Senin, 03 Agustus 2015

Falsafah hindu ~ hubungan alam dengan hidup manusia

Bagaimanakah hubungan alam dengan tujuan hidup manusia?

    Agama Hindu mengajarkan agar manusia hidup menemani alam dan bukan menundukkan alam, karena menginginkan dua jenis kebahagiaan yaitu kebahagiaan lahiriah yang disebut jagadhita dan kebahagiaan rohani yang disebut jiwamoktah yang akhirnya mencapai moksa. Tujuan itu nyata disebutkan di dalam Weda dengan formula yang berbunyi “moksartham jagadhitaya ca iti dharmah” 

                                           

    Agama Hindu memandang alam sebagai tempat manusia menempuh kehidupan. Alam sebagai sumber materi yang diperlukan untuk hidup, alam memberikan rangsangan rasa etis artistik, alam memberikan inspirasi dan sesungguhnya jasmani manusia yang disebut “stula sarira” berasal dari unsur-unsur pancamahabhuta yang merupakan unsur sama dengan unsur yang membentuk alam sebagai ciptaan Hyang Widhi.

Di dalam theology dikemukakan ajaran mengenai kosmologi yang bertujuan untuk menjelaskan alam semesta ini. Masalah yang menjadi obyek penelitian dalam kosmologi meliputi berbagai aspek gejala-gejala alam semesta termasuk pula tetang ajaran mengenai kemanfaatannya, sifat-sifat hakekatnya, sifat-sifat alamiah yang serba terbatas, sifat-sifat relative, asal mula timbulnya kejahatan, pengertian dosa dan sorga, disamping aspek lainnya yang membahas hubungan antara ruang dan waktu sebagai hakekat alam phenomena. Pada umumnya ajaran psiko-kosmos adalah ajaran yang dijelaskan dengan simbol-simbol alam kejiwaan dan alam dunia fana ini serta hubungannya dengan alam gaib dalam bentuk hubungan antara mikrokosmos dengan makrokosmos.

Dalam hubungan ini jasmani manusia digambarkan sebagai mikrokosmos yang dibedakan dengan alam semesta ini atau jagat raya sebagai makrokosmos. Bentuk dan sifat hubungan mikrokosmos dan makrokosmos digambarkan sebagai bentuk yang sama-tidak sama sebagai gambaran yang dilukiskan dalam adagium “neti-neti-neti” (pudja, 1978,32). Kosmos di dalam istilah Hindu disebut “bhuwana” artinya dunia, tidaklah real. Beberapa sistem filsafat memandang dunia ini semu. Walaupun semu, namun tidaklah patut dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan, karena segala sesuatu dapat dilukiskan.

    Makrokosmos yang juga disebut bhuwana-agung dan mikrokosmos atau bhuwana-alit adalah dua kosmos yang berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Perhubungan kedua kosmos itu perlu harmonis untuk tercapainya ketentraman hidup lahir batin. Mistik atau ilmu kebatinan di Bali menghubungkan bhuwana agung dengan bhuwana alit dengan istilah “pasuk wetu”, adalah bertujuan untuk mencapai keselarasan atau keharmonisan antara kedua kosmos.

    Jasmani atau badan wadag manusia disebut sthula carira adalah bhuwana alit yang artinya alam kecil. Disebut dunia kecil karena jasmani manusia adalah bagian dari bhuwana agung atau jagat raya yaitu alam besar. Manusia terdiri dari dua unsur purusa (atma) dan unsur prakerti atau raga. Demikian pula makrokosmos terdiri dari dua unsur yaitu unsur purusanya adalah Paramatma (Hyang Widhi) dan unsur prakertinya adalah bumi ini.
Keadaan pancamahabhuta di bhuwana alit adalah sebagai berikut :
1. Tulang, kulit, daging, kuku dan bagian keras yang lainnya adalah unsur pratiwi (zat padat). 
2. Darah, lemak, enzim-enzim dan cairan lainnya adalah unsur apah (zat cair).
3. Panas badan, cahaya dan warna badan adalah unsur teja (panas).
4. Nafas dan hawa serta bau badan adalah unsur wayu (udara).
5. Rambut dan bulu badan adalah unsur akasa (ether). 

Keadaan pancamahabhuta di bhuwana alit adalah sesuai dengan keadaan pancamahabhuta di bhuwana agung yaitu :
1. Zat padat adalah unsur pratiwi
2. Zat cair adalah unsur apah.
3. Panas, api dan sinar adalah unsur teja.
4. Udara atau hawa adalah unsur wayu/bayu.
5. Ether adalah unsur akasa. 

Di bhuwana agung ada yang disebut “sapta nadi” yaitu tujuh sungai yang dianggap suci di India. Ketujuh sungai itu adalah : sungai Gangga, sungai Sindu, sungai Saraswati, sungai Wipaca, sungai Kocika, sungai Yamuna dan sungai Serayu seperti yang disebutkan di dalam Wedhasanggraha di Bali, sebagai tempat untuk menyucikan diri dan melebur serta membuang kecemaran (leteh).

Sapta nadi yang juga disebut “sapta segara” di bhuwana alit adalah :
segara susu (darah), segara asin (keringat), segara santen (cairan otak), segara madu (air ludah), segara empehan (air susu), segara banyu (air seni) dan segara amerta (air mani), sebagai tempat melebur atau membuang kecemaran pada jasad manusia.
Dalam bhuwana agung ada lima gunung yang dianggap suci disebut “panca giri” baik di India maupun di Bali. Di bhuwana alit ada juga yang disebut panca giri. Adapun perhubungannya sebagai berikut :
1. Pancagiri di India yaitu : gunung Maliawan arahnya di timur, gunung Gandhamedhana arahnya di selatan, gunung Kailaca arahnya di barat, gunung Udaya arahnya di utara, gunung Mahameru arahnya di tengah.

2. Pancagiri di Bali yaitu : gunung Lempuyang arahnya di timur, gunung Andhakasa arahnya di selatan, gunung Watukaru arahnya di barat, gunung Bratan arahnya utara, gunung Agung arahnya tengah.

3. Pancagiri di bhuwana alit : jantung arahnya di timur, hati arahnya di selatan, limpa arahnya di barat, empedu arahnya di utara, kumpulan hati (paunduhan hati) arahnya di tengah.

Matahari dan Bulan atau “surya-candra” di bhuwana agung, bila di bhuwana alit mata kanan disebut surya (matahari) dan mata kiri disebut candra (bulan). Di dalam upacara agama Hindu, matahari disimbolkan dengan “dipa” yaitu api yang menyala (padamaran) dan bulan disimbolkan “dupa” yaitu api yang tidak menyala (pasepan). Baik dipa maupun dupa, keduanya merupakan peralatan memuja Hyang Widhi bagi pendeta Hindu di Bali. Falsafah Hindu membagi bhuwana agung dan bhuwana alit masing-masing menjadi 7 lapisan atau tingkatan yang disebut “sapta patala”. Sapta patala di bhuwana agung adalah : suatala, atala, witala, satala-tala, santala, tala-tala dan tala.

Adapun sapta patala di bhuwana alit adalah : paha (suatala), lutut (atala), betis (witala), pergelangan kaki (satala-tala), tumit (santala), tapak kaki (tala-tala) dan pusat tapak kaki (tala). Di dalam agama Hindu, dunia ini dibagi menjadi 9 penjuru mata angin dan masing-masing penjuru ada huruf sucinya yang disebut “wijaksara” dan ada Dewanya yang menjaga masing-masing penjuru dunia. Bhuwana alit juga dibagi 9 penjuru dengan wijaksara serta dewanya yang sama dengan di bhuwana agung. Adapun hubungan perhubungannya sebagai berikut :
1. Penjuru timur, Dewanya Iswara, wijaksara SA, tempatnya di bhuwana alit adalah jantung.
2. Penjuru tenggara, Dewanya Maheswara, wijaksara NA, tempatnya di bhuwana alit adalah paru-     paru. 
3. Penjuru selatan, Dewanya Brahma, wijaksara BA, tempatnya dibhuwana alit adalah hati.
4. Penjuru barat-daya, Dewanya Rudra, wijaksara MA, tempatnya di bhuwana alit adalah limpa.
5. Penjuru barat, Dewanya Mahadewa, wijaksara TA, tempatnya di bhuwana alit adalah   jajaringan. 
6. Penjuru barat-laut, Dewanya Sangkara, wijaksara CI, tempatnya di bhuwana alit adalah ungsilan.
7. Penjuru utara, Dewanya Wianu, wijaksara A, tempatnya di bhuwana alit adalah empedu.
8. Penjuru timur-laut, Dewanya Sambhu, wijaksara WA, tempatnya di bhuwana alit adalah ineban.
9. Penjuru tengah, Dewanya Ciwa, wijaksara I (dibawah) dan YA (diatas), tempatnya di bhuwana alit adalah otak. 

    Di depan telah dikemukakan, bahwa unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit berasal dari pancamahabhuta di bhuwana agung. Ini mengandung arti bahwa jasmani manusia berasal dari alam atau bumi. Ketika sang ibu mulai mangandung, maka ia merindukan sesuatu untuk dimakan misalnya : asam-asaman, buah-buahan, nasi dan kadang-kadang ada wanita hamil yang ingin makan “ampo” (tanah liat kering). Kerinduan akan makan sesuatu itu disebut “ngidam”. Di Bali ada semboyan bahwa manusia lahir atau datang mengikuti embun “nuwut damuh” dan manusia berpulang atau mati mengikuti asap (nuwut kukus).

    Semboyan ini memberikan petunjuk bahwa jasmani manusia berasal dari unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana agung. Ketika manusia mati, maka jasadnya kembali lagi ke bumi dengan jalan mengubur atau membakarnya. Bilamana pengembalian jasad manusia ke bhuwana agung dengan cara mengubur, maka proses peleburannya lebih lambat daripada mengembalikan dengan cara membakar. Oleh karenanya system pembakaran jenasah dalam agama Hindu bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit dan pancamahabhuta di bhuwana agung. Upacara “ngaben” di Bali harus diartikan memisahkan unsur purusha (atma) dengan unsur prakerti (jasmani) manusia dengan mempercepat proses pengembalian unsur-unsur pancamahabhuta di bhuwana alit ke pancamahabhuta di bhuwana agung.

    Unsur purusha yang berasal dari Hyang Widhi kembali kepada Hyang Widhi atau Brahma-loka. Inilah yang disebut “mulih ing sangkan paran” di dalam falsafah makrokosmos dan mikrokosmos agama Hindu. Mengenai motto “mulih ing sangkan paran” ini disebutkan di dalam Bhagawad-GitaVII, 6 dan IX, 10 sebagai berikut.

VII, 6 : “etadyonini bhutani Sarvani’ty upadharaya Aham krtsnasya jagatah Prabhavah pralayas tatha”  

artinya : ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di dalam alamKu ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (pralaya).

IX, 10 : “maya dhyaksena prakrtih Suyate sacaracaram Hetuna nena kaunteya Jagad viparivartate”

artinya : di bawah tuntunanKu, prakerti melahirkan semua yang ada, bergerak dan tidak bergerak, dan dengan jalan ini, o putera Kunti maka dunia berputar.  

    Hyang widhi adalah sumber dari segala yang ada, alam semesta ada di dalam Hyang Widhi sendiri. Fungsi Hyang Widhi dalam wujud Trimurti yaitu Brahma, Wisnu, Siwa ialah pencipta, pemelihara, dan mengembalikan lagi ke tempat asalnya. Inilah yang disebut alam Hyang Widhi. Perhubungan makrokosmos dan mikrokosmos perlu diharmoniskan, karena hubungan yang tidak harmonis akan menimbulkan ekses-ekses negative terutama terasa di bhuwana-alit antara lain berupa sakit, gusar, perasaan tidak enak dan lain sebagainya. Maka dari itu agama Hindu mengajarkan agar manusia menjaga keharmonisan kedua kosmos demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin. Dengan kata lain keseimbangan ekosistem perlu diciptakan dan dijaga. Ini mengandung konsekuensi, bahwa manusia harus mengharmoniskan diri dengan lingkungan hidup yang telah nyata-nyata memberikan rasa aman, tenteram dan bahagia dalam kehidupan ini.

     Demikianlah falsafah makrokosmos dan mikrokosmos dalam agama Hindu mengandung arti harmonis hubungan manusia dengan lingkungannya yang memberikan pengaruh positif secara timbal-balik.

(sumber : seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu)
Diposkan oleh JBagus di 21.15
Label: Edisi Khusus Hindu dan Lingkungan Hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar