai tiada orang baik.

Terutama kawanan setan dan dedemit yang banyak melakukan kejahatan dan perbuatan terkutuk, didepan kaca besar ini ia dapat melihat sendiri seluruh kejahatan yang pernah dilakukannya di dunia, seolah-olah melihat adegan-adegan yang menjijikan itu di layar bioskop atau di televisi saja. Maka berdasarkan nilai kejahatan dan dosa-dosa perbuatannya itu, para petugas yang juga pemandu itu menggusurnya dan diserahkan kepada Giam-kun kedua untuk menerima hukumannya. Tatkala itu walau kamu insaf dan bertobat, meski anda menerima segudang emas juga tak mungkin membawanya kemari, bahwa dosa-dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, menyesal atau bertobat juga sudah terlambat. secara kenyataan justru orang-orang seperti inilah jumlah perbandingannya paling banyak di dunia.

Orang-orang yang melakukan kejahatan, ruang lingkupnya justru teramat luas, misalnya mengeruk keuntungan sendiri dan merugikan orang lain. Yang kuat menindas yang lemah, menindas mereka yang lemah dan baik hati, lupa budi, tidak membalas kebaikannya malah mencelakainya. Durhaka terhadap orang tua, bersifat kejam dan suka membunuh, menganiaya hewan, membunuh dan merebut hartanya, mengadu domba dan mengada-ada menimbulkan kasus berdarah dan segala perbuatan yang melanggar kebenaran dan kemanusiaan, segala dosa kesalahan bertumpuk pada dirinya. Maka berdasarkan data-data nyata, menurut taraf kesalahannya, masing-maring digusur dan diserahkan kepada Giam kun ke 2 untuk menjalani hukuman sesuai dengan ganjarannya.

Satu hal perlu diperhatikan tanpa mempedulikan kasih sayang dan asuhan bunda sendiri yang melahirkan dirinya, hanya lantaran suatu masalah kecil tak berarti, tapi nekad bunuh diri mengakhiri hidupnya, kecuali bunuh dirinya itu demi membela kebenara, kesucian, menegakkan loyalitas dan demi membela nusa dan bangsa, setelah mati akan diangkat menjadi malaikat bagi mereka yang memandang enteng kehidupan dan bunuh diri itu memang banyak ragamnya, umpamanya hanya karena perbedaan paham menimbulkan rasa benci dan dendam lalu bunuh diri, atau ada yang bunuh diri karena dirinya melakukan pelanggaran dan konangan, karena takut dihukum lalu bunuh diri. Malah ada juga yang ingin membuat orang lain celaka lalu pura-pura bunuh diri, namun main-main malah jadi sungguhan, maka cara bunuh diri seperti ini akan memperoleh hukuman sesuai dengan perbuatannya. oleh petugas arwahnya akan diseret kembali ketempat dimana ia bunuh diri, arwahnya dilarang menerima persembahan sesaji atau sembahyangan.

Kalau disana dia diam-diam menyembunyikan diri dan tidak menampakkan diri untuk menakuti manusia, maka arwahnya akan digusur dan diserahkan kepada Giam kun kedua, disini akan diperiksa jasa-jasa kebaikannya semasa hidup, kalau memang harus dijebloskan kedalam neraka maka ia akan mendapat siksaan disana. Tapi ada juga orang yang bunuh diri tapi sukmanya gentayangan, karena matinya tidak wajar atau karena tidak rela mati, diwaktu malam sering menampakkan bentuknya yang aneh dan menakutkan untuk mengejutkan orang dan membuat mereka ngeri. Kalau ada kejadian seperti ini, maka Cin khong ong akan mengutus petugasnya setan muka hijau dengan sepasang taringnya yang besar membawanya keberbagai neraka untuk menjalani hukuman. Seusai menjalani hukuman masih harus dijebloskan ke neraka paling gelap dan besar yang dinamakan Ho pit, disini ia digantung dan dirantai selamanya tidak boleh menitis kembali ke dunia. Maka bunuh diri itu hukumannya amat berat di neraka.

Maka dianjurkan kepada manusia supaya pada tanggal 1 bulan 2 penanggalan imlek, berlutut ke arah barat dan sembahyang dengan tulus dan khidmat, berjanji akan menganut ajaran buddha dan berusaha mengembangkannya, belas kasihan terhadap sesamanya dan menolong yang menderita kalau hal ini bisa dilaksanakan, dirinya akan panjang umur dan setelah meninggal arwahnya akan diangkat masuk sorga, di sorgaloka sepanjang masa akan menikmati hidup abadi

Asal Mula Timbul-nya GIOK LEK

Asal Mula Timbul-nya GIOK LEK

Ini-lah kisah nyata seorang Petapa bernama Tham Ling, seorang yang benar-benar sudah mencapai tinggi dari Ajaran yang dianut-nya. Waktu itu pada Hari Cong Yang di Bulan 9 Tahun Ik Ngo di zaman Thay Ping. Seorang diri Tham Ling ber-tamasya di puncak sebuah Gunung. Saat mana ia berada di tengah hutan lebat yang menempel di samping Gunung, tiba-tiba ia menemukan sebuah batu yang bentuk-nya aneh, mirip pilar tapi bukan pilar. Di atas batu mirip pilar ini terukir 56  huruf-huruf yang makna-nya menganjurkan Manusia untuk berbuat bajik.

Ketika ia keheranan dan kaget, mendadak di-lihat-nya pula di arah depan sebelah kanan muncul Istana yang megah semarak dengan warna merah emas gemerlapan, pintu besar-nya berwarna merah maron tertutup rapat, sementara pilar di atas pintu besar itu berukir 4 huruf "Jut Seng Jip Si" ( keluar hidup masuk mati ).

Pelan-pelan Tham Ling menghampiri, saat ia melihat kiri kanan di depan Istana, pintu gerbang-nya terbuka sedikit, dari balik pintu beranjak keluar seorang Laki-laki ber-baju hijau, sikap-nya agung suci mirip Dewa, dengan gerakan tangan ia mempersilahkan Tham Ling menuju ke sebelah kiri menuju pintu kecil di samping sana, kini mereka berada di pinggir dalam sebuah ruangan besar yang terang benderang. Di kursi Singgasana di tengah atas sana duduk satu Dewa Langit si baju hijau segera berbisik di pinggir telinga-nya. Hari ini adalah Ulang Tahun Hong To Tay Te, Beliau itu-lah yang duduk di Singgasana.

Tham Ling meng-angguk-angguk kepala, sikap hormat-nya timbul dalam sanubari diam-diam ia sembunyi di pojokan yang agak gelap terlindung tirai. Pada saat itu-lah di-lihat-nya 10 Raja Neraka dengan berpakaian lengkap kebesaran-nya ber-iring memasuki ruang besar, satu per satu mereka menyampaikan sembah sujud dan mengucap selamat semoga panjang umur, lalu berdiri dua baris di samping menunggu Petunjuk.
           
Terdengar Hong To Tay Te berkata kepada mereka, Te Cong Ong Pou Sat memberikan belas kasih-nya berupaya untuk memberikan pengampunan dan menolong Manusia untuk memperoleh tuntutan ke Jalan Benar. Maka seluruh Arwah-arwah yang tersiksa di Neraka, meski mereka pernah melakukan dosa, asal mau ber-tobat dan menyesali perbuatan-nya. Boleh diberi keringanan hukuman-nya. Apalagi Te Cong Ong Pou Sat sudah menyampaikan laporan-nya kepada Giok Hong Siang Te, tentang ditulis dan disusun-nya Kitab GIOK LEK yang mana isi-nya menjelaskan segala kenyataan yang ada di Akhirat, tujuan-nya supaya Manusia yang hidup di Dunia dapat membuang kejahatan dan melakukan Kebajikan.

Sebetul-nya Kitab Suci Giok Lek ini sudah lama disusun dan dibukukan, hanya saja selama ini belum diperoleh seorang Manusia yang bijak, berbudi luhur yang dapat diberi tugas untuk menyebarluaskan Ajaran ini ke mayapada, hal ini sungguh membuat kita menyesal. Kebetulan sekali saat ini hadir satu Orang yaitu Tham Ling yang sembunyi di pojokan sana, ku-kira dia-lah pilihan yang tepat untuk mengemban tugas ini. Kepada-nya-lah kita serahkan Kitab Suci Giok Lek supaya disebarluaskan ke Dunia fana, agar Masyarakat banyak mengerti apa akibat seseorang yang melakukan kejahatan, sebalik-nya Orang yang berbuat bajik akan mendatangkan kebahagian bagi Anak Cucu-nya kelak, semoga dengan penjelasan yang mendasar dari Kitab ini, dapat menyadarkan Manusia untuk merubah sifat buruk dan kesalahan-nya.

Pada saat itu-lah mendadak keadaan menjadi terang benderang oleh cahaya warna-warni, perlahan-lahan tampak Koan Si Im Pou Sat turun dari Angkasa, ber-gegas Hong To Tay Te memimpin 10 Raja Neraka menyambut di depan Istana, semua membungkuk sambil menunduk kepala, pertanda menyambut sepenuh hati. Koan Si Im Pou Sat menampakkan tubuh keemasan-nya dengan suara-nya yang lembut tapi berwibawa berkata, “Firman atas Perintah Giok Hong Siang Te atas usul dan anjuran Te Cong Ong Pou Sat, harus diupayakan supaya GIOK LEK disebarluaskan kepada Manusia di Dunia.”

Biar-lah Orang-orang yang melakukan kejahatan insaf dan ber-tobat, selanjut-nya tidak akan melakukan kejahatan pula, dengan catatan mereka boleh menebus dosa kesalahan yang pernah dilakukan-nya sesuai dengan Ajaran yang berbunyi “Pang He To To Lip Te Seng Hud. Maksud tujuan-nya memang mencapai puncak Kebajikan.”  Kitab Suci ini boleh diserahkan kepada Tham Ling untuk dibawa ke Dunia, secara jelas dan rinci harus diajarkan kepada Manusia, supaya Masyarakat luas mengetahui betapa banyak ragam kejahatan yang dilakukan di Dunia, betapa banyak pula macam siksa hukuman tersedia di Akhirat, timbal dan balik hanya masalah cepat atau lambat, bencana atau bahagia, bajik atau jahat hanya berputar dalam lingkaran yang akhir-nya menjadi satu dan tidak mungkin kosong.

Habis menyampaikan Firman Giok Hong Siang Te, dengan wajah-nya yang bersih dan welas asih, dengan tangan tetap memegang dahan pohon serta menebarkan air suci, perlahan-lahan terbang ke Angkasa dan lenyap di balik awan. 10 Raja Neraka juga lantas mohon diri kepada Hong To Tay Te untuk kembali ke Istana-nya masing-masing di Akhirat.

Sementara Tham Ling juga sedang menerima se-jilid Kitab Giok Lek yang diberikan oleh Laki-laki baju hijau sambil menjunjung tinggi Giok Lek di atas kepala Tham Ling berlutut ke arah Hong To Tay Te serta ber-sumpah selama hayat-nya dia akan menunaikan tugas suci ini. Dengan di antar Laki-laki baju hijau segera ia keluar dari Istana, setiba ia di dalam hutan dimana tadi ia menemukan batu berukir itu, batu pilar yang aneh itu sudah tidak kelihatan lagi. Waktu ia menoleh, Istana megah yang benderang itu pun lenyap tak jelas arah-nya, yang tampak hanya-lah puncak Gunung yang dibungkus awan.

Bergegas-lah Tham Ling turun gunung dan langsung lari pulang, sejak hari itu ia ber-tekad untuk men-dharma bakti-kan diri-nya dalam Jalan Suci, menunaikan tugas mulia yang diterima-nya dari Para Dewa, menyebarluaskan Kitab Giok Lek dengan segala daya dan kekuatan-nya, ia yakin makna murni dari Kebajikan Kitab ini akan dapat diresapi oleh Manusia umum-nya. Itu-lah tugas berat yang menjadi tanggung jawab-nya, semoga ia tidak mengecewakan harapan Para Dewata yang mau memberikan pengampunan kepada Manusia. Dari sini-lah asal mula Kitab Suci GIOK LEK.

Senin, 24 Agustus 2015

JIANG ZI YA - 姜 子 牙

Jiang Zi-ya (姜 子 牙dalam lafal Hokkian disebut Kiang Cu Ge) adalah tokoh Dewa yang sangat terkenal dan dihormati di kalangan rakyat. Kelenteng yang memujanya biasa disebut Taigongmiao atau Wu Chengwang-miao (kuil Raja Muda Kemiliteran), bertebaran hampir di semua tempat.

Siapakah Jiang Zi-ya sesungguhnya? Mengapa dipuja orang selama berabad-abad?

 Jiang Zi-ya seorang tokoh sejarah. Ia bernama Shang (尚), alias Zi-ya (子 牙), dan bergelar Fei Xiong (飛 熊Beruang terbang) dari daerah Jizhou (sekarang adalah kabupaten Ji, di Propinsi Hebei, Tiongkok Tengah). Konon ia keturunan Kaisar purba Yan Di (炎 帝 ). Kemudian moyangnya menjadi pejabat tinggi Kaisar Shun, karena berjasa besar dalam membantu Yu mengatasi bencana banjir, lalu dianugerahi nama keluarga “Jiang”, dan berkuasa di wilayah Lu (sekarang disebelah barat kota Nanyang, propinsi Henan), sehingga kemudian disebut Lu Hou (Adipati Lu). Sebab itu dalam sejarah, ia sering disebut Lushang atau Jiangshang. Dan ada pula yang menyebutnya Jiang Zi-ya. “Zi” adalah panggilan kehormatan untuk pria pada jaman dahulu. Sebab itu dengan menyebut Jiang Zi-ya, mereka menyatakan hormat terhadapnya.

Tentang sebutan Taigong (太 公Thay Kong dalam lafal Hokkian), memang ada asal-usulnya. Waktu Raja Wenwang berkeliling ke berbagai tempat menyambangi para cendekiawan, ia bertemu dengan Jiang Zi-ya. Dengan girang ia berkata : Pertemuan ini sejak lama didambakan oleh Lao Taigong (maksudnya ayahanda Kaisar Wenwang)”. Sejak itu orang-orang lalu menyebutnya Jiang Taigong (姜 太 公 ,Kiang Thay Kong).

Jiang Taigong seorang cerdas dan sangat berpengetahuan. Waktu itu jaman berkuasanya Dinasti Shang, keadaan memaksa tidak bisa mengembangkan kepandaian. Bersama dengan berlalunya sang waktu ia melewatkan hidupnya dalam kesunyian di wilayah terpencil dililit kemiskinan. Menurut catatan “Literatur Sejarah Kuno”, ia pernah bekerja sebagai jagal di ibukota Chaogou (sekarang terletak di Kabupaten Tangyang, Propinsi Henan) jual Arak di Mengjin, (sebuah kota kecil di tepi Sungai Huang He). Sampai berumur 70 tahun, ia tetap belum memperoleh kesempatan untuk bekerja mengembangkan bakat.

Pada saat ia dihimpit kemelaratan, tersiar berita bahwa Wenwang dari kerajaan Zhou di wilayah barat mengundang pada cendekiawan untuk membantu pemerintah. Kabarnya beliau sangat berbudi dan menghormati orang pandai. Jiang Zi-ya lalu pergi kesana. Di negeri itu ia mendirikan gubug di tepi Sungai Weishui, hidup sepi menghabiskan waktu dengan mengail. Dari sini muncul pemeo yang terkenal sampai sekarang “Jiang Taigong mengail, hanya ikan yang ditakdirkan saja yang terkail” (姜 太 公 釣 魚 愿 者 上 鉤 - Jiang Taigong Diao Yu, Yuan Zhe Shang Gou). Ia tinggal di tepi Sungai Weishui sambil menunggu kesempatan bertemu dengan Wenwang. Bertahun-tahun ia menempuh penghidupan sebagai pengail, sampai batu yang didudukinya selagi mengulur joran membekas lekukan, tapi orang yang didambakan belum juga muncul. Hampir ia putus asa dalam penantian yang tak kunjung akhir. Suatu hari datanglah Wenwang diiringi para pembesar bawahannya berkunjung ke gubuknya.

Ketika ia melihat seorang bangsawan berwajah cakap agak kehitam-hitaman muncul dihadapannya, hati Zi-ya berdebar-debar. Dalam tutur sapa pertama kali, Wenwang bahwa ia tidak salah memilih orang. Jiang Zi-ya ternyata menunjukkan kecakapan dan kebijaksanaannya serta pandangan luas dalam tukar pendapat dengan Zi-ya. Wenwang sangat gembira dan bersyukur atas ini. Dengan upacara yang megah ia menyambut Zi-ya untuk tinggal di istiana. Ketika itu Jiang Zi-ya telah berumur 80 tahun.

Jiang Zi-ya diangkat sebagai perdana menteri. Ia membantu Wenwang mengatur jalannya roda pemerintahan, memantabkan politik serta meningkatkan militer, membangun pertanian dan meninggikan produksi pangan sehingga rakyat hidup tenteram. Setelah dirasa mantap ia menggerakkan kekuatan militer menaklukkan wilayah-wilayah sekelilingnya untuk memperlemah kekuasaan pusat, sebaliknya dari hari ke hari Kerajaan Zhou makin kuat. Ibukota Zhou dari Qishan ke Fengcheng. Demikianlah sampai pada saat meninggal Wenwang, kerajaan Zhou sudah menguasai 2/3 wilayah Tiongkok sudah siap memberi pukulan terakhir untuk meruntuhkan Dinasti Shang.

Sebelum cita-cita ini tercapai Wenwang meninggal dunia digantikan oleh Ji Fawang bergelar Wuwang. Dipimpin oleh Jiang Zi-ya, angkatan perang Zhou menyerbu negeri Shang, untuk merampungkan cita-cita almarhum Wenwang. Setelah meruntuhkan Shang, berdirilah Dinasti Zhou yang menguasai seluruh daratan Tiongkok. Dengan ibukota Haojing (sekarang dikabupaten Chang’an propinsi Shanxi). Karena jasa besarnya, Jiang Zi-ya diangkat sebagai Raja muda dari Qi (sekarang terletak di sebagian besar propinsi Shandong). Dialah kemudian yang menurunkan raja-raja dari negeri Qi itu. Dia juga yang kemudian menulis kitab ilmu perang yang disebut “Ilmu perang Taigong”, kitab ini kemudian dikembangkan ahli-ahli perang jaman kemudian.

Dari kisah diatas dapat dimengerti bahwa Jiang Zi-ya sesungguhnya adalah seorang ahli militer kenamaan. Mengapa ia melantik para dewa? Mungkin karena dalam sejarah namanya sangat terkenal banyak cerita rakyat dan hikayat mengacu kepadanya. Kemudian cerita-cerita mengenai Jiang Zi-ya yang banyak beredar di kalangan rakyat dihimpun dan disusun Xu Zhong-lin menjadi sebuah novel panjang dengan judul “Penganugerahan Para Dewa” (Fengshen Yanyi). Dalam cerita dikisahkan Jiang Zi-ya turun dari pertapaannya di Kunlun Shan dan membawa perintah dari Mahadewa Yuanshi untuk mengangkat roh orang-orang yang gugur dalam peperangan menumbangkan dinasti Shang menjadi malaikat.

Sebagai manusia setengah Dewa, Jiang Zi-ya disejajarkan dengan Kongzi (Khong Cu) didalam pemujaan. Jiang Zi-ya dipuja sebagai Dewa pelindung kemiliteran, Kongzi sebagai pelindung kaum cendekiawan dan pelajar, keduanya menjadi dewata yang umat pemujanya sangat luas. Pada Dinasti Tang tahun Kai-yuan ke 19 (masehi 732) bulan 4 tanggal 18, pemerintahan Kaisar Xuanzong (Li Longji) di seluruh negeri secara serentak mendirikan Taigongmiao (Kelenteng Pemujaan Jiang Zi-ya) dengan Zhang Liang, seorang perdana menteri dari Dinashi Han, diangkat sebagai pendampingnya. Semua pejabat, baik sipil maupun militer sedang akan berangkat menjalankan tugas atau menerima kenaikan pangkat, meletakkan jabatan dan menjalani masa pensiun, mengadakan pesta perkawinan dan ulang tahun, semua harus lebih dulu mengadakan sembahyang di kelenteng tersebut.

Ketika Kaisar Gaozong Dinasti Tang bertahta, tahun Shang-yuan pertama (Masehi 674) bulan ke empat kabisat, tanggal 19, mengangkat Jiang Taigong sebagai Wu Chengwang (Raja Muda Kemiliteran). Sampai pada jaman Dinasti Song (utara), Kaisar Zhenzong menambah gelar kehormatan baginya. Sejak itu secara resmi kelenteng Taigongmiao disebut sebagai Wu Chengwang-miao ( 武 成 王 廟 ) sejajar dengan pemujaan kelenteng Kongzi.

Pemujaan Jiang Zi-ya dikalangan masyarakat telah berakar, di kalangan rakyat sering kita jumpai tulisan kertas kuning berbunyi “Jiang Taigong ada di sini” ( 姜 太 公 在 此 ,Jiang Taigong Zai Ci). Waktu mendirikan rumah, saat menaikkan wuwungan, ditempelkan kertas merah bertuliskan “Jiang Taigong berada disini, semua baik dan menyenangkan” wuwungan sesaji samsing, lilin dan dupa lalu disulut petasan.

Satu keluarga yang tinggal pada rumah besar kuno, suatu saat dirasa rumah itu angker atau diganggu mahkluk halus, di pintu besar ditempelkan kertas merah bertuliskan Taigong Zai Ci” untuk mengusir pengaruh jahat dan mengusir iblis-iblis pengganggu.

Di beberapa kelenteng di Indonesia sering dijumpai patung Jiang Taigong memancing, ditempatkan taman atau halaman rumah, untuk hiasan atau keindahan juga untuk mengingatkan kita akan ketekunan dan kesabaran Jiang Zi-ya dalam meniti karir tentu saja juga untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh jahat.

TAI YANG XING JUN

Tai Yang Xing Jun

DEWA MATAHARI DAN DEWI REMBULAN ( RI SHEN, YUE SHEN ).

Ri Shen (Jit Sin – Hokkian) yaitu Dewa Matahari secara umum disebut Tai Yang Gong (Thay Yang Kong – Hokkian) atau Paduka Surya, dan Yue Shen (Gwat Sin – Hokkian) seringkali disebut Tai Yin Niang (Thay Im Nio – Hokkian) atau Ibu Candra.
Pemujaan terhadap bulan, matahari sudah ada sejak jaman purba dan bukan hanya monopoli bangsa Tiongkok saja. Pemujaan ini termasuk pemujaan kenegaraan di mana para pegawai kerajaan bersujud dan menyediakan sesaji di depan papan roh Dewa Matahari. Sedang pemujaan terhadap Dewi Rembulan diadakan bertepatan dengan pesta panen disaat bulan purnamanya, tanggal 15 bulan 8 Imlik. Pada saat ini biasanya orang-orang bersama keluarganya menyalakan Hio dan bersujud kepada Dewi Rembulan di halaman rumah mereka.Ri Shen atau Dewa Matahari dikenal juga dengan nama Tai Yang Di Jun (disingkat Tai Yang Gong saja), Yue Shen atau Dewi Rembulan disebut juga Tai Yin Huang Jun (Tai Yin Niang) atau Yue Fu Chang E (Chang E dari istana rembulan).

Sedangkan peringatan Zhong Qiu (Tiong Tjhiu – Hokkian) yang jatuh pada tanggal 15 bulan 8 (Pwee Gwee Cap Go) dianggap sebagaihari lahirnya Tai Yin Niang alias Chang E. Umumnya mereka bersembahyang dengan menyediakan sebuah meja kecil di kebun pada saat bulan purnama dengan menyajikan buah-buahan dan bunga segar.Pemujaan terhadap bulan dan matahari ini hanyalah sebagai peng-hormatan terhadap keduanya, jarang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar. Umumnya orang-orang menghadap ke arah kedua benda angkasa itu saat bersembahyang, jarang ada kelenteng yang didirikan untuk mereka. Di Tainan hanya ada sebuah kelenteng saja yang terdapat patung Dewi Rembulan dan Dewa Matahari, yaitu di kelenteng San Guan Tang. Di Indonesia pemujaan terhadap Matahari dan Rembulan amatlah sedikit.



HAKIM BAO QING TIAN 包青天

Bao Zheng (Hanzi: 包拯) (999-1062) adalah seorang hakim dan negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian (包青天) yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih. Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi (包黑子) yang artinya si hitam Bao karena warna kulitnya yang gelap. Nama kehormatannya adalah Xiren (希仁).

Bao dilahirkan dalam keluarga sarjana di Luzhou (sekarang Hefei, provinsi Anhui). Kehidupan awalnya banyak memengaruhi kepribadiannya. Orang tuanya walaupun hidup pas-pasan, namun masih sanggup menyekolahkannya dengan baik. Ketika sedang mengandungnya, ibunya sering turun naik gunung untuk mengumpulkan kayu bakar. Di kampungnya dia banyak berteman dengan rakyat jelata sehingga dia mengerti beban hidup dan masalah mereka. Hal ini membuatnya membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Orang yang berpengaruh besar pada kehidupannya adalah Liu Yun, seorang pejabat kehakiman di Luzhou, seorang pejabat yang ahli dalam puisi dan literatur serta adil dan membenci kejahatan. Dia juga seorang yang menghargai intelektual dan bakat Bao. Di bawah pengaruh Liu, Bao bertekad untuk memberikan kesetiaannya terhadap kerajaan dan cintanya pada negara dan rakyat.

Pada usia 29 tahun, dia lulus ujian kerajaan tingkat tertinggi dibawah pengujian langsung dari kaisar hingga menyandang gelar Jinshi. Sesuai hukum dan peraturan saat itu yang mengatakan bahwa seorang sarjana Jinshi dapat ditunjuk menempati posisi penting dalam pemerintahan, maka Bao diangkat sebagai pejabat kehakiman mengepalai Kabupaten Jianchang. Namun dia mengundurkan diri tak lama kemudian karena sebagai anak berbakti dia memilih pulang kampung untuk merawat orang tuanya yang sudah tua dan lemah selama sepuluh tahun. Baru setelah kematian orang tuanya, dia kembali diangkat sebagai pejabat, kali ini sebagai pejabat kehakiman Provinsi Tianchang. Ketika itu dia telah berumur 40 tahun.

Sebagai pejabat, Bao bekerja dengan adil, berani, dan berpegang pada kebenaran. Kecerdasan dan bakatnya membuat banyak orang kagum, termasuk Kaisar Song Renzong yang mempromosikannya dan memberikannya jabatan penting termasuk sebagai hakim di Bian (sekarang Kaifeng), ibukota Dinasti Song. Dia terkenal karena pendiriannya yang tak kenal kompromi terhadap korupsi di antara pejabat pemerintahan saat itu. Dia menegakkan keadilan bahkan menolak untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi darinya bila itu tidak benar termasuk pada Guru Besar Liu Pang(庞太师), ayah mertua kaisar yang merangkap guru besar yang membimbing putra mahkota sehingga Liu Pang sangat menganggap Bao sebagai musuhnya.

Sejarah mencatat bahwa selama kurang lebih 30 tahun sejak dia memegang jabatan pertama kalinya, sebanyak lebih dari 30 orang pejabat tinggi termasuk beberapa mentri telah dipecat atau diturunkan pangkatnya olehnya atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Enam kali dia melaporkan pada kaisar dan memintanya agar memecat pejabat tinggi, Zhang Yaozhuo, paman dari selir kelas atas kerajaan, tujuh kali untuk memecat Wang Kui, pejabat tinggi lain yang kepercayaan kaisar, bahkan dia pernah beberapa kali membujuk kaisar untuk memecat perdana mentri Song Yang. Dalam kapasitasnya sebagai juru sensor kerajaan dia selalu sukses meyakinkan kaisar tanpa membawa kesulitan bagi dirinya, padahal dalam sejarah banyak juru sensor telah mengalami nasib yang buruk, seperti misalnya Sima Qian, sejarawan dan filsuf Dinasti Han yang dikebiri karena Kaisar Han Wudi tidak bisa menerima pendapatnya.

Dalam pemerintahan, teman dekatnya adalah paman kaisar yaitu Zhao Defang yang lebih dikenal dengan nama pangeran ke delapan (八王爷, Ba Wang Ye). Di kalangan rakyat, Bao Zheng dikenal sebagai hakim yang adil dan berani memutuskan segala sesuatu berdasarkan keadilan tanpa rasa takut, juga mampu membedakan mana yang benar dan yang salah. Baginya siapapun termasuk kerabat dekat kaisar sekalipun harus dihukum bila terbukti bersalah melakukan pelanggaran. Bao meninggal tahun 1062 dan dimakamkan di makam keluarganya di Hefei, di kota itu juga dibangun kuil untuk mengenangnya (包公祠).

Bao Zheng dalam legenda

Bao Zheng banyak menghiasi karya literatur dalam sejarah Tiongkok, kisah hidupnya yang melegenda sering ditampilkan dalam opera dan drama, kebanyakan kisah-kisah ini didramatisasi. Dalam opera biasanya dia digambarkan sebagai pria berjenggot dengan wajah hitam dan tanda lahir berbentuk bulan sabit di dahinya (beberapa versi menyebutkan tanda ini berasal dari luka ketika dia memberi hormat dengan sangat keras pada ibunya untuk menunjukkan baktinya).

Disebutkan juga bahwa kaisar menganugerahi Bao tiga gilotin (alat penggal) dalam tugasnya sebagai hakim. Ketiga gilotin itu mempunyai dekorasi yang berbeda dan digunakan untuk menghukum orang sesuai statusnya. Guilotine kepala anjing untuk menghukum rakyat jelata, kepala macan untuk menghukum pejabat korup, dan kepala naga untuk menghukum bangsawan jahat. Dia juga dianugerahi tongkat emas kerajaan oleh kaisar sebelumnya untuk menghukum kaisar sendiri bila bersalah dan pedang pusaka kerajaan sebagai tanda berhak untuk menghukum siapapun termasuk anggota kerajaan tanpa melapor atau mendapat persetujuan dulu dari kaisar. Dalam tugasnya dia dibantu oleh enam deputinya yaitu polisi Zhan Zhao, sekretaris Gongsun Zhi, dan empat pengawal Wang Chao, Ma Han, Zhang Long, dan Zhao Hu. Selain itu juga lima pendekar dari dunia persilatan yang dijuluki lima pendekar tikus. Keduabelas orang ini disebut “tujuh pendekar lima ksatria” (七侠五义, qi xia wu yi).

Beberapa kisah legendanya yang terkenal adalah :

鍘美案, mengisahkan Bao Zheng mengeksekusi Chen Shimei, seorang sarjana yang meninggalkan anak istrinya setelah lulus ujian kerajaan dan menikahi seorang wanita bangsawan, Chen bahkan mencoba membunuh istrinya dengan mengirim pembunuh bayaran.

貍貓換太子, mengisahkan Bao membongkar konspirasi dalam istana, dimana bayi putra mahkota ditukar dengan anak kucing ketika baru dilahirkan. Dalam kasus ini Bao harus berhadapan dengan kasim yang menjadi temannya pada awal kariernya, Guo Huai sehingga Bao harus memilih antara perasaan pribadi sebagai teman dan kewajibannya menegakkan keadilan. Bao menyamar sebagai dewa Yama, raja neraka untuk membongkar kejahatan Guo Huai. Guo pun akhirnya mengakui segalanya karena dia mengira telah berada di neraka.

Bao Zheng dalam budaya populer

Kisahnya yang difilmkan oleh sebuah perusahaan film Taiwan dengan judul Justice Bao (包青天) meraih popularitas luar biasa di Asia pada dekade 90-an, tak lama kemudian untuk mengikuti kesuksesannya, Hongkong pun ikut menggarap kisah ini dengan aktor pemeran Bao yang sama pula, Jin Chaoqun, namun tidak sesukses versi Taiwannya.

Hampir semua kisah dalam serial ini adalah fiksi yang dihubungkan dengan kehidupannya, namun sarat dengan nilai-nilai tradisional Tiongkok, seperti bakti pada orang tua, kesetiaan pada negara, dan kehormatan.

ARYAACALANATHA

ARYAACALANATHA

Ia memiliki kebajikan berupa belas kasih agung, sehingga menampilkan dirinya dengan tubuh berwarna biru tua. Ia memiliki kebajikan berupa meditasi ketenangan, oleh karena itu, duduklah ia di atas sebongkah batu Vajra. Ia memiliki kebijaksanaan agung, karena dimanifestasikannya kobaran api maha besar (di sekeliling tubuhnya).

Ia memegang pedang kebijaksanaan agung untuk memusnahkan lobha, dosa dan moha (keserakahan, kebencian, dan kebodohan). Ia memegang tali samadhi untuk mengikat mereka yang sulit dibawa [menuju jalan Dharma]. Ia adalah Dharmakaya yang tanpa ciri, identik dengan alam semesta [yang luas tak terbatas] itu sendiri. Sehingga ia tidak memiliki tempat kediaman di manapun juga. Tempat tinggalnya hanyalah di dalam pikiran para makhluk.

Pikiran dan kecenderungan ( hati ) para makhluk adalah begitu beraneka-ragamnya. Demi menyelaraskan dengan pikiran para makhluk, maka dianugerahkannya berbagai berkah bagi mereka, sehingga tercapailah apa yang mereka dambakan. Pada saat itu, setelah semua yang hadir dalam persamuan [Dharma] agung ini mendengarnya, hati mereka diliputi oleh kegembiraan. Menerimanya dengan keyakinan nan teguh serta mempraktekkannya.

Akasagarbha Bodhisattva Xu Kong Zang Phu Sa 虛空藏

XU KONG ZANG PHU SA / BODHISATTVA AKASAGARBHA

Akasagarbha Bodhisattva Mahasattva ( Xu Kong Zang 虛空藏 ) memiliki Mahamaitrikaruna , mampu mengentaskan insan dari malapetaka dan kesukaran. Jika ada insan yang telah melanggar parajika dan harus terjerumus kedalam alam rendah, semua akar kebajikannya telah terbakar. 

Bagi mereka, Akasagarbha Bodhisattva Mahasattva adalah mentari yang menerangi gelapnya pandangan salah dari avidya. Merupakan Guru Agung yang melenyapkan parajika. Mampu mencabut panah keraguan dan mampu memulihkan insan yang termasuk dalam golongan tidak mampu mendalami Dharma dengan baik. 

“Wahai putera yang berbudi, jika ada insan yang melanggar parajika, mematahkan akar kebajikan dan akan terjerumus ke neraka, tiada tempat berlindung dan telah dicampakkan oleh guru-guru, ketahuilah bahwa Akasagarbha Bodhisattva mampu mengentaskannya dan menuntunnya pada jalan sejati, menyingkirkan kilesha supaya terhindar dari alam rendah. 

Akasagarbha Bodhisattva merupakan tangga pembebasan menuju alam surga. Beliau mampu menyadarkan insan yang diliputi keserakahan , kebodohan, keraguan dan kekacauan dalam batinnya.” 

“Insan yang dipenuhi kebencian dan kegelapan batin, yang suka memfitnah tiada hukum karma, tidak takut terhadap buah karma yang akan datang, tanpa bosan selalu serakah dalam menginginkan segala sesuatu, suka iri dan dengki, tiap hari selalu melakukan sepuluh perbuatan jahat, Aksagarbha Bodhisattva Mahasattva mampu menyingkirkan dosa berat itu semua, bagaikan sebuah kendaraan besar mampu mengangkut dewa dan manusia pada jalan pembebasan .” “Wahai putera berbudi, oleh karena itulah para dewa dan manusia sepatutnya memberikan penghormatan dan pujana kepada Akasagarbha Bodhisattva Mahasattva.”

Kemudian, Maitreya Bodhisattva Mahasattva bertanya kepada Sang Buddha , “Baghavan, Saya ingin menanyakan mengenai pelanggaran parajika . Bila ada insan yang melanggar dosa tersebut, akar kebajikannya akan terbakar , terjerumus kedalam alam rendah, tersingkir dari alam yang tenteram. Selamanya kehilangan kesempatan untuk menikmati kesenangan di alam surga. Namun kenapa Akasagarbha Bodhisattva Mahasattva, mampu menyucikan para insan yang demikian itu, supaya mereka dapat kembali menikmati berkah di surga ?”

TA RE RU LAI FO / BODHISATTVA MAHAVAIROCANA 大日如來

TA RE RU LAI FO / BODHISATTVA MAHAVAIROCANA

Wairocana disebut juga Wairochana atau Mahāwairocana; Sanskerta : वैरोचन, Bengali : বৈরোচন, China : 大日如來 Dàrì Rúlái or 毘盧遮那佛 Pílúzhēnàfó , Korea : 비로자나불 Birojanabul or 대일여래 Daeil Yeorae, Jepang : Dainichi Nyorai, 大日如来; Tibet : རྣམ་པར་སྣང་མཛད། rNam-par-snang mdzad; Mongolia : Masida geyigülün zohiyaghci; Vietnam : Đại Nhật Như Lai) adalah Buddha yang sering ditafsirkan sebagai tubuh yang terberkati dari Buddha Gautama; ia juga disebut sebagai Buddha dharmakaya dan Buddha Matahari. Dalam buddhisme China-Jepang, Wairocana juga dianggap sebagai penubuhan dari konsep sunyata atau ketiadaan.

Dalam konsep Lima Buddha Kebijaksanaan mahzab Vajrayana, Wairocana terletak di tengah. Pasangannya adalah Tara putih (untuk setiap dhyani Buddha terdapat pasangan Buddha perempuan).
Mahavairocana Tantra berbicara tentang mengetahui pikiran Anda karena benar-benar adalah, itu berarti bahwa Anda adalah untuk mengetahui keadaan alami yang melekat pada pikiran dengan menghilangkan terpecah menjadi subjek yang mengamati dan benda dirasakan yang biasanya terjadi di dunia dan adalah salah dianggap nyata. ia mendefinisikan kekosongan (sunyata) sebagai suchness (tathata) dan mengatakan suchness itu adalah sifat intrinsik (svabhava) dari pikiran yang Pencerahan (Bodhi-citta).

FU LU SHOU 福祿壽 Dewa Kebahagiaan-Kemakmuran-Umur Panjang

Fu Lu Shou (Hanzi tradisional: 福祿壽; Hanzi sederhana: 福禄寿; pinyin: Fú Lù Shòu), atau Cai Zi Shou (財子壽), adalah tiga dewa yang juga disebut Fu Lu Shou Sanxing (Hanzi=福祿壽三星; lit. Tiga Bintang Fu Lu Shou). Secara terpisah, mereka adalah Fu Xing, Lu Xing, dan Shou Xing ("Xing" 星 memiliki arti "bintang"). Ketiga dewa ini telah menjadi populer selama berabad-abad dalam kultur tradisional China yang sangat menganggap penting kebahagiaan, kemakmuran, dan umur panjang.

Fu Lu Shou juga merupakan sebuah konsep Keberuntungan (Fu), Kekayaan (Lu), dan Umur Panjang (Shou). Konsep Taois ini diperkirakan berasal dari Dinasti Ming,[2] serta dipersonifikasi oleh Bintang Fu, Bintang Lu, dan Bintang Shou. Istilah ini umum digunakan dalam budaya China untuk menunjukkan ketiga ciri kehidupan yang bagus (sempurna).

Aksara Fu 福

Aksara Fu dengan gambar naga yang digunakan sebagai hiasan pintu
Aksara Fu (Hanzi= 福; jyutping Kantonis= fuk1) diterjemahkan sebagai "peruntungan bagus, kebahagiaan, beruntung, berkah" atau sebuah "marga " serta digunakan untuk menulis nama Provinsi Fujian. Dewasa ini, makna dari aksara Fu mengarah pada "bahagia karena memperoleh keberuntungan".

Selama berabad-abad, pengertian aksara Fu mengalami perubahan. Li Ji (Catatan Ritual) menerjemahkan fu sebagai "sukses" serta memiliki makna tambahan sebagai "bisnis yang berjalan lancar" dan "segala sesuatu berjalan dengan baik". Dalam Hong Fan, Shang Shu (Buku Catatan Sejarah), fu diinterpretasikan dalam lima bentuk, yaitu "umur panjang, kekayaan, kedamaian, pandangan ke depan, dan kematian tanpa penyakit". Agar mencapai fu, seseorang harus menjalankan kehidupan sempurna melalui kelima prinsip.

Han Fei dalam karyanya Han Feizi (akhir abad ketiga SM) mengartikan fu sebagai "panjang umur dan kekayaan". Ouyang Xiu, pujangga terkenal dari Dinasti Song (960-1279), mengekspresikan fu dalam sebuah syair yang berbunyi:

"Melayani negeriku sepenuh hati hingga akhir, pensiun di rumah menikmati umur panjang dan kesehatan."
Bagi masyarakat awam, fu berarti tanah, cuaca baik, panen baik, makanan berlimpah, dan pakaian yang cukup untuk seluruh keluarga. Masyarakat kuno menganggap fu jika mereka berhasil selamat dari pemimpin yang kejam, peperangan, dan kelaparan. Bagi para pedagang dan eksekutif, fu adalah emas dan kekayaan yang bertambah. Bagi orang-orang tua, tidak ada yang membawakan kebahagiaan melebihi kesehatan, umur panjang, dan dikelilingi oleh cucu-cucu.

Aksara Lu 禄

Aksara Lu (Hanzi= 禄; jyutping Kantonis= luk) memiliki arti "peruntungan bagus; gaji pemerintahan pejabat pemerintahan".Lu juga mempunyai konotasi "mengejar ketenaran dan status sosial". Shuo Wen Jie Zi (Catatan Tata Bahasa dan Huruf), lu merupakan ekuivalen dari fu. Pada masa Dinasti Shang (abad ke-16 hingga 11 SM) dan Zhou (abad ke-11 hingga 256 SM), memperoleh gelar kebangsawanan dianggap sebagai fu dan disukai raja dianggap sebagai lu. Kijang (Hanzi=鹿; pinyin= lù) bersifat homofon dengan Lu (禄) sehingga kulit rusa seringkali dijadikan lambang kekayaan.

Aksara Shou 寿

Aksara Shou memiliki arti "marga Shou; usia panjang; usia tua; umur; hidup; ulang tahun; pemakaman". Shou (usia panjang) sering digunakan bersama dengan aksara lu (bahagia) sebagai fushou (Hanzi=福寿; pinyin=fúshòu) yang merupakan sebuah ungkapkan untuk "kebahagiaan dan panjang umur".

Pada beberapa inskripsi perunggu, aksara seperti qi (orang-orang tua), xiao (mengenai anak), dan kao (ayah seseorang yang sudah almarhum) memiliki arti yang sama dengan shou.

Fu Lu Shou sangatlah populer sehingga patung ketiganya dapat ditemukan hampir di semua tempat yang memiliki komunitas China. Altar ketiganya seringkali diberi persembahan segelas air, sebutir jeruk, atau persembahan yang lain, terutama pada saat Tahun Baru Imlek. Umumnya, ketiganya diatur dari kanan ke kiri (Fu di sebelah kanan orang yang melihat, Lu di tengah, dan Shou di kiri).

Fu Lu Shou Sanxing (Tiga Bintang Fu Lu Shou) juga disebut Sanxing Menshen (Hanzi= 三星門神; lit. Dewa Pintu Tiga Bintang). Ketiganya terkadang ditampilkan dalam satu lukisan atau ukiran, atau diukir dalam tiga rupang yang berbeda.

Bintang Keberuntungan Fu Xing

Fuxing (Hanzi=福星; lit. Bintang Fu), Fu Shen (Hanzi=福神; lit. Dewa Fu), atau Fupan (Hanzi= 福判; lit. Pengawas Keberuntungan) adalah Planet Jupiter (suixing 歲星 atau muxing 木星)[7] Menurut astrologi tradisional China, planet Yupiter dianggap menguntungkan dan memiliki kuasa atas agrikultur.

Lukisan tua 28 dewa pada masa awal Dinasti Tang (618-907 M) menggambarkan Fu Xing berwajah harimau dan bermata leopard serta menunggangi babi hutan raksasa. Ia berkedudukan sebagai pemimpin para dewa. Sekarang Fu Xing digambarkan sebagai pejabat pemerintahan surga sambil membawa tongkat ruyi atau membawa gulungan yang terkadang bertuliskan karakter "Fu".Wajahnya berseri-seri dan bahagia. Terkadang sebuah gunung emas dan perak (jinyinshan 金銀山) ditampilkan di atas kepalanya, atau juga tulisan Fu 福 ditulis di dekatnya. Ia terkadang ditemani seekor kelelawar karena aksara China untuk Fu (fú 福) homofon dengan "kelelawar" (fú 蝠).

Aksara Fu biasanya dipasang di pintu dan biasanya dalam kondisi terbalik. Kata "terbalik" dan "datang" dalam bahasa China bersifat homofon sehingga membaca "Fu terbalik" akan terdengar seperti "Fu (keberuntungan) datang". Aksara fu juga merupakan aksara yang umum terdapat pada sampul angpao.

Fu mewakili harapan tertinggi masyarakat dalam kehidupan dan mencerminkan impian serta hasrat dari berbagai sudut pandang serta level sosial. Berdoa (atau harapan memperoleh) fu perlahan-lahan mempengaruhi kultur masyarakat dan menjadi pemujaan. Laozi berkata bahwa meskipun kekacauan dan keberuntungan susah diprediksikan, tetapi umat manusia dapat berusaha untuk mencapai fu.

"Dengan kata lain, satu elemen akan ada bersama elemen yang lain, sementara kekacauan dan keberuntungan dapat saling menggantikan satu sama lain."
"Kekacauan dan keberuntungan tidak memiliki pintu; engkau harus menemukan jalanmu sendiri untuk masuk atau keluar dari dalamnya."

Bintang Kekayaan Lu Xing

Luxing (Hanzi=禄星; lit. Bintang Lu) atau Lu Shen (Hanzi=禄神; lit. Dewa Lu) merupakan bintang Zeta (ζ ) Ursa Mayor, atau dalam astronomi tradisional China merupakan bintang keenam dari Rasi Istana Wenchang (文昌宮宫).Lu Xing dipercaya sebagai bintang yang pertama dari Rasi Ursa Mayor dan dipercaya memberikan berkah kepada kaum intelektual di masa lalu agar memperoleh posisi dalam pemerintahan. Pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan merupakan salah satu pekerjaan yang paling diinginkan di China kuno karena menjadi kunci untuk memperoleh kekayaan.

Pada masa Dinasti Song (960-1279), Lu Xing menjadi nama lain bagi Bintang Pelajar. Popularitas Lu Xing cukup tinggi dikarenakan metode perekrutan pejabat negeri serta sistem pendidikan China kuno menggunakan Ujian Negara. Sebelum Dinasti Sui (581-618) yang pertama kali menerapkan sistem ini, masyarakat awam sangat susah untuk bisa menjadi pegawai pemerintahan.

Pada masa feudal, seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi akan memperoleh gaji yang lebih besar sehingga memunculkan ungkapan "jabatan tinggi dan lu (gaji) tinggi". Promosi jabatan, kedudukan, dan kekuasaan menjadi keinginan utama para pejabat pemerintahan karena berpengaruh langsung terhadap pendapatan serta status sosial. Lulus ujian negara juga akan membuat seseorang memperoleh gaji dan ransum dari pemerintah, status sosial yang tinggi, membanggakan para leluhur, dan memiliki gaya hidup mewah. Kong Hu Cu (filsuf) berkata: “Belajar keras, lu akan terlihat.” Juga terdapat ungkapan bahwa buku akan mendatangkan wanita-wanita cantik dan kediaman emas.

Luxing dipercaya merupakan perwujudan dari Zhang Xian (Hanzi=張仙; lit. Imortal Zhang) yang hidup semasa Dinasti Shu.[8] Kemungkinan dirinya adalah orang yang sama dengan Zhang Yuanxiao (張遠霄) yang hidup di Sichuan pada masa periode Lima Dinasti (907-960). Ia tinggal di Gunungf Qingcheng (青城) dan berlatih Tao 道. Ia juga disebut Songzi Zhang Xian (Hanzi=送子張仙; lit. "Imortal Zhang menghaturkan seorang bayi".

Lu Xing seringkali digambarkan sedang menggendong seorang bocah lelaki. Seorang putra dalam kultur China kuno dipandang sebagai salah satu jenis harta dan menjadi sumber kenyamanan di usia tua. Semenjak Dinasti Ming (1368-1644), Lu Xing juga dipuja bagi pasangan yang mengharapkan kehadiran seorang putra. Ia biasanya ditampilkan dalam pakaian pejabat mandarin.

Bintang Panjang Umur Shou Xing

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nanji Laoren
Shouxing (Hanzi=壽星; lit. Bintang Shou) atau Shou Shen (Hanzi=壽神; lit. Dewa Shou) adalah α Carinae (Canopus), bintang Kutub Selatan dalam astronomi China, dan dipercaya mengatur panjang usia manusia. Ia juga disebut Shouxing lao'er (Hanzi=壽星老兒; lit. Pria Tua Bintang Panjang Usia), Nanji Xianweng (Hanzi=南極仙翁; lit. Imortal Tua Kutub Selatan), atau Nanji Laoren (Hanzi=南極老人; lit. Pria Tua Kutub Selatan). Ia diidentifikasikan dengan konstelasi jue 角 dan kang 亢 yang kemunculan keduanya dipercaya merupakan tanda bahwa bumi berada dalam keadaan damai.

Menurut legenda, ia berada di dalam kandungan selama 10 tahun sebelum dilahirkan, dan langsung berusia tua. Bintang Shou mudah dikenali dari dahinya yang menonjol tinggi dan buah persik di tangan yang melambangkan keabadian. Dewa Panjang Umur biasanya digambarkan tersenyum dan ramah, terkadang membawa botol labu berisi obat keabadian.

Dewa Shou adalah dewa yang paling pertama dipuja di antara ketiga bintang Fu Lu Shou, yaitu semenjak masa Dinasti Qin awal. Pada waktu itu, Dewa Shou dianggap sebagai Nan-ji Xian-weng atau Bintang Kutub Selatan yang hanya dapat dilihat di Tiongkok bagian selatan saja.[9] Akhirnya, ia digambarkan sebagai seorang tua berdahi besar, bertubuh pendek, berjanggut putih, membawa tongkat berukir kepala naga, mengendarai seekor rusa, seringkali dikelilingi lima ekor kelelawar yang melambangkan lima jenis rezeki,[10] dan burung jenjang yang melambangkan keabadian.[5] Huruf mandarin untuk rusa (pinyin=lù) memiliki persamaan bunyi dengan kekayaan; sementara aksara kelelawar (pinyin=fú) memiliki persamaan bunyi dengan keberuntungan.

Taoisme sangat menghargai kehidupan yang sekarang ini sehingga para praktisinya (serta masyarakat China yang budayanya sangat dipengaruhi Taoisme) berhasrat untuk memiliki umur panjang dan mencapai keabadian seperti para imortal. Masyarakat Dinasti Zhou mulai memberikan persembahan kepada Shou Xing serta para praktisi Taoisme semenjak masa tersebut berusaha mencari obat yang dapat menghentikan kematian.

Shou dan Fu dianggap saling berdampingan; memiliki umur panjang (Shou) berarti memiliki keberuntungan (Fu). Banyak desain tradisional yang menampilkan Shou dan Fu saling berdampingan, atau aksara Shou dikelilingi oleh lima aksara Fu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Shou dan Fu dianggap sama pentingnya. Pada Dinasti Shang dan Zhou, terdapat sebuah pepatah kuno yang menyebutkan bahwa usia panjang adalah yang paling utama di antara kelima jenis keberuntungan (penjelasan mengenai lima jenis Fu berada pada bagian Aksara Fu di atas).

Kaisar Qin Shi Huang yang mendirikan Dinasti Qin (221-206 SM) mengutus seorang pejabat beserta 500 orang perawan dan perjaka ke Laut Timur untuk menemukan Pegunungan Selatan. Dipercaya bahwa obat panjang umur akan ditemukan di Pegunungan Selatan tersebut. Semenjak saat itu, Laut Timur dan Pegunungan Selatan sangat dihubungkan dengan Fu dan Shou sebagaimana ungkapan: "Semoga kebahagiaanmu seluas laut timur. Semoga hidupmu setinggi pegunungan selatan."

Legenda

Yang Cheng gubernur Dazhou

Sastra The Ming period 明 (1368-1644) Buku Sanjiao Soushen Daquan (三教搜神大全) dari Dinasti Ming (1368-1644) menuliskan bahwa Fuxing semasa hidupnya adalah gubernur (cishi 刺史) Daozhou (道州), Hunan pada masa Dinasti Tang (618-907) yang bernama Yang Cheng (楊成). Kaisar yang memimpin saat itu menjadikan orang-orang kerdil sebagai hiburan dan sering mendatangkan mereka dari Dazhou. Saat Gubernur Yang mengetahui bahwa mereka tidak bahagia karena dipisahkan dari keluarga mereka, ia memohon kepada kaisar untuk menghentikan praktik tersebut.

Yang Cheng telah meresikokan hidupnya demi menyelamatkan penduduk dari penderitaan. Oleh karena itu, setelah kematiannya, masyarakat mendirikan sebuah kuil untuk mengenangnya, dan memujanya sebagai perwujudan dari keberuntungan (Fu).

SHE MIEN FO 四面佛

Phra Phrom (Sanskerta=พระพรหม; Vara Brahma) adalah representasi dewa Brahma dalam Hinduisme di Thailand.

Budaya Thailand memujanya sebagai dewa keberuntungan dan perlindungan.

Di luar Thailand, Phra Phrom dikenal dengan nama Si Mian Fo (Hanzi= 四面佛; pinyin= Sìmiàn fó; lit. Buddha Berwajah Empat), terutama oleh masyarakat China yang tinggal di Hong Kong, Macau, dan Taiwan. Di sana, pemujaan Phra Phrom sangat populer.

Phra Phrom juga dikenal dengan nama Brahma Catur Muka atau She Mien Fo.

Wujud Phra Phrom di seluruh Thailand tidak sama persis, tetapi memiliki perbedaan pada jumlah fajah atau tangan, meskipun umumnya digambarkan memiliki delapan tangan. Pada abad ke-3 hingga 6, India menggambarkan wujud Brahma memiliki empat tangan, tetapi artifak yang ditemukan di daerah Indochina hingga abad ke-6 hingga 11 (pada mangkuk dari periode Gandhara) masih menggambarkannya bertangan sepasang. Barulah pada abad ke-12 hingga 13, sebagian besar menggambarkan Brahma bertangan empat. Wujud Phra Phrom yang bertangan delapan pada masa kini adalah sebuah tambahan, tetapi hal tersebut juga dimaksudkan agar orang dapat melihat wujud Brahma dengan empat tangan pada setiap sisinya.

Kadang-kadang juga ada patung Phra Phrom dengan lima wajah dan delapan tangan. Wujud tersebut didasarkan pada wujud legendaris Brahma yang memiliki lima wajah, yaitu empat wajah menghadap ke keempat arah dan yang kelima menghadap langit.

Menurut legenda, kepala kelima Brahma dipotong oleh inkarnasi kemarahan Shiva, yaitu Shiva Bhairava, sehingga kini Brahma hanya memiliki empat kepala.

Wujud Phra Phom yang umum memiliki empat muka yang melambangkan empat masa penciptaan, delapan telinga yang welas kasih mendengarkan doa dari seluruh makhluk hidup, dan delapan tangan yang membawa alat-alat keagamaan yang dipercaya memiliki makna khusus.

Tasbih = Mengontrol karma makhluk hidup dan reinkarnasi.
Tangan di depan dada = Mudra belas kasih dan berkah kepada seluruh makhluk hidup.
Rumah Keong = Melambangkan kekayaan dan kemakmuran.
Vas Bunga = Air berkat pemenuh keinginan.
Kitab Veda = Ilmu pengetahuan dan kebijkasanaan.
Tongkat Tombak = Melambangkan daya kehendak dan kesuksesan.
Cittamani (Bendera Kebesaran) = Melambangkan kekuatan penuh kuasa.
Cakra = Untuk menangkal bahaya bencana dan celaka, menangkal setan dan juga menghilangkan semua kemuraman dan kekuatiran.

Sejarah pemujaan

Masuknya kultus Brahma di Thailand

Phra Phrom aslinya adalah dewa Hindu yang berasal dari India, yaitu Brahma (Brahmā), pencipta surga dan bumi yang memiliki empat wajah. Meskipun kultus Brahma di India tidak terlalu tersebar luas, di Asia Tenggara, terutama Thailand, ia dianggap sebagai dewata pelindung dalam Buddhisme yang maha kuasa.

Ajaran Brâhmana datang ke Thailand hampir bersamaan dengan kedatangan agama Buddha ke sana. Namun, ajaran Brâhmana di Thailand lebih dikenal dari segi tradisi dan tata upacaranya, alih-alih dari ajarannya; sementara agama Buddha mendapatkan tempat yang lebih resmi sebagai agama panutan. Oleh sebab itu, tradisi dan tata upacara Hindu dianggap menjadi bagian dari tradisi Buddhis. Para brâhmana sendiri, sebelum memulai upacara menurut tradisinya, memimpin peserta upacara memohon Pañcasîla kepada bhikkhu.

Masyarakat Thailand memuja Brahma dan menerima konsep pemujaannya sudah sangat lama. Kultus Brahma tersebar dari India ke Indochina, tetapi mengalami penyurutan lebih dari 700 tahun karena masyarakat Thailand selanjutnya lebih suka untuk memuja dewa Hindu yang lain, yaitu Indra. Pemujaan Phra Phrom saat ini bisa dikatakan sebagai kebangkitan kembali pemujaan Brahma di Thailand.

Pembangunan Kuil Erawan

Meskipun sebelumnya Brahma sudah dipuja oleh sebagian masyarakat Thai, puncak kepopuleran patung ini baru pada pertengahan abad ke-20. Pada saat itu, ada satu hotel yang diberi nama Erawan, yang adalah nama gajah surgawi tunggangan Indra, dibangun di pusat pertokoan kota Bangkok. Pemilik hotel ingin membangun patung dewa Indra yang sedang menunggang gajah Erawan di pojok sebelah depan hotel.

Pembangunan Hotel Erawan dimulai pada tahun 1951, tetapi kerapkali terjadi kecelakaan sehingga empat tahun kemudian proses pembangunannya belum selesai. Mayor Jenderal Joseph Su Pei Wei yang memiliki mata batin diminta untuk menginspeksi, kemudian ia menyimpulkan bahwa nama Erawan tidak cocok (bersifat sial). Meskipun sudah didirikan patung Indra Erawan, tetapi perlindungan yang diberikan masih tidak mencukupi.

Oleh sebab itu, Mayor Jenderal menganjurkan untuk memuja dewa yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Indra, yaitu Brahma. Setelah itu, hotel selesai dibangun pada tahun 1956, dan patung Brahma diletakkan di altar depan hotel. Hal tersebut menjadi kebangkitan kembali pemujaan Brahma di Thailand yang sempat padam.

Sejarah para Dewa Thailand menyebutkan bahwa yang pertama sekali lahir di jagad raya ini adalah Maha Brahma ("Se Mien Fo"). Oleh karena itu, ia dianggap sebagai sang pencipta oleh para Dewa dan manusia, sebagai Dewa terbesar karena menggerakkan alam semesta, dan penguasa alam-alam manusia, asura, yakhsa, para Dewa, dan alam-alam lainnya. Phra Phom menawarkan pertolongan kepada orang yang dengan tulus bersujud dan berdoa kepada-Nya dari seluruh arah serta memiliki keyakinan penuh.

Hari raya
Di Thailand, Asia Tenggara, China, Hong Kong, Macao, dan beberapa tempat lain, hari ulang tahun Phra Phrom dirayakan setiap tanggal 9 November. Namun, perayaan ulang tahun Phra Phrom di Taiwan berbeda-beda.

Cara pemujaan
Altar Se Mien Fo dianjurkan diletakkan di ruangan terbuka atau di luar rumah yang terletak di dekat persimpangan jalan. Menurut kepercayaan, waktu doa yang terbaik adalah antara jam 7 sampai 8 setiap harinya, karena pada waktu-waktu itu Phra Phom turun ke dunia.

Phra Phrom memiliki kekuasaan atas segala segi kehidupan manusia sehingga keempat wajahnya masing-masing mewakili aspek permohonan yang berbeda. Keempat wajah Phra Phrom mewakili cinta kasih, welas asih, kebahagiaan, dan ketenangan. Bagi yang mengharapkan posisi (karir, jabatan, akademis, dan sebagainya) akan memohon pada wajah yang berada di depan, hubungan (popularitas, cinta, pernikahan) pada wajah di kiri, kesehatan (penyembuhan, kedamaian, keharmonisan keluarga) pada wajah di kanan, dan keuangan pada wajah di belakang. Keempat wajah Phra Phrom harus dipuja semua dan tidak boleh dibeda-bedakan. Umat yang berdoa harus memujanya secara berututan searah putaran jarum jam.

Persembahan

Para pemuja Phra Phrom biasanya mempersembahkan dupa, bunga atau untaian bunga melati, dan santan kelapa muda yang diletakkan dihadapan masing-masing wajahnya. Setiap wajah mewakili aspek-aspek yang berbeda serta dipercaya memberikan berkah yang berbeda pula. Para pemujanya juga biasanya bervegetarian.

Phra Phom sangat menyukai bunga mawar kuning, melati, kelapa hijau, dan buah-buahan sebagai persembahannya.

Cara lain untuk memujanya adalah dengan meletakkan patung-patung gajah kayu di altarnya.

Phra Phrom juga dikenal sangat menyukai musik tradisional Thailand, yang dimainkan di halaman altar serta diiringi tari-tarian.

Dikatakan bahwa jika seseorang ingin supaya keinginannya dipenuhi, maka dia harus mendapatkan seorang penari striptis wanita untuk mengadakan pertunjukkan di hadapan Dewa Maha Brahma sebagai persembahan. Hal ini merupakan salah pengertian dan tidak menghargai Dewa Maha Brahma.

Doa dan mantra
Mantra pengundang Dewa Brahma:

Pah Pong (7x)
Om Palam Pati Lama (7x)
Doa Suci Phra Phom:

Om Karabindunatam Uppannam Brohmasaha Patinama Attikappe Su, A, Kato Pancapatunam Tisva Namo Buddhaya Vandanam.
Siddhi Kiccam, Siddhi Kammam, Siddhi Kariya Tadakato, Siddhi Teco Jayoniccam, Siddhi Ladho Nirantaram Sabba Kammam Pra Siddhime, Sabba Siddhi Bhawantu Me.
Mantra Phra Phom:

Maha Lapo, Maha Tero, Maha Khong Kha Phan,
Maha Savathit, Maha Sitichai,
Maha Siti Chut, Maha Amalichut,
Om, Si, Siti Ut, Bhavantu Me,
Iti Piso Bhagava, Bhagavan Patik,
Namo Buddhaya, Buddhaya, Buddhaya.

Phra Phrom dalam Buddhisme

Phra Phrom atau She Mien Fo disebut sebagai Brahmarûpa dalam agama Buddha. She Mien Fo secara harafiah memiliki pengertian “Buddha Empat Muka”.

Agama Buddha mengakui keberadaan Brahma, tetapi memiliki pengertian yang berbeda dari kepercayaan kaum Brâhmana. Brahma dalam agama Buddha bukanlah mewaliki satu makhluk saja, melainkan mewakili sekelompok makhluk dengan berbagai macam tingkatannya. Dalam Buddhisme, Brahma berada di alam tersendiri, yakni alam Brahma yang bebas dari nafsu gairah (Rûpârûpabhava). Dewa Brahma, meskipun berusia amat lama, juga akan habis masa usianya (meninggal dari alamnya). Ia pun akan melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain seperti halnya makhluk manusia dan binatang. Dan, semasih belum mencapai tingkat-tingkat kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara. Keberadaan Brahma sebagai sosok penentu nasib, pemberi rejeki, kesehatan, keselamatan, dan sebagainya, tidak dikenal dalam pengertian Buddhis.

Di dalam catatan sutra Buddhis, alam Pathana Jhana Bhumi terbagi menjadi tiga alam, yaitu alam Brahma Parisajja, Brahma Purohita, dan alam Maha Brahma. "Se Mien Fo" dalam agama Buddha dipercaya sebagai Maha Brahma Sahampati (Thai= Phra Phom Sin Nei atau Pah Pong) adalah penguasa dari alam Maha Brahma, yaitu alam tertinggi dalam alam Pathana Jhana Bhumi, dan merupakan penguasa alam semesta. Dewa Brahma Sahampati dipanggil sebagai "Se Mien Fo" (Buddha Catur Muka) karena kewelasasihannya yang sangat besar kepada seluruh makhluk hidup, yang berwujud dan tidak berwujud, sehingga ia yang dari seorang Dewa kemudian mencapai ke-Bodhi-an.

BODHISATTVA MANJUSRI 文殊師利菩薩 Wénshūshili Púsà

BODHISATTVA MANJUSRI

Manjusri (bahasa Tionghoa: 文殊 Wénshū atau 文殊師利菩薩 Wénshūshili Púsà ); Jepang: Monju; Tibet: Jampelyang; Nepal: मंजुश्री Manjushree) adalah seorang Bodhisattva (individu yang tercerahkan) dalam tradisi Agama Buddha Mahayana dan Vajrayana. Manjusri adalah seorang bodhisattva yang dikaitkan dengan kebijaksanaan, pengajaran dan kesadaran dan dalam tradisi Vajrayana merupakan dewa meditasi (yidam), yang menggambarkan kebijaksanaan yang tercerahkan. Menurut sejarah, kitab suci Mahayana menjelaskan bahwa Manjusri adalah seorang pengikut Buddha Gautama, walaupun ia tidak disebutkan dalam kitab suci Pali.

Istilah Sanskerta akan Mañjuśrī dapat diartikan sebagai "Kemuliaan Baik Hati" (Gentle Glory)[1]. Mañjuśrī juga dikenal dengan nama Sanskerta yang lebih lengkap yakni Mañjuśrī-kumāra-bhūta.

Para ahli mengidentifikasikan Manjusri sebagai "Bodhisattva mistis dalam tradisi Mahayana yang tertua dan paling signifikan."[3] Manjusri pertama kali disebut pada awal tradisi kitab-kitab Mahayana seperti Prajnaparamita Sutta dan melalui masa awal tradisi inilah ia menjadi simbol perwujudan dari prajñā (kebijaksanaan).[4] Manjusuri digambarkan kemudian dalam banyak teks yang berhubungan dengan Tantric seperti Mañjuśrī-mūla-kalpa.[5] dan Mañjuśrīnāmasaṃgīti.

Bersama-sama dengan sang Buddha dan pengikutnya Samantabhadra, ia membentuk trinitas Shakyamuni (Jepang: Sanzon Shaka). Dalam Buddhisme Tibet, ia juga seringkali digambarkan dalam trinitas dengan Avalokiteshvara dan Vajrapani.

Manjusri diceritakan dalam sejumlah Sutra Mahayana, khususnya Prajnaparamita Sutra. Sutra Teratai memberikan sebuah surga kepadanya yang bernama Vimala, yang menurut Avatamsaka Sutra berada di timur. Menurut beberapa tradisi Vajrayana, Saraswati adalah istrinya. Ia juga kadang-kadang dipanggil Manjughosha.

Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya Nasib baik yang mendatangkan kesuksesan yang menakjubkan. di dalam agama Buddha mahayana, BODHISATTVA MANJUSRI dianggap Pribadi Maha Agung yang telah memiliki kebijaksanaan tinggi di antara para Bodhisattva.

Bersama-sama dengan Bodhisattva Samantabhadra, Beliau merupakan pembantu utama Buddha Sakyamuni. di dalam daftar semua Bodhisattva, Beliau termasuk yang paling utama di bidang menegakkan Buddha Dhamma. Beliau juga dinamai Pangerannya Dharma.

Menurut kitab suci agama Buddha, Sutra Shurangama Samadhi, Beliau telah menjadi Buddha pada kalpa-kalpa ( hitungan waktu berjuta-juta tahun ) dan dinamai Sang Tathatagata Yang Telah Mengatasi atau Telah dapat membangunkan benih ular-naga atau Telah mampu membangunkan Kundalini Saktinya, walau Beliau kini manifest sebagai pembantu utama Hyang Buddha Sakyamuni, dan berada di sebelah kanannya.

Menurut sutra-sutra dan Sastra-Sastra Buddhist, Beliau adalah Sang Guru dari banyak sekali pribadi-pribadi yang telah menjadi Buddha di masa lampau. dengan kata lain, Beliau telah membimbing banyak orang yang telah memetik buah ke-Buddha-an. dengan demikian, Bodhisattva Manjusri kemudian dinamai Sang Ibunya para Buddha di Tiga Alam.

Di dalam sutra-sutra Buddhist, terdapat banyak cerita yang memberi gambaran, bahwa beliau telah mengajarkan kepada pribadi-pribadi yang mengadakan pembinaan diri dengan sarana kebijaksanaan Beliau. manifestasi Beliau yang bersifat sementara di dalma memegang pedang untuk memperkuat keberadaan Hyang Buddha atau ajaran Agama Buddha itu mengungkapkan kebijaksanaan Beliau untuk melenyapkan keraguan-raguan para Bodhisattva pedamping Hyang Buddha yang kurang mampu dalam memberikan kecerahan, atau menolong untuk mencapai pencerahan agung pada orang lain, agar mereka dapat memperdalam Dharma.

Minggu, 23 Agustus 2015

Sam Kwan Tay Te 三官大帝

Sam Kwan Tay Te / SAM GWAN KONG ( 三官大帝 )

Dalam Taoisme, perayaan Cap Go Me ( tanggal 15 bulan 1 Imlek ) adalah penutup dalam rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek yang disebut juga Shang Yuan untuk memperingati Se Jit ( Hari ulang tahun ) salah satu dari San Guan Da Di ( Hok Kian = Sam Kwan Tay Te ) yaitu Tian Guan. Pada hari ini mereka mengharap berkah dari Tian Guan ( Shang Yuan Tian Guan Ci Fu ).

Sebutan untuk 三關大帝 San Guan Da Di / Sam Kwan Tay Te ada bermacam-macam :
Pertama, sebutan 三元 San Yuan / Sam Gwan. Sebutan ini menunjukkan waktu tiga Kaisar Kuno turun ke dunia, yaitu :

1. Cia Gwe Cap Go ( Tgl 15 bulan 1 Imlek ) = Shang Yuan ( Hok Kian = Siang Gwan )
2. Cit Gwe Cap Go ( Tgl 15 bulan 7 Imlek ) = Zhong Yuan ( Hok Kian = Tiong Gwan )
3. Cap Gwe Cap Go ( Tgl 15 bulan 10 Imlek ) = Xia Yuan ( Hok Kian = He Gwan )

Kedua, adalah 三元公 San Yuan Gong ( Sam Gwan Kong ).  Ini adalah sebutan penuh penghormatan kepada 3 orang Kaisar Kuno yang terkenal yaitu : Kaisar 堯 Yao / Giauw, Kaisar 舜 Shun ( Sun ) dan Kaisar 禹 Yu ( Le ).

Ketiga, sebutan  三官 San Guan ( Hok Kian = Sam Kwan ). Sebutan ini ditinjau dari pangkatnya, yaitu : Tian Guan, Di Guan, Shui Guan, yang merupakan pemberi berkah, pengampunan dosa dan pelindung dari bencana dan malapetaka.

Keempat, mereka juga terkenal dengan sebutan 三官大帝 San Goan Da Di ( Hok Kian = Sam Kwan Tai Te ). Gelar ini diberikan oleh Maha Dewa 元始天尊 Yuan Shi Tian Zun.
 
Pada masa pemerintahan Kaisar Yao ( 2357 SM - 2258 SM )

Kaisar yao adalah seorang Kaisar yang terkenal karena kesederhanaannya dan amat memperhatikan kepentingan rakyat. Konon tempat tinggal beliau bukanlah sebuah istana yang gemerlapan seperti umumnya seorang raja, tetapi beliau lebih menyukai tinggal di sebuah rumah sederhana yang beratap rumbia dan tiangnya terdiri dari kayu hutan biasa, tanpa dicat. Makanannya adalah beras kasar dengan sayur-sayuran sederhana dan minumannya hanyalah dari sumber air di gunung. Pakaian yang dikenakannya hanya terdiri dari kain kasar, bila cuaca dingin ditambah dengan mantel dari kulit rusa.

Jika rakyatnya ada yang tertimpa kelaparan, Kaisar Yao berkata : "Akulah yang menyebabkan kalian lapar." Bila ada rakyatnya ada yang kedinginan karena tidak memiliki pakaian cukup, Kaisar Yao akan berkata : "Akulah yang menyebabkan kalian tidak dapat berpakaian cukup" dan bila di dalam negerinya ada seorang yang berbuat kesalahan, Kaisar Yao akan berkata : "Akulah yang menyebabkan kalian sampai terjerumus ke dalam lembah kejahatan. Demikian bajiknya Kaisar Yao sampai semua kesalahan dan kesengsaraan rakyat dianggapnya adalah tanggung jawabnya sendiri.

Oleh karena itulah pada masa pemerintahannya yang hampir 100 (seratus) tahun lamanya ini, walaupun ada bencana kekeringan yang hebat dan banjir yang dahsyat, rakyat tidak pernah menggerutu dan tetap mencintainya. Karena kebajikannya inilah, konon dalam istananya yaitu sebuah rumah sederhana yang beratap rumbia, sering muncul gejala alam yang merupakan pertanda baik, seperti munculnya Burung Hong yang bertengger di atap, rumput yang disediakan untuk kuda mendadak berubah menjadi padi dan lain-lain.

Selain dirinya adalah seorang Kaisar yang bijaksana, Kaisar Yao juga dibantu oleh sejumlah menteri yang benar-benar cakap. Salah satunya ada seorang menteri yang pandai yaitu Shun, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Ketika mengundurkan diri dari tahta, Kaisar Yao memilih Shun sebagai penggantinya. Kaisar Yao tidak mewariskan kedudukannya kepada putranya, karena sang putra dianggap tidak mampu.

Tak lama setelah melahirkan Shun, ibu Shun meninggal dunia. Lalu ayah Shun menikah lagi. Istri barunya ini melahirkan Xiang, adik tiri Shun. Ayah Shun amat sayang kepada istri kedua dan anaknya, Xiang, tapi Shun ditelantarkan dan dibiarkan mengerjakan pekerjaan yang berat. Ibu tirinya seringkali memukul Shun, bahkan sering berusaha menganiaya Shun sampai mati, tapi Shun tetap taat dan berbakti kepada kedua orangtuanya.

Akhirnya karena deritanya sudah tak tertahankan, Shun melarikan diri dari rumahnya dan tinggal di sebuah gubuk reyot di kaki gunung Li Shan. Di sana ia seorang diri bercocok tanam. Karena pribadinya yang baik dan rajin ini, seekor gajah putih dan burung-burung pun datang membantunya.

Shun seringkali mengajar para petani di sekitar tempat itu bagaimana cara bercocok tanam, menangkap ikan dan membuat perabot rumah tangga dari tanah liat, sehingga mereka amat mencintai Shun. Kemudian para petani dan perajin tanah liat dari tempat lain datang dan bertempat tinggal di situ. Maka lama kelamaan tempat itu berubah menjadi sebuah desa kecil yang ramai. Setahun kemudian desa kecil tersebut berubah menjadi sebuah kota kecil dan 3 tahun kemudian berkembang menjadi sebuah kabupaten.

Pada saat itu Kaisar Yao sedang mencari orang yang bijaksana untuk menjadi pembantunya. Karena tertarik oleh kepribadian Shun, maka Kaisar Yao mengangkat Shun menjadi menantunya. Walaupun telah menjadi menantu Raja, Shun tidak melupakan ayahanda dan ibu tirinya. Shun tidak mendendam kepada mereka, walaupun dulu mereka memperlakukan Shun amat keterlaluan. Bakti Shun terhadap orangtua tetap tidak berubah, meskipun sekarang ia hidup berkecukupan.

Karena iri hati melihat kehidupan Shun, adik tiri dan ibu tirinya berkali-kali berusaha membunuh Shun, tetapi usaha mereka gagal. Tiap kali pula Shun memaafkan mereka dan sama sekali tidak menaruh dendam. Karena pribadi yang luhur inilah akhirnya Kaisar Yao mewariskan tahtanya dan mengangkat Shun sebagai Kaisar yang baru. Setelah naik tahtapun, Kaisar Shun tidak lupa mengunjungi kedua orangtuanya seperti sedia kala.

Pada masa pemerintahan Kaisar Shun ( 2225 SM - 2208 SM )

Beliau bekerja keras untuk mensejahterakan rakyatnya. Kaisar Shun amat mencintai kesenian. Beliau banyak menciptakan alat musik, diantaranya : Sheng ( Alat musik Tionghoa yang terdiri dari 13 batang pipa bambu yang panjang dan pendeknya tidak sama ), kecapi yang mempunyai 23 senar dan alat musik halus lainnya. Musik gubahannya disebut Xiao Shao. Konon jika konser Xiao Shao ini dimainkan, mendengar suara merdu ini sampai-sampai burung Feng Huang ( Hong Hong ) datang di atasnya dan menari-nari.

Pada waktu Nabi Khong Hu Cu mendengar musik ini, tiada henti-hentinya memuji dan berkata bahwa gubahan irama Xiao Shao amat indah dan arif. Jika dibandingkan dengan irama Wu ( Gubahan Zhou Wu Wang dari Dinasti Zhou ), walaupun indah tetapi masih kurang arif. Xiao Shao lebih membuat orang terharu. Jika dalam keadaan sendiri, Kaisar Shun gemar memetik kecapi bersenar 5, sambil mendendangkan lagu gubahannya yang disebut Nan Feng (Angin Selatan).

Pada masa pemerintahan Kaisar Shun terjadi bencana banjir yang dahsyat. Banyak rakyat yang tewas dan kehilangan tempat tinggal. Kaisar Shun amat sedih memikirkan penderitaan rakyatnya.

Akhirnya muncullah Yu, seorang gagah berani yang berhasil menanggulangi banjir besar itu. Kaisar Shun sangat kagum akan kemampuan Yu mengorganisir pekerjaan raksasa itu. Yu berada pada posisi terdepan dalam memimpin rakyat sembilan propinsi yang terkena musibah. Dengan membawa sekop berujung garpu ia menerjang badai dan hujan, dengan gagah beraninya ia membuat saluran dan mengeruk dasar sungai, sampai akhirnya banjir itu surut. Selama 13 (tiga belas) tahun ia berjuang keras mengatasi banjir, tiga kali ia melewati depan rumahnya tanpa mampir ataupun menengok, karena khawatir menelantarkan tugasnya.

Atas pengorbanan Yu yang besar kepada rakyat ini, Kaisar Shun lalu mewariskan tahta kepadanya. Yu adalah lambang kebijaksanaan dan pengorbanan tanpa mengingat kepentingan pribadi.
Pada masa pemerintahan Kaisar Yu memerintah tahun 2205 SM - 2198 SM. 

Kaisar Yu mendirikan Dinasti Xia, yang merupakan Dinasti pertama di Tiongkok. Kaisar Yao, Shun dan Yu ini menjadi contoh ideal Kong Zi ( Khong Hu Cu ), Meng Zi ( Beng Cu ), dan para ahli filsafat lainnya dalam mengajar kepada murid-muridnya dan juga sering digunakan oleh para ahli filsafat tersebut untuk memberi teladan bagi kaisar-kaisar yang bertahta kemudian.

Oleh rakyat, Kaisar Yao, Shun dan Yu dipuja sebagai Tian Guan, Ti Guan dan Shui Guan. Mereka bertiga disebut San Yuan Gong dan kelentengnya banyak tersebar di mana-mana. Mereka dipuja sebagai Dewa yang mengawasi perbuatan baik buruk manusia dan Dewa pelindung kehidupan.

Tian Guan diberi gelar Zi Wei Da Di ( Hok Kian = Ci Wi Tai Te ).
Di Guan diberi gelar Qing Xu Da Di ( Hok Kian = Ching Hi Tai Te )
Shui Guan diberi gelar Dong Xu Da Di ( Hok Kian = Thong Hi Tai Te )

Ketiga Da Di ini secara bersama-sama disebut San Guan Da Di.

AMITHABHA BUDDHA 阿彌陀佛

AMITHABHA BUDDHA (O MI TUO FO)

OMi Duo Fo adalah Amitabha Buddha disebut juga "WU LIANG SHOU FO
Menurut Buddhis Mahayana, asal mula Amitabha adalah seorang Raja Karena suatu hari ia meninggalkan tahta kerajaan dan rela menjadi bhiksu  dengan nama "Dharmakarsa", yang berarti "Putra Dharma". Di-ilhami kotbah sang Buddha pada masa itu, Lokesvaraja Buddha, yang mengajarkan kepadanya jalan penerangan yang sempurna sejak berabad-abad lampau.
Dharma karsa lalu mengucap 48 janji untuk menyelamatkan mahluk - mahluk yang sengsara. Sejak jaman itulah ia disebut Bodhisatva Dharmakarsa.
Setelah melewati 5 masa penempaan diri, ia memperoleh penerangan sempurnan dan menjadi Buddha Amitabha. Ini berarti bahwa janji yang penuh balas kasih dan keagungan itu menjadi kenyataan. Firdaus yang dikenal dengan nama Tanah Suci atau Sukhavati dibangunnya, mahluk - mahluk yang menderita  pasti dan akan diantar ke sana apabila mereka dengan segenap ketulusan hati menyebut namanya.
Do'a sederhana yang perlu diucapkan berulangkali adalah "Namo O Mi Duo Fo" atau dalam bahasa Sanskrit "Namo Amitabha Buddha" yang berarti dengan segala hormat kepada Amitabha Buddha atau "saya berlindung pada Amitabha Buddha". Hari lahimya diperingati pada tanggal 17 bulan 11 Imlek

Amitābha (bahasa Sanskerta: अमिताभ, Amitābha, pengucapan bahasa Hindi: [əmɪtaːbʱə]; Amitābho; bahasa Mandarin: 阿彌陀佛, Ēmítuó Fó; bahasa Jepang: 阿弥陀如来, Amida Nyorai; bahasa Tibet: འོད་དཔག་མེད།, Ö-pa-me; bahasa Mongol: Одбагмэд Odbagmed, Аминдаваа Amindavaa, Аюуш Ayush) adalah seorang Buddha surgawi yang dijelaskan dalam kitab suci Tipiṭaka aliran Buddha Mahāyāna. Amitābha adalah buddha utama di sekte Tanah Murni yang berkembang terutama di Asia Timur. Menurut kitab ini, Amitābha menjadi Buddha dikarenakan dari perbuatan baik atas kehidupan masa lalu yang tak terhitung jumlahnya sebagai Bodhisattva bernama Dharmakāra. "Amitābha" dapat diterjemahkan sebagai "Cahaya tidak terbatas", karena itu Amitabha sering disebut sebagai "Buddha dengan Cahaya tidak terbatas".



Pada versi sūtra yang dikenal luas di China, Vietnam, Korea, dan Jepang, Sumpah ke-18 Dharmakāra adalah bahwa setiap makhluk di alam semsta manapun yang ingin terlahir di Tanah Suci Amitābha dan menyebut namanya bahkan hanya sebanyak 10 kali akan dipastikan untuk terlahir kembali di sana. Sumpah ke-19 menjanjikan bahwa, bersama dengan para Bodhisatwa dan makhluk suci lainnya, akan muncul di hadapan mereka yang menyebut namanya pada saat menjelang kematian. Keterbukaan dan penerimaan terhadap semua manusia tanpa terkecuali membuat Aliran Tanah Suci memiliki pengaruh besar terhadap Mahāyāna Buddhisme. Aliran Tanah Suci awalnya menjadi populer di barat laut India/Pakistan dan Afganistan, selanjutnya menyebar sampai ke Asia Tengah and China.



Doktrin dasar mengenai Amitābha dan sumpah-sumpahnya ditemukan pada tiga kanonikal teks Mahāyāna:

    Sutra Kehidupan Tanpa Batas/Sutra Panjang Sukhāvatīvyūha

    Sutra Amitabha/Sutra Pendek Sukhāvatīvyūha

    Sutra Perenungan/Sutra Amitāyurdhyāna

Melalui usahanya, Amitābha menciptakan "Tanah Suci" (净土, pinyin: jìngtŭ; Jepang: jōdo; Vietnam: tịnh độ) yang disebut Sukhāvatī (Sanskerta|Sanskrit) atau "Tanah Kebahagiaan"). Sukhāvatī berlokasi jauh di barat di luar tata surya kita. Dengan kekuatan sumpahnya, Amitābha membuatnya memungkinkan bagi siapapun yang menyebut namanya untuk terlahir kembali pada alamnya, memperoleh bimbingan dharma dari dirinya demi mencapai ke bodhisattvaan dan pada akhirnya kebuddhaan . Dari sana, para Bodhisatwa dan Buddha tersebut akan kembali ke bumi untuk menolong lebih banyak makhluk.

Amitābha adalah Buddha cinta kasih tanpa batas. Beliau tinggal di barat (digambarkan dalam posisi meditasi) dan berupaya untuk mencerahkan setiap makhluk (digambarkan dalam posisi memberi berkah). Teknik paling penting yang beliau ajarkan adalah memvisualisasikan seluruh alam di sekitar sebagai tanah suci. Siapapun yang melihat dunianya sebagai tanah suci akan membangkitkan energi pencerahannya. Dunia dapat terlihat sebagai tanah suci dengan jalan menyatukan pikiran-pikiran positif (pikiran pencerahan) atau dengan mengirimkan cinta kasih kepada semua makhluk (berharap semua makhluk berbahagia). Menurut doktrin Amitabha, seseorang dapat datang ke tanah suci Amitābha jika pada saat menjelang kematiannya, mereka memvisualisasikan Amitābha bercahaya terang seperti matahari tepat di atas kepala mereka, mengulang-ulang nama beliau sebagai mantra dan melepaskan jiwa (kesadaran) melalui cakra mahkota.

Wajrayāna Buddhisme

Mahasthamaprapta, Budda Amitabha, Avalokitesvara

Amitābha juga dikenal di Tibet, Mongolia, dan wilayah lain yang mempraktikkan aliran Buddhisme Tibet. Pada kelas yoga tantra tertinggi Wajrayana Tibet, Amitābha disebutkan sebagai salah satu dari Lima Dhyāni Buddha (bersama dengan Akṣobhya, Amoghasiddhi, Ratnasambhava, dan Vairocana). Beliau diasosiasikan dengan arah barat dan skandha dari saṃjñā, kebijaksanaan membedakan dan kesadaran mendalam masing-masing individu. Pasangan beliau adalah Pāṇḍaravāsinī Alamnya disebut Sukhāvatī (Sanskrit) atau Dewachen (Tibetan). Dua muridnya yang utama (sebagaimana Buddha Sakyamuni yang juga memiliki dua murid utama) adalah Bodhisatwa Vajrapani dan Avalokiteshvara, Vajrapani di sisi kiri dan Avalokiteshvara di sisi kanan. Pada Buddhisme Tibet, terdapat sejumlah doa terkenal agar terlahir kembali di Sukhāvatī (Dewachen). Salah satunya adalah yang ditulis oleh 'Je Tsongkhapa atas permintaan on the request of Manjushri.

Selain mantra-mantra di atas, banyak sekolah Buddhis menyebut Amitābha dengan nama Nian Fo (念佛) dalam bahasa China dan Nembutsu dalam bahasa Jepang.

Akar kata dari nama Amitābha dalam Bahasa Sanskerta adalah Amitābha, maskulin, dan bentuk nominatif singularnya adalah Amitābhaḥ. Ini merupakan penyusun kata Sanskrit amita ("tanpa batas, tak terhingga") dan ābhā ("cahaya, kemilau"). Dengan demikian, nama tersebut dapat diinterpretasikan sebagai "ia yang memiliki cahaya tanpa batas, ia yang kemilaunya tak terhingga".

Buddha Amitabha dalam bahasa China diterjemahkan menjadi Āmítuó Fó (阿彌陀佛), dimana Āmítuó menampilkan tiga aksara Amitābha atau Amitāyus, dan Fó adalah bahasa China untuk Buddha (diambil dari suku kata pertama Buddha dalam bahasa Sanskerta). Nama Amitābha disebut sebagai Wúliàngguāng (無量光; "Cahaya Tanpa Batas"), sementara nama Amitāyus sebagai Wúliàngshòu (無量壽; "Usia Tanpa Batas"). Kedua nama yang terakhir itu jarang digunakan.

Beliau juga disebut Amida Nyorai (阿弥陀如来) dalam bahasa Jepang, memiliki arti "Amitābha Sang Tathāgata". Dalam bahasa Tibet, Amitābha disebut 'od.dpag.med dan Amitāyus sebagai tshe.dpag.med.

Semua Buddha digambarkan memiliki wujud yang sama sehingga orang awam mungkin tidak dapat membedakan mereka. Masing-masing Buddha bisa dibedakan dari sikap mudranya: Amitābha sering digambarkan, saat bersila, menampilkan mudrā meditasi(kedua ujung ibu jari saling bersentuhan dan jari-jari yang lain saling menumpang) atau mudrā pemberkatan. Mudrā menyentuh bumi(tangan kanan menunjuk ke bumi) hanya digunakan untuk Buddha Sakyamuni saja. Amitabha juga ditampilkan membawa setangkai lotus/bunga teratai sambil menampilkan mudra meditasi.

 

Saat berdiri, Amitābha selalu digambarkan dengan tangan kiri mengarah ke bawah dengan ibu jari menyentuh sisi dalam keempat jari, tangan kanan di depan tubuh dengan posisi jari yang sama. Maksud dari mudra ini adalah kebijaksanaan (disimbolkan dengan tangan yang terangkat) dapat diakses bahkan oleh makhluk berderajat paling rendah, sementara tangan yang mengarah ke bawah menunjukkan bahwa cinta kasih Amitabha diarahkan pada makhluk-makhluk rendah yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.

 

Jika tidak ditampilkan sendiri, Amitābha selalu digambarkan dengan dua pendamping: Avalokiteśvara di kanan dan Mahāsthāmaprāpta di kiri.

Buddha Amitabha sering ditampilkan dengan membawa teratai, apabila bersanding dengan Buddha Yoa si fo dan Buddha Sakyamuni (TRI RATNA BUDDHA).

Fu Xi (伏羲) (Fu Xi Sian Di) 

Fu Xi (伏羲) (Fu Xi Sian Di) 

adalah kaisar purba juga diangap sebagai salah satu leluhur bangsa Tionghoa. kaisar ini dipercaya mengajar rakyat bertani, berburu, dan menangkap ikan, menurut legenda beliaulah yang pertama kali menggambar Bagua, selanjutnya orang-orang mengunakan bagua untuk mencatat peristiwa-peristiwa alam.  Fu xi juga disebut sebagai dewa Bagua, selain itu Fu xi juga dikenal orang pertama yang melaksanakan sistem nama marga "She" dan seluruh menteri dan rakyatnya diharuskan menggunakan nama tersebut. ia pula yang mengajarkan untuk memuja Shenbing dan leluhur.

Fu Xi juga mengajarkan rakyat mengayam tali menjadi jala untuk menangkap ikan, penemuan fu xi yang terbesar adalah cara menggunakan api, dengan ditemukan api mengubah tata cara kehidupan liar menjadi  lebih beradab, penggunaan api kemudian dikembangakan oleh Sui Ren dengan menciptakan pemantik api  melalui mengosokkan dua batang kayu kerin.

Fu Xi lahir pada hilir-tengah Sungai Kuning di sebuah tempat bernama Chengji (mungkin yang modern Lantian, Shaanxi atau Tianshui, Gansu).

Orang Cina tradisional percaya bahwa Fuxi bisa mengambil bentuk naga. Fuxi seharusnya memiliki tubuh ular, dan naga pertama dikatakan telah menampakkan diri kepadanya di 2962 SM

Menurut legenda tanah itu tersapu oleh banjir besar dan hanya Fuxi dan adiknya Nuwa selamat. Mereka pergi ke gunung Kunlun di mana mereka berdoa kepada Kaisar Langit, untuk menghentikan bencana tersebut.
karena hal-hal tersebut diatas, Fu Xi disebut sebagai dewata pelindung pertanian, dewata pelindung peramal, hari kebesarannya diperingati pada tanggal ke 20 bulan ke 8 imlek

KONG DE ZUN WANG

Diambil dari Buku berjudul “Riwayat Guang Ze Zun Wang” : Sang Dewa Pelindung Masyarakat Nan An

Pada masa dinasti Song, tahun 923 M, Propinsi Fujian, Kota Quanzhou di Kabupaten Nan An, Desa Shi San, dalam keluarga Guo pada tanggal 22 bulan 2 Imlek terlahirlah seorang putra yang diberi nama GUO ZHONG FU.
Ayahnya, GUO MING LIANG/Guo Lizhu (lahir tahun 899 M tanggal 9 bulan 2 Imlek) adalah seorang yang suci dan berbakti kepada orang tuanya, serta mencintai saudaranya, sikapnya terhadap orang miskin dan kaya sama.   Guo Liang adalah seorang petani.   Setiap hari sejak pagi-pagi buta sudah bekerja di sawah.   Ayahnya juga suka pergi ke pegunungan yang pemandangannya indah.   Namun walaupun sudah bekerja susah payah, tetap saja penghasilan yang diperoleh sedikit.
Ibu Zhong Fu bernama LIN SU NIANG, lahir pada tahun 904 M tanggal 4 bulan 9 Imlek.   Lin Su Niang adalah seorang yang lemah lembut dan baik hati, hemat dan tidak pernah mengeluh, walaupun hidup tampaknya cukup berat baginya.
Guo Ming Liang dan Lin Su Niang menikah pada tahun 922 M.   Ia mendapat wahyu ketika hamil dan ketika Zhong Fu dilahirkan, seluruh ruangan menjadi harum dan di sekelilingnya terasa hawa-hawa baik.   Tubuh Zhong Fu tegap, kekar dan amat berbakti kepada orang tuanya.   Kepandaian Zhong Fu juga melebihi anak-anak seusianya.
Tak disangka Guo Ming Liang ayahnya yang memang sering sakit-sakitan akhirnya meninggal pada umur 31 tahun (tahun 929 M tanggal 1 bulan 10 Imlek),  yang pada saat itu Zhong Fu masih berumur 7 tahun.   Karena kondisi ekonomi keluarganya yang miskin, mereka tidak mempunyai biaya untuk membuat makam untuknya.   Oleh karena itu mereka kemudian mengkremasi jasad Guo Ming Liang dan dimasukkan ke dalam sebuah periuk.
Zhong Fu kecil dalam bimbingan ibundanya yang baik hati, sejak usia dini telah memiliki sifat rendah hati, rajin bekerja dan berbudi luhur, terbukti dengan riang gembira pagi-pagi ia bekerja menggembalakan ternak yang dipercayakan kepadanya oleh Tuan Tanah YANG XINFU, tanpa pernah berbuat kesalahan.   Oleh karena itulah Tuan Yang sangat menyukai Zhang Fu.   Ibunya juga bekerja pada Tuan Yang sebagai pembantu yang bekerja menjahit, mencuci baju dan memasak.   Namun setelah Zhong Fu dan ibunya bekerja pada Tuan Yang selama 3 tahun, tetap saja uang yang dihasilkan belum cukup untuk menguburkan abu Guo Ming Liang.
Sifat mulia yang dimiliki Zhong Fu kecil, sangat jelas terlihat waktu ia bekerja pada Tuan Yang di Chongsanli Jingu di distrik Anxi yang kaya raya, ia tidak pernah mengeluh dan gusar dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya.   Setiap dombanya dibeli, keesokan harinya dombanya tidak berkurang jumlahnya, sehingga membuat rakyat desa menjadi kagum dan merasa aneh.
Zhang Fu juga sangat berbakti dan sayang kepada ibunya.   Hal ini terlihat dari tindak tanduknya sehari-hari yang dilakukan oleh Zhong Fu yaitu Zhong Fu tidak mau makan sebelum ibunya makan, tidak pernah mengeluh ataupun mengomel.

Sering terlihat banyak anak-anak kecil yang bekerja sebagai gembala bermain dan bercanda bersama dengannya.   Mereka sangat hati-hati menuntun domba-domba mereka untuk merumput dan mencegah agar domba-domba tersebut tidak merusak hasil panen.
Pada suatu hari, ada pertunjukan opera di desa.   Zhong Fu ingin sekali menonton pertunjukan tersebut, namun di lain sisi ia harus membuat domba-dombanya untuk tetap dalam satu kelompok.   Zhong Fu melingkari kumpulan domba-dombanya dan memberitahu mereka agar tidak keluar melewati batas lingkaran air kencingnya ketika dia pergi.   Ketika dia kembali, ternyata memang domba-dombanya masih berada di dalam lingkaran tersebut.   Kejadian ini semakin membuat rakyat desa menjadi kagum.
Zhong Fu sering bermain permainan dengan teman-temannya.   Salah satu permainan favoritnya adalah bermain raja-rajaan dan bawahan di bukit dekat desa, dimana di sana hutannya sangat lebat.   Di bukit itu terdapat semak belukar dan rotan yang membentuk pijakan dan dudukan.   Zhong Fu berhasil mendaki sampai ke tempat yang paling tinggi dan duduk di sana, bermain menjadi seorang raja.
Di sana ia memerintahkan teman-temannya yang bermain sebagai bawahan untuk menyerukan “Semoga Kaisar Panjang Umur !”.   Setelah itu ada anak-anak yang lain juga ingin menjadi raja, namun mereka selalu terjatuh ke bawah sebelum mencapai puncak bukit tersebut dan tidak dapat memanjat dan mendaki gunung tersebut setinggi Zhong Fu.   Teman-temannya pun akhirnya menyatakan bahwa Zhong Fu memang ditakdirkan untuk menjadi raja.
Permainan lainnya adalah permainan perang-perangan.  Zhong Fu menggunakan domba-dombanya sebagai prajuritnya dan dia sendiri bermain sebagai jenderal atau raja yang memimpin perang.   Bersama domba-dombanya lari ke sana sini menyerang ke arah selatan ataupun utara.   Oleh karena itu, Zhong Fu merasa bekerja sebagai gembala adalah hal yang sangat menyenangkan.
Di kemudian hari, ada seorang Ahli Geologi (Dili Dashi) tua dari Gan Zou yang diundang oleh Tuan Yang untuk mencari tanah dengan Feng Shui yang baik sebagai kuburan Tuan Yang nantinya ketika meninggal dikemudian hari.   Namun sang Guru Geologi belum dapat menemukan tanah yang cocok, oleh karena itu untuk sementara ia tinggal di rumah Tuan Yang dan dikontrak selama 3 tahun.   Segala ongkos makan dan minum ditanggung oleh keluarga Yang.   Zhong Fu diberi tugas oleh majikannya untuk melayani Guru geologi tersebut, setiap pagi menyediakan air panas untuk mencuci muka, membersihkan tempat tidur setiap malam sebelum dan sesudah sang Guru tidur.   Di samping itu, Zhong Fu masih tetap bekerja menggembalakan Domba.
Guru geologi tersebut juga mengajari anak-anak Tuan Yang.   Ketika Zhong Fu melewati tempat sang guru mengajar, ia turut mendengar dan berusaha untuk menghafal apa yang diajarkan oleh sang Guru pada anak-anak Tuan Yang.   Dengan cepat dia dapat menangkap apa yang diajarkan oleh sang Guru geologi.   Begitu mengetahui hal tersebut, sang Guru kagum terhadap Zhong Fu dan menganggapnya sebagai anak yang kepandaiannya luar biasa dan sangat cerdik.   Oleh karena itu dikala waktu luang, sang Guru geologi juga menyempatkan diri mengajari Zhong Fu ilmu pengetahuan, membaca dan menulis.
Pada mulanya, perawatan dan pelayanan yang meliputi makan, minum dan lain-lainnya dilakukan oleh keluarga Yang dengan sangat baik terhadap Guru geologi tersebut.   sang Guru disambut dengan ramah, serba mewah, makan tiga kali sehari dengan berbagai macam menu lauk pauk yang enak-enak.   Ketika sang Guru ingin bepergian, selalu disediakan tandu tersendiri untuknya.   Zhong Fu melayaninya tanpa mengenal lelah dan bosan.   Dia dapat menuruti segala kehendak Gurunya, serta pandai mengambil hati.   Lama-lama sang Guru pun menganggapnya seperti keluarga sendiri.   Setiap sang Guru makan, ia selalu tak lupa untuk memberi makan Zhong Fu.   Makanan yang diberikan sang Guru kepada Zhong Fu, diberikan terlebih dahulu pada ibunya untuk dimakan.
Hari-hari terus berlalu dan sudah satu tahun lamanya, sang Guru geologi tinggal di rumah Tuan Yang.   Lama kelamaan Tuan Yang menjadi bosan terhadap sang Guru.   Karena Guru geologi tersebut tidak menunjukkan hasil yang diharapkan Tuan Yang untuk memperoleh tanah kuburan yang Feng Shuinya baik, sang Guru dianggap setiap hari pekerjaannya hanya jalan-jalan saja menghabiskan waktu tanpa ada hasil.
Sudah menjadi kebiasaan orang kaya yang selalu memikirkan keuntungan saja tanpa memikirkan perasaan orang lain.   Segala sesuatu harus mendatangkan keuntungan, tidak mau mendapatkan kerugian biarpun dengan jalan apapun harus dia tempuh dengan uangnya.   Tuan Yang dan istrinya memikirkan dan menghitung berapa saja biaya/uang yang dikeluarkan untuk sang guru secara cuma-cuma tanpa memperoleh hasil, karena sang Guru masih saja tidak pernah menyinggung soal tanah ber-Feng Shui bagus yang diinginkannya.
Tuan Yang dan istrinya khawatir kalau nantinya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk dua tahun ke depan, sedangkan sekarang saja biaya yang dikeluarkan sudah sangat banyak.   Tuan Yang merasa menyesal bahwa dia mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan sang Guru.   Selain itu Tuan Yang juga mencurigai sang Guru hanya mencoba mengulur waktu dan enak-enak saja tanpa berusaha mencari tanah yang Feng Shuinya bagus.
Akhirnya atas saran istrinya yang tidak rela memberikan makanan yang lezat pada sang Guru, Tuan Yang menyuruh pelayan dan juru masak untuk melayani sang Guru sekedar saja, tidak usah diberi berbagai macam menu makanan yang enak-enak.   Padahal makanan di rumah Yang sangat banyak yang dibuang atau disia-siakan karena tidak habis.
Lama kelamaan perilaku Tuan Yang terhadap sang Guru makin menjadi-jadi.   Ia sangat kasar, tidak ramah dan tidak menghormati lagi sang Guru.   Melihat perubahan sifat Tuan Yang, sang Guru menjadi sangat kecewa.   Dalam hatinya ia berkata, “Oh, andaikata kata orang seperti Tuan Yang diberi tanah yang ber-Feng Shui bagus, rejeki yang besar dan harta yang lebih, mungkin tindak tanduknya akan lebih menekan dan menindas orang yang menderita, serta tidak suka menolong sesamanya dikarenakan kesombongan dan kecongkakannya.”
Tahun kedua telah lewat, Tuan Yang Xinfu merayakan Tahun Baru dengan mewah dan meriah, tanpa menghiraukan sang Guru.   Bahkan Tuan Yang sama sekali tidak memberikan makanan, kue atau minuman, selama merayakan Pesta Tahun Baru yang meriah itu.   Sang Guru menjadi kecewa melihat sifat dan perilaku Tuan Yang terhadap dirinya.   Akhirnya dalam diri sang Guru timbulah rasa kurang senang terhadap Tuan Yang.
Pada tahun ketiga, sang Guru akhirnya menemukan tanah yang Feng Shuinya bagus, namun timbul dalam pikiran sang Guru untuk tidak menyerahkan tanah tersebut pada Tuan Yang, mengingat segala sifat dan perilaku Tuan Yang.   Sang Guru menjadi bimbang dan ragu-ragu, apa yang harus dijalankan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Pikirannya bercabang dihadapkan pada dua pilihan yaitu, kalau tanah tersebut diserahkan pada Tuan Yang, apa dia tidak berdosa, tapi kalau tidak diserahkan berarti selama ini dia menerima gaji buta.   Artinya menerima gaji tanpa memberikan hasil pada orang yang memberi gaji.   Sampai larut malam sang Guru geologi memikirkan hal tersebut, sampai tidak bisa tidur.   Tiba-tiba Zhong Fu datang mengingatkan, “Guru, hari sudah larut malam, sudah semestinya Guru tidur.”
Waktu tiga tahun terasa sangat lama, segalanya berubah tetapi rasa-rasanya keadaan akan seperti ini saja.   Makan yang diberikan oleh Tuan Yang juga masih tidak enak dan kurang bergizi, mengakibatkan sang Guru geologi jatuh sakit.   Setelah diperiksa dan diketahui penyakitnya, maka untuk obatnya diperlukan daging domba.
Kebetulan ada seekor domba Tuan Yang yang terjatuh ke dalam septic tank dan mati.   Istri Tuan Yang menyuruh Zhong Fu untuk mengambil domba tersebut dan dimasaknya sebagai campuran obat untuk sang Guru geologi.   Sang Guru yang selama ini selalu diberi makanan yang tidak enak, begitu melihat daging domba, langsung makan dengan lahapnya.   Ia berkata, “Sejak 2 tahun yang lalu aku berada di rumah ini, tidak pernah aku merasakan makanan yang enak di lidahku.   Ketika aku sakit, kok baru hari ini mereka berbaik hati memberikan aku daging domba.”
Lalu Zhong Fu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.   “Guru, domba ini mati tenggelam di septic tank.   Tuan Yang tidak berani memakannya, tapi beliau merasa sayang membuangnya.   Kemudian nyonya Yang menyuruh saya memberikan dan memasakkan domba itu pada Guru.”   Sang Guru sangat terkejut mendengar perkataan Zhong Fu dan langsung memuntahkan kembali daging domba yang telah ia telan.
Sang Guru kemudian berkata, “Tuan Yang, kamu memang tidak punya rasa menerima dan berterima kasih, makanya kamu tidak punya hoki (rejeki) !”   Kemudian Zhong Fu mengingatkan Gurunya, agar tidak memikirkannya lagi dan bahwa hari sudah larut malam, sebaiknya tidur saja, karena keadaan sang Guru juga belumlah baik.
Karena kejadian ini, sang Guru akhirnya sudah mempunyai pendirian yang tetap dan kedua tangannya memegang pundah Zhong Fu, sambil berkata, “Apakah ayahmu meninggal ketika kamu masih kecil, sehingga akhirnya engkau dan ibumu hidup miskin, bahkan engkaupun tak bisa sekolah ?”   Zhong Fu menjawab apa adanya tentang dirinya, tanpa ditutup-tutupi, bahwa memang karena itulah ia bekerja pada Tuan Yang.
Sang Guru sangat tertarik pada Zhong Fu, sebab anak tersebut pandai, jujur, berbakti pada ibunya, selalu melayani sang Guru tanpa mengenal lelah dan tidak pernah mengeluh sedikitpun, meskipun pada siang hari ia harus bekerja mengembalakan domba.   Sang Guru mengutarakan kepada Zhong Fu, bahwa saat ini dia sudah mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus, namun belum diberitahukan kepada Tuan Yang.   Sang Guru tidak ingin memberitahukannya pada Tuan Yang, dikarenakan atas pertimbangannya, tidak selayaknya Tuan Yang memiliki tanah yang bagus tersebut, karena :
1. Waktu kontrak 3 tahun masih belumlah habis
2. Tanah Feng Shui yang baik, harus ditempati oleh orang yang bijaksana.
3. Sedangkan Tuan Yang dan istrinya, berdasarkan pengamatan selama 2 tahun terakhir mempunyai sifat yang tidak berperikemanusiaan, tamak, penuh dengki, jahat, kikir, kejam dan bengis.
Hal ini terlihat dari dombanya yang beribu-ribu jumlahnya, semuanya gemuk-gemuk, tetapi delapan orang gembalanya termasuk Zhong Fu kurus-kurus.   Sawahnya beratus-ratus hektar, tetapi pegawai serta petani penggarap tanahnya sangat miskin, menderita, sengsara dan tenaganya diperas seperti kuda atau sapi yang harus bekerja siang malam tanpa memikirkan nasib mereka.
Memang pada waktu itu, banyak tuan tanah yang hidup mewah diatas penderitaan rakyat, tetapi tetap saja tidak ada tindakan dari penguasa setempat.   Rumah dan kamarnya banyak, banyak sekali kosong, namun pelayan-pelayannya ditempatkan di barak-barak yang rusak dan kotor, termasuk tempat yang ditempati oleh Zhong Fu.   Menurut Sang Guru, orang seperti Tuan Yang dan istrinya, tidak ada gunanya diberi rejeki dan kekayaan, karena dia tidak pernah menolong masyarakat yang menderita.
Sang Guru sudah memutuskan dan menetapkan bahwa tanah ber-Feng Shui bagus tersebut diserahkan kepada Zhong Fu saja.   Ia menyuruh Zhong Fu untuk memberitahu ibunya, supaya bersiap-siap menyerahkan abu ayahnya, kepadanya.   Zhong Fu lalau menjawab bahwa majikannya yang mendatangkan Guru dari jauh, membiayai dan menghabiskan uang banyak untuk mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus.   Apabila tidak diserahkan pada majikannya Tuan Yang, bagaimana kemudian tanggung jawab sang Guru.   Kalau Tuan Yang mengetahui bahwa dia yang mendapatkan tanah, apa kata Tuan Yang terhadapnya yang hanya seorang pesuruh dan pengembala domba.
Zhong FU menolak pemberian tersebut dengan alasan kalau dia tidak mempunyai jasa apa-apa terhadap sang Guru, dia juga menganggap bahwa dirinya tidak  mempunyai rejeki untuk mendapatkan tanah tersebut dan tidak punya alasan yang kuat untuk menerima tanah tersebut, disamping itu berapa banyak uang yang harus dikorbankan untuk itu.   Sedangkan dia seorang anak yang miskin, sehingga bagaimanapun tak akan sanggup membelinya.  Setelah menerima jawaban dari Zhong Fu, sang Guru kecewa.   Dia menghargai kejujuran hati Zhong Fu, tapi juga tidak ingin keinginannya ditolak oleh Zhong Fu.
Kemudian sang Guru yang bijaksana itu memberikan jawaban pada Zhong Fu, serta penjelasan bahwa dia masih anak-anak dan masih muda, sudah sewajarnya kalau dia tidak dapat menangkap makna dan tujuan yang sesungguhnya, biarpun diberi penjelasan.   Maka sebaiknya Zhong Fu merundingkan dan mempertimbangkan dulu, mengenai masalah tanah ini dengan ibunya dan besok pembicaraan dilanjutkan.
Setelah Zhong Fu menemui ibunya dan menyampaikan maksud dan tujuan sang guru pada ibunya, ibunya menjadi terdiam sejenak, sambil berfikir tentang pemberian sang Guru tersebut.   Dengan pelan-pelan sang ibu berkata bahwa sang Guru betul, tidak keliru, tetapi mereka dengan sang Guru tidak mempunyai hubungan apa-apa, bagaimana bisa menerima begitu saja masalah tanah.
Maka sang ibu memberi alasan penolakan halus, supaya tidak terlihat bahwa mereka menolak pemberian tersebut dengan alasan tidak ada penggantinya untuk jasa tersebut.   Mendengar penolakan secara halus itu sang Guru merasa sangat kecewa sekali.   Sambil menarik nafas panjang, ia mulai memikirkan alasan supaya Zhong Fu dan ibunya bersedia menerima pemberian tanah tersebut.
Dengan penuh wibawa, lantang serta bernada memaksa penuh kepastian, sang Guru sekali lagi menyampaikan maksud dantujuannya pada Zhong Fu.   Bahwa sang Guru tidak menyerahkan tanah yang Feng Shuinya bagus tersebut kepada Tuan Yang, bukan lantaran Tuan Yang tidak menghormatinya, tetapi karena sang Guru tahu kalau Zhong Fu sangat berbakti kepada ibunya dan ayahnya yang telah meninggal.
Dengan keadaan tersebut sudah selayaknya membantu untuk memberi tanah yang bagus untuk menanam abu ayahnya.   Kalau bukan sang Guru yang membantu, maka siapa lagi ?   Maka sangat disayangkan kalau sekiranya ibu dan anak menolak maksud baik dari dia dengan alasan takut dan sebagainya.   Kapan lagi dia akan menghormati ayahnya yang sudah meninggal tersebut, maka walau bagaimanapun dan apapaun alasan Zhong Fu menolak, sang Guru tetap memaksa.
Akhirnya Zhong Fu disuruhnya pulang untuk membicarakannya sekali lagi dengan  ibunya, karena waktu habis masa kontrak dan selesainya perjanjiannya dengan Tuan Yang sudah semakin dekat.   Setelah sampai di rumah, sekalai lagi Zhong Fu menyampaikan pesan sang Guru pada ibunya.   Akhirnya, ibunya dapat menerima dan jawaban itupun segera disampaikan pada sang Guru.
Sang Guru sangat gembira sekali dan menyuruh Zhong Fu untuk menyiapkan segala yang diperlukannya, selanjutnya tinggal menunggu perintah dari sang Guru.   Tanah yang dimaksud sebenarnya berada di kandang domba.   Oleh karena itu domba-domba Tuan Yang tidak pernah berkurang jumlahnya.   Mati satu, maka akan lahir satu.   Tempat ber-Feng Shui bagus tersebut letaknya berada di tengah-tengah kandang, berupa tanah melingkar yang bersih, sama sekali tidak ada kotoran domba.
Malamnya, atas anjuran Gurunya, Zhong Fu memeriksa tanah tersebut.   Ternyata memang benar ada tanah seperti yang dimaksud sang Guru.   Tidak ada seorangpun yang tahu, kecuali dirinya dan sang Guru geologi.
lalu selang beberapa hari kemudian, sang Guru datang ke rumah Zhong Fu dan berkata, “Kelak, kau ingin menjadi kaisar yang hanya bertahta satu zaman atau menjadi seorang Dewa yang selalu dipuja orang selama ribuan tahun ?”   “Aku ingin manjadi Dewa”, tanpa ragu Zhong Fu menjawab.
Sang Guru berkata lagi kepada Zhong Fu, “Bawalah abu ayahmu ke tempat di kandang domba tersebut, waktu hujan badai tiba, masukkan abunya ke dalam baskom air, kemudian serahkan padaku.   Di sana aku akan berpura-pura memarahimu dan kamu harus menangis sekeras-kerasnya.   Setelah itu tuangkan abu ayahmu ke tempat di dalam kandang domba tersebut.   Abu itu dengan sendirinya akan terserap ke dalam tanah.”
Zhong Fu menuruti kata-kata Gurunya.   Malam hari telah tiba dan memang benar ada hujan badai.   Tepatnya sekitar jam dua malam ketika hujan badai masih belum reda, ia membawa abu ayahnya ke kandang domba tersebut.   Bersama gurunya, Zhong Fu bekerja keras menghalau domba-domba untuk pergi dari tempat tersebut.   Di sana, sesuai skenario, Gurunya memarahinya dan Zhong Fu pun menangis.
Waktu Zhong Fu menangis, segera dituangkanlah abu Guo Ming Liang ke dalam tanah yang Feng Shuinya bagus tersebut.   Karena terdengar suara ribut-ribut di kandang, Tuan Yang datang menghampiri kandang domba dan bertanya pada sang Guru, apa yang terjadi.   Sang Guru mengatakan, “Lihat !   Dia membawakan air sekotor ini kepadaku untuk cuci muka”, katanya sambil menunjuk ke tumpahan abu.   Tuan Yang melihat hal tersebut, memukul Zhong Fu karena dianggap nakal.   Tangisan Zhong Fu pun makin menjadi-jadi.   Setelah itu, secara ajaib abu ayahnya terserap ke dalam tanah.
Keesokan harinya, sekelompok tawon tanah berbondong-bondong muncul dari tanah di kandang dan menghalau domba-domba, domba berlarian kesana kemari, takut disengat tawon.   Akhirnya banyak domba-domba Tuan Yang mati disengat tawon-tawon tanah tersebut dan sebagian lainnya sudah kabur entah kemana.   Suara-suara gaduh tawon dan domba-domba tersebut membangunkan para pelayan dan pesuruh Tuan Yang.   Salah seorang pelayan melaporkan pada Tuan Yang, bahwa semua domba-dombanya sudah tidak ada, karena kabur atau telah mati disengat tawon.
Karena domba-domba tersebut semuanya sudah mati atau kabur, maka hilanglah sudah pekerjaan Zhong Fu.   Sang ibu juga menyadari bahwa karena kejadian tersebut, maka Tuan Yang pun akan menghadapi kerugian yang luar biasa, maka sudah tentu tidak mampu lagi mempekerjakan dirinya.   Dengan kata lain, mereka sudah kehilangan pekerjaan.   Oleh karena itu, Zhong Fu dan ibunya dengan segera membereskan dan menata barang-barang mereka dan kemudian pindah ke tempat lain, untuk mencari pekerjaan dan tempat tinggal yang baru, demi menyambung hidup.
Pada saat hendak pergi, sang Guru memberitahu Zhong Fu dan ibunya, untuk pergi ke arah selatan dan sang Guru sendiri akan pergi ke arah utara.   Sang Guru berpesan pada Zhong Fu dan ibunya, agar mereka berjalan terus ke arah selatan (versi lain mengatakan arah timur) dan kalau nanti melihat suatu keanehan-keanehan di suatu tempat, maka tempat itulah yang akan menjadi tempat tinggal yang baik buat mereka.   Keanehan-keanehan tersebut antara lain :
1. Ikan Li di atas pohon
2. Lembu naik orang
3. Orang memakai topi kuningan
4. Air berubah menjadi merah
Perkataan sang Guru selalu diingat Zhong Fu dan ibunya.   Segera merekpun pamit pada sang Guru geologi tersebut dan berjalan ke arah selatan.   Sedangkan sang Guru pun bergegas ke arah utara.   Kepergian mereka tampaknya tidak diketahui oleh Tuan Yang.   Mereka sudah pergi sebelum ada siapapun yang menyadari.
Tak lama kemudian, para pelayan Tuan Yang mencari-cari mereka.   Namun sudah terlambat, karena Zhong Fu dan ibunya telah pergi meninggalkan rumah mereka sebelum para pelayan tersebut sadar bahwa mereka telah hilang.   Demikian juga dengan sang Guru geologi.   Seorang pelayan wanita melaporkan hilangnya mereka pada Tuan Yang dan membawakan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh sang Guru geologi di kamarnya.
Tuan Yang langsung meminta surat tersebut dan dilihat memang ditujukan padanya.   Surat itu berisi pernyataan sang Guru kalau saat ini dia sudah pergi meninggalkan rumah Tuan Yang untuk selama-lamanya menuju ke utara dan tidak mungkin kembali lagi.   Sang Guru sangat berterima kasih atas perlakuan Tuan Yang dan istrinya, yaitu jamuan yang dirasa terlalu berlebihan juga jamuan seekor domba yang masuk di septick tank yang disajikan kepadanya sebagai obat.   Mungkin kita tidak sejalan dan tidak cocok bekerja sama dalam segala hal.
Setelah membaca surat tersebut, Tuan Yang merasa malu dan marah sekali terhadap sang Guru.   Dia tidak menyadari tindakannya dan tindakan istrinya selama ini semena-mena sekali.   Segera disuruhlah para pelayan untuk mengejar dan memburu sang Guru geologi beserta Zhong Fu dan ibunya.   Namun semua sudah terlambat, karena ketiganya sudah pergi sangat jauh meninggalkan rumah Tuan Yang.   Tuan Yang marah dan merasa tertipu dan dirugikan oleh mereka.   Harapannya untuk mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus ternyata sia-sia saja.
Demikianlah Zhong Fu dan ibunya terus berjalan ke arah selatan sesuai dengan petunjuk sang Guru.   Siang dan malam mereka terus berjalan, berhenti sebentar apabila lelah.   Lapar dan dahaga pun harus mereka tahan.   Pada saat malam hari tiba, merekapun hanya dapat tidur di tempat-tempat alam terbuka.   Nasib Zhong Fu dan ibunya sungguh menyedihkan.
Seluruh tubuh mereka sakit dan lelah, terutama kaki mereka bengkak-bengkak dan tubuh mereka tidak terurus lagi.   Zhong Fu berkata pada ibunya, “Bu, kalau sudah tidak sanggup lagi berjalan, maka sebaiknya kita istirahat dulu dibawah pohon yang rindang di tepi jalan.”   Sambil beristirahat, ibunya mengingat kata-kata sang Guru dan berkata, “Guru geologi orangnya pandai dan bijaksana, tetapi kata-katanya agak membingungkan orang lain.
Di dunia ini mana ada ikan yang berada di atas pohon, semua ikan pastilah berada dalam air.   Lalu lembu menaiki orang, apa ada hal itu, umumnya oranglah yang menaiki lembu, kalau lembu menaiki orang, apa orangnya tidak mati terinjak lembu tersebut.   Mana ada orang yang begitu bodoh sampai memakai topi kuningan yang sangat berat, demikian juga air berubah menjadi merah, hal-hal tersebut sangat aneh dan tidak mungkin terjadi.   Oleh karena itu lantas kita harus berhenti di mana nantinya ?   Karena Guru berpesan bahwa kita baru boleh bertempat tinggal apabila kita sudah menemui hal-hal aneh tersebut.”
Zhong Fu membenarkan kata-kata ibunya.   Namun Zhong Fu percaya apa yang dikatakan oleh sang Guru.   Lalu Zhong Fu berusaha menghibur ibunya dengan kata-kata yang lembut untuk memberi semangat orang tuanya yang sangat disayanginya itu.   Dia berkata bahwa Guru adalah seorang yang sakti, dapat mengetahui hal-hal yang akan datang maupun yang belum datang.   Kalau memang ibunya tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan, maka dia sanggup untuk menggendong ibunya sampai di tempat tujuan yang sampai saat ini pun sayangnya belum diketahuinya.
Keesokan harinya, Zhong Fu bersama dengan ibunya memetik buah-buahan untuk dimakan.   Mendadak langit berubah menjadi gelap, petir menyabar-nyambar disertai hujan yang sangat deras.   Zhong Fu tidak dapat menggiring ternaknya pulang ia pun berteduh di bawah pohon yang besar, saat itulah dari arah tikungan ia melihat kejadian seperti yang telah dituturkan oleh sahabatnya, sang ahli geologi.
Tampak oleh ibunya, seseorang sedang duduk di tepi sungai untuk memancing ikan, karena tidak menduga bahwa hujan akan turun maka ia bingung mencari tempat untuk berteduh.   Karena tergesa-gesa, dengan segera mata pancing yang dibawanya terangkat ke atas dan tersangkut di atas pohon dekat sungai.   Dia tidak mengetahui bahwa ada ikan besar yang tersangkut pada pancingnya.
Ibunya lalu berteriak bahwa ada ikan di atas pohon dan Zhong Fu pun tanpa disadari juga berteriak seperti ibunya.   lalu mereka juga melihat ada anak-anak pengembala lembu yang lewat, salah satu dari anak tersebut menerobos masuk di bawah perut lembu yang sedang berdiri karena takut kehujanan.   Maka Zhong Fu dan ibunya sekali-lagi berteriak kaget bahwa ada lembu naik orang.
Bersamaan dengan itu, datanglah seorang pertapa, buru-buru menutup kepalanya dengan loyang kuningan yang lebar untuk menghindari air hujan yang turun dengan derasnya agar tidak membasahi kepalanya.   Maka Zhong Fu dan ibunya menyadari bahwa kejadian ketiga sudah terjadi yaitu seorang memakai topi kuningan.
Dan karena hujan yang amat lebat, terjadi tanah longsor.   Tanah longsong tersebut mengubah air rembesan hujan menjadi merah.   Dengan demikian lengkaplah sudah kejadian-kejadian seperti yang dituturkan oleh sang ahli geologi.   Oleh karena Zhong Fu dan ibunya sadar bahwa tempat inilah yang cocok bagi mereka untuk menetap.   Namun anak dan ibu ini hanya punya sedikit uang, sehingga masih belum mampu untuk membangun rumah, mereka membutuhkan sebuah rumah untuk disewa.
Setelah hujan reda, Zhong Fu pergi ke seberang jalan.   Di ujung jalan terlihat sebuah rumah, Zhong Fu kemudian menghampirinya.   Lalu ada seorang anak yang menjaga lembu berkata, “Rumah tersebut baru selesai dibangun, namun karena sering diganggu hantu, pemilik rumahnya tidak berani untuk tinggal di rumah tersebut.   Kalau kamu tidak takut, coba tanyalah kepada pemilik rumah tersebut.”
Zhong Fu dengan memukul dadanya berkata, “Oh, aku sih tidak takut hantu.”   Lalu Zhong Fu bertanya siapa pemilik rumah tersebut.   Ana itu menjawab bahwa pemiliknya bernama kakek Oien dan dia bekerja sebegai penggembala.   Zhong Fu mengajak ibunya mendatangi rumah kakek Oien dan kebetulan di sana ada dua orang anak yang baru minum air di kolam.
Kemudian Zhong Fu bertanya siapakah pemilik rumah tersebut ?   Dan anak tersebut menjawab kalau pemilik rumah itu adalah orang tuanya.   Zhong Fu dan ibunya meminta anak tersebut untuk dapat diajak menemui kedua orang tuanya.
Setelah bertemu dengan kakek Oien, Zhong Fu dan ibunya bercerita mengapa mereka dapat sampai di tempat tersebut dan keinginan untuk menempati rumah kosong milik kakek Oien.   Karena si kakek pemilik rumah berfikir bahwa rumah tersebut kosong dan tidak ada yang mengurus, maka ia menyetujui Zhong Fu dan ibunya untuk tinggal di rumah kosong tersebut.
Setelah beberapa saat mereka tinggal di rumah kosong tersebut, ternyata tidak terjadi apa-apa dan tidak pernah diganggu oleh hantu.  Hantu-hantu tersebut tahu bahwa Zhong Fu akan menjadi seorang Dewa, oleh karenanya mereka lari ketakutan dan tidak berani mengganggu.   Namun waktu terus berjalan dan uang gaji yang diberikan Tuan Yang sudah habis.   Oleh karena itu Zhong Fu dan ibunya akhirnya bekerja mengambil kayu dan menggembala untuk bertahan hidup.
Sudah setengah tahun sejak mereka pertama kali mereka bekerja pada kakek Oien.   Zhong Fu mempunyai banyak sahabat dan banyak anak-anak desa yang berteman dengannya.   Hal ini disebabkan karena pada waktu luang, Zhong Fu mengajar anak-anak yang lain membaca, menulis dan pelajaran lain tentang berbagai pengetahuan.
Dengan sendirinya, orang tua mereka sangat senang dan berterima kasih pada Zhong Fu, karena anak-anak mereka menjadi maju dan pandai.   Apalagi orang tua mereka memang tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya tersebut.   Zhong Fu selalu menolong teman-temannya yang kesulitan dan orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Pada malam tanggal 15 bulan 8 Imlek, di langit sangat terang dan mencapai fase purnama.   Zhong Fu naik ke atas sebatang pohon sambil melihat langit malam yang cerah.   Zhong Fu sangat heran karena ia melihat ada satu bintang yang sangat besar dan terang.   Lalu ia berfikir bahwa orang di dunia ini harus berhati bersih, terang dan jujur seperti terangnya bintang tersebut.
Seminggu sesudahnya, Zhong Fu pergi naik ke gunung bersama dengan anak-anak lainnya mengambil kayu.   Zhong Fu kemudian melihat ada pohon yang sangat tinggi namun ranting-rantingnya kering.   Zhong Fu kemudian berkata pada teman-temannya, “Aku akan naik ke atas untuk mengambil ranting-ranting pohon tersebut”.   Teman-temannya yang usil, melihat pohon tersebut sangat tinggi dan sulit untuk dipanjat, mereka kemudian bertaruh, “Zhong Fu, kalau kamu berhasil memanjat ke sana, kayu-kayu yang kami dapatkan hari ini akan kami berikan semua kepadamu”.
Dengan gerakan lincah seperti monyet, Zhong Fu berhasil memanjat sampai ke tengah pohon, di mana ia melihat sebuah dudukan.   Di sana ia merasa bahwa saatnya menjadi Dewa telah tiba.   Kemudian dengan duduk bersila, Zhong Fu setengah memejamkan matanya, penampilannya saat itu mirip seperti seorang Dewa yang sedang bermeditasi.
Zhong Fu kemudian meminta pada teman-temannya untuk memberikan kayu-kayunya kepada sang ibu.   Ia juga berkata pada teman-temannya untuk memanggil ibunya dan meminta ibunya untuk membawakan sebuah buku dan satu biji labu kuning.   Waktu anak-anak mencari ibunya, saat itu ibunya sedang menuntun babi dan lembu.
Teman-temannya salah mendengar perkataan Zhong Fu dan mengatakan pada ibunya, bahwa Zhong Fu meminta babi dan lembu untuk dibawakan kepadanya.   Ibunya merasa heran mendengar permintaan anaknya tersebut, namun ibunya yakin bahwa Zhong Fu adalah anak yang jujur, pasti ada alasannya sampai meminta hal-hal yang demikian.   Ketika babi dan lembu hendak dibawa, ternyata si babi tidak mau menurut dan terus mondar mandir, lain dengan lembunya yang penurut.   Pelu waktu lama untuk mengendalikan si babi.
Akhirnya bersama dengan lembu dan babi, ibunya datang ke tempat di mana Zhong Fu berada.   Ketika itu Zhong Fu sudah kaku seperti patung dan tidak berkata satu kata pun.   Wajahnya menjadi merah dan matanya menerawang.   Melihat anaknya sudah seperti itu, ibu Zhong Fu langsung menagis.   Ibunya ingat mimpinya pada tanggal 15 yang lalu, yang ternyata sekarang telah terwujud.
Menurut perintah Dewa, ibunya disuruh menggoyang-goyangkan kaki Zhong Fu.   Langsung saja sang ibu memanjat pohon tersebut dan menarik sebelah kaki Zhong Fu ke bawah, sambil berkata, “Zhong Fu, bukalah matamu lebar-lebar, sehingga kamu dapat melihat jauh.   Kalau kamu sudah menjadi Dewa, maka tolonglah segera orang-orang yang sengsara dan menderita.  Sampai tiga kali kakinya digoyang-goyang oleh sang ibu.
Karena Zhong Fu adalah anak yang berbakti maka ia mengingat terus perkataan ibunya dan membuka matanya lebar-lebar seperti cahaya bintang di angkasa yang terang benderang.   Oleh karena itu, apabila kita melihat rupang SHENG WANG, maka matanya sangat lebar dan sebelah kakinya turun ke bawah.   Demikianlah pada tanggal 22 bulan 8 Imlek tahun 938 M, Zhong Fu menjadi seorang Dewa.
Tempat itu dinamai FEI FENG SHAN.   Zhong Fu telah mencapai “Kesempurnaan” atau menjadi DEWA selagi umurnya masih 16 tahun.   Sejak itu para penduduk memberikan segala penghormatan dan memuja Zhong Fu sebagai orang suci, dengan mendirikan Kelenteng (Jiang Jun Miao).   Pada saat terjadi bencana alam, banyak penduduk melihat akan kemunculan Zhong Fu (terkadang mengendarai kuda putih) memberikan bantuan serta pertolongan bagi mereka yang tertimpa malapetaka, maka penduduk pun memberi gelar : “GUANG ZE ZUN WANG” yang berarti “Raja Mulia yang memberi berkah berlimpah” (Kwee Seng Ong).