Minggu, 11 Januari 2015

BAB SATU ( jiwa )

Raja milinda pergi menemui bhikkhu nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat disatu sisi. Milinda mulai bertanya :

1. "Apa sebutan yang mulia dan siapakah nama anda?"
"Baginda, saya disebut nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan."
Mendengar itu, milinda mengundang orang orang yunani bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi; ''nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?" kemudian dia berbalik kepada nagasena dan berkata, yang mulia nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalankan kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzina, berbohong dan mabuk mabukan? Jika apa yang anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan bajik atau perbuatan tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang mulia, seandainya saja seseorang membunuh anda, maka tidak akan ada pembunuhan. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru didalam sangha anda. Anda katakan bahwa anda disebut nagasena. Nah, apa itu nagasena? Apakah rambutnya?"
"Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung."
"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?"
"Tentu saja tidak."
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk bentuk pikirannya, atau kesadarannya? Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu diluar semua itu yang disebut nagasena?"
Masih saja nagasena menjawab;
"Bukan semuanya itu."
"Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang mulia telah berdusta."
"Baginda, tuan telah di besarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?"
"Naik kereta yang mulia."
"Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu diluar semua itu?"
"Bukan semuanya itu, yang mulia."
"Kalau begitu, baginda. Kereta itu hanya omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di india. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?"
Kemudian nagasena memanggil orang orang yunani bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: 'raja milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, 'apakah kereta itu?' beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?"
Maka secara serempak ke-500 orang yunani bactria itu berteriak bersama sama kepada raja, "jawablah bila baginda bisa!"
"Yang mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik didalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh bhikkhuni vajira di hadapan sang buddha yang agung, 'seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata 'kereta' digunakan, demikian juga bila ada unsur unsur makhluk maka kata 'makhluk' digunakan."

2."berapa musim penghujan ( masa vasa ) yang telah anda jalani, nagasena?"
"Tujuh, baginda."
"Tetapi bagaimana dapat anda katakan tujuh; apakah anda yang tujuh atau jumlahnya yang tujuh?"
Lalu nagasena menjawab,
"Bayang-bayang baginda sekarang ditanah. Apakah baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?"
"Akulah rajanya, nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku."
"Demikian juga, o baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti bayang-bayang itu merupakan milik baginda."

3. "Kemudian raja berkata, "yang mulia, maukah anda berdiskusi denganku lagi?"
"Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak."
"Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?"
"Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya tanpa marah."
"Dan bagaimana raja berdiskusi?"
"Bila raja berdiskusi suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu."
"Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajar aku akan berdiskusi. Silahkan yang mulia berbicara tanpa takut."
"Dengan senang hati, baginda."
"Nagasena, aku akan bertanya", kata raja.
"Bertanyalah baginda."
"Aku telah bertanya, yang mulia."
"Kalau demikian, saya telah menjawab."
"Apa yang telah anda jawab?"
"Apa yang telah baginda tanyakan?"
Raja berpikir, "bhikkhu ini benar benar seorang terpelajar yang hebat, dia cukup mampu berdiskusi apa pun juga denganku." maka sang raja menyuruh devamantiya, menterinya, untuk mengundang nagasena ke istana bersama dengan banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: "nagasena, nagasena."

4. "Maka devamantiya, anantakaya dan mankura pergi ke pertapaan nagasena untuk menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju istana, anantakaya berkata kepada nagasena, "yang mulia, bila saya mengatakan 'nagasena', apakah sebenarnya nagasena itu?"
"Anda pikir nagasena itu?"
"Jiwa, nafas didalam yang keluar dan masuk."
"Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu akan hidup?"
"Tentu saja tidak."
"Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas mereka kembali pada mereka?"
"Tidak yang mulia, tidak."
"Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?"
"Saya tidak mampu berbantahan dengan anda. Tolong jelaskan bagaimana."
"Tidak ada jiwa didalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh." kemudian nagasena thera berbicara tentang abdhidhamma dan anatakaya merasa puas dengan penjelasan itu.

5. Setelah para bhikkhu tiba diistana dan selesai makan, sang raja duduk ditempat rendah dan bertanya,
"apa yang akan kita diskusikan?"
"Mari kita mendiskusikan dhamma."
Dan raja berkata,
"Apa tujuan yang mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?"
"Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan tidak ada penderitaan lain muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa adalah tujuan kami."
"Yang mulia, apakah setiap orang masuk sangha untuk tujuan yang sangat mulia tersebut?"
"Tidak, ada yang masuk untuk menghindari dari kekejaman raja, ada yang untuk menghindari dari perampok, ada yang menghindari dari hutangnya, dan ada yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka masuk dengan tujuan yang benar melakukan agar nafsu dapat sepenuhnya padam."

6. Sang raja berkata,
"adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?"
"Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin dan tidak akan terlahir kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir kembali."
"Apakah anda akan terlahir kembali?"
"Jika saya mati dengan nafsu keinginan didalam pikiran, ya; tetapi jika tidak, tidak."

7. "Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena kekuatan penalarannya?"
"Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga kebijaksanaan, keyakinan, moralitas, kewasapadaan, semangat, konsentrasi."
"Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?"
"Tidak, binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan."

8. "Bhikkhu nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?"
"Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan."
"Berikan ilustrasi."
"Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?"
"Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit ditangan kanannya mereka memotong gandum tersebut."
"Demikian juga halnya, o baginda, para petapa memegang pikirannya dengan penalaran dan memotong kekotoran batin  dengan kebijaksanaan."

9. "Bhikkhu nagasena, apakah ciri khas dari moraritas?"
"Menopang, o baginda, karena miraritas merupakan landasan bagi semua sifat baik, yakni :
A. Lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lima kekuatan moral ( catatan-yakni : keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi, dan kebijaksanaan ),
B. Tujuh faktor pencerahan ( catatan-yakni : kewaspadaan, penyelidikan, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi, dan ketenang-seimbangan ),
C. Delapan faktor jalan mulia ( catatan-yakni : pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi benar ),
D. Empat landasan kewaspadaan ( catatan-yakni : kewaspadaan pada tubuh, pada perasaan, pada buah-pikir, pada objek pikiran ),
E. Empat usaha benar ( catatan-yakni : usaha untuk mencegah dan menghilangkan keadaan yang tidak bajik serta usaha untuk mengembangkan  dan mempertahankan keadaan yang bajik ),
F. Empat landasan keberhasilan ( catatan-yakni : hasrat, energi, keuletan dan kebijaksanaan ),
G. Empat penyerapan ( catatan-yakni : empat tahap pemusatan pikiran atau jhana ),
H. Delapan kebebasan ( catatan-yakni : delapan tingkat pelepasan pikiran oleh konsentrasi yang sangat kuat ),
I. Empat metode konsentrasi ( catatan-yakni : meditasi untuk cinta kasih, kasih sayang, suka cita bersimpati, dan ketenang-keseimbangan ),serta
J. Delapan pencapaian agung ( catatan-yakni : empat jhana tanpa bentuk dan empat jhana berbentuk ).
Semua sifat baik itu ditopang oleh moraritas. Di dalam diri orang yang mengembangkan batinnya dengan mengunakan moraritas sebagai fondasi, kondisi-kondisi yang baik ini tidak akan kekurangan."
"Berikan ilustrasi."
"Seperti halnya semua bentuk kehidupan hewan dan tumbuhan pada tanah sebagai penopang, demikian juga seorang petapa dengan moraritas sebagai penopang mengembangkan lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lain sebagainya itu. Demikian ini yang dikatakan sang buddha :

"Bila orang bijaksana, yang telah kokoh moraritasnya,
Mengembangkan konsentrasi dan pemahaman,
Kemudian sebagai bhikkhu, dia gigih dan bijaksana,
Dia berhasil menguraikan kekusutan ini."

10. "Apakah ciri khas dari keyakinan?"
"Kejernihan dan inspirasi. Ketika keyakinan muncul didalam pikiran, keyakinan itu menembus cadar lima penghalang. Maka pikiran menjadi tenang dan tidak terganggu. Dengan demikian keyakinan menjadi jernih. Dan inspirasi adalah tanda ketika meditator karena memahami bagaimana pikiran orang lain telah terbebas kemudian terinspirasi untuk mencapai apa yang masih belum dapat dicapainya, untuk mengalami apa yang masih belum pernah dirasakannya, dan untuk merealisasikannya. Demikian ini yang dikatakan sang buddha :

"Dengan keyakinan dia menyeberangi banjir,
Dengan kewaspadaan melewati samudera kehidupan,
Dengan ketetapan hati semua penderitaan dia tenangkan,
Dengan kebijaksanaan dia dimurnikan".

11. "Dan apa, yang mulia, ciri khas semangat?"
"Penguatan, o baginda, sehingga semua sifat baik yang ditopang oleh semangat tidak menjadi pudar."
"Berikan ilustrasi."
"Sama seperti bila bala tentaranya telah dipukul mundur oleh pasukan musuh yang lebih besar, seorang raja akan mengingat siapa sekutu yang bisa diharapkan untuk menguatkan pasukannya agar dapat mengalahkan musuh yang kuat itu. Begitulah penguatan merupakan ciri dari semangat. Demikian ini yang dikatakan sang buddha :

"Siswa mulia yang penuh semangat, o bhikkhu,
Menyingkirkan yang tidak bajik dan mengembangkan yang bajik,
Menghindari yang tercela dan mengembangkan yang tak tercela,
Dengan begitu dia menjaga kemurnian pikirannya."

12. "Nagasena, apakah ciri khas kewaspadaan?"
"Mencatat dan menyimpan didalam ingatan. Ketika kewaspadaan timbul didalam pikiran petapa, secara berulang ulang dia mencatat apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tak tercela dan apa yang tercela, apa yang tidak penting dan apa yang penting, sifat sifat yang gelap dan terang, dan sebagainya. Dia akan berpikir, 'inilah empat landasan kewaspadaan, inilah empat usaha yang benar, inilah empat landasan keberhasilan, inilah lima kemampuan batin yang mengendalikan, inilah lima kekuatan moral, inilah tujuh faktor pencerahan, inilah delapan faktor jalan mulia, inilah ketenangan, inilah kebijaksanaan, inilah pandangan terang, dan inilah kebebasan. Demikian dia mengembangkan semua sifat yang bajik dan menghindari sifat sifat yang harus dihindari."
"Berikan ilustrasi."
"Sama seperti bendahara raja yang mengingat tuannya tentang besarnya pasukan raja dan jumlah kekayaan yang ada."
"Bagaimana 'menyimpan didalam ingatan' dapat menjadi tanda kewaspadaan?"
"Ketika kewaspadaan muncul didalam pikiran, orang akan mencari kategori tentang sifat-sifat yang baik dan yang tidak baik. Dia akan berpikir, 'sifat-sifat ini yang menguntungkan dan ini yang merugikan.' Dengan demikian dia melenyapkan apa yang jelek didalam dirinya serta mempertahankan apa yang baik."
"Berikan ilustrasi."
"Sama seperti perdana menteri raja yang memberikan nasehat tentang tindakan yang benar. Demikian ini yang dikatakan sang buddha :

'Kunyatakan, o para bhikkhu, kewaspadaan sangatlah membantu dimana pun juga'.

13. "Dan apa, nagasena, ciri khas dari konsentrasi?"
"Menjadi pemimpin, o baginda. Semua sifat yang bajik mempunyai konsentrasi sebagai pemimpinnya; sifat sifat bajik mengarah padanya, dan menuju kesitu."
"Berikan ilustrasi."
"Seperti halnya kasau rumah yang miring dan menuju satu titik yaitu titik tertinggi diatap demikian juga semua sifat yang baik mengarah dan memusat pada konsentrasi. Demikian ini yang dikatakan sang buddha :

'Bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi; seorang bhikkhu yang terkonsentrasi melihat segala sesuatu sebagaimana adanya'.

14. "Apa, nagasena, ciri khas kebijaksanaan?"
"Menerangi, o baginda. Ketika kebijaksanaan muncul didalam pikiran, kebijaksanaan itu mengusir kegelapan yang dimiliki kebodohan batin, membuat munculnya pandangan terang, membuat bersinarnya pengetahuan, dan membuat jelasnya kesunyataan mulia. Demikianlah meditator dengan kebijaksanaan yang paling terang mencerap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tidak adanya diri didalam segala bentuk."
"Berikan ilustrasi."
"Sama seperti lampu, o baginda, yang berada diruangan gelap akan menerangi ruangan itu dan membuat objek yang ada menjadi jelas terlihat."

15. "Sifat-sifat yang sangat berbeda ini, nagasena, apakah membuahkan hasil yang sama?"
"Ya, yaitu hancurnya kekotoran didalam pikiran. Sama seperti berbagai kekuatan pasukan misalnya gajah, kavaleri kereta perang, dan pemanah membuahkan satu hasil, yaitu takluknya tentara musuh."
"Penjelasan yang baik, nagasena. Anda pandai menjawab."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar