Sakka panha sutta
Mahasi sayadaw
(Alih inggris-indonesia : chandasali nunuk y. Kusmiana,
Editor: samuel b. Harsojo, edisi pertama, cetakan pertama, medio juli 2003 )
Kata pengantar
Buku ini berisi terjemahan ceramah mahasi sayadaw tentang sakka panha sutta. Sayadaw memberikan ceramah tentang sakka panha sutta pada bulan desember 1977 dalam kunjungan tahunan para umat untuk mendengarkan pembabaran dharma beliau. Permintaan ceramah diajukan oleh u pwint kaung. Ia adalah ketua organisasi pengembangan buddha sasana.
Ketua organisasi itu mengharapkan sayadaw memberikan suatu ceramah yang bersifat umum dan universal. Dengan alasan inilah sayadaw memilih serangkaian tema ceramah yang diambil dari sakka panha sutta.
Sutta ini bercerita kepada kita tentang percakapan sang buddha dengan raja dewa sakka. Sakka bertanya asal muasal timbulnya konflik, rasa frustasi dan penderitaan yang dialami semua makhluk. Sayadaw membahas panjang lebar tentang sutta ini. Dalam sutta ini terdapat kata-kata sang buddha tentang hal yang bisa membuat dunia damai sejahtera serta beberapa pesan penting di dalamnya.
Ceramah sayadaw bersifat informatif serta mampu memberi pencerahan. Banyak dari pandangan beliau yang sangat penting untuk menumbuhkan pemahaman dalam praktek dhamma sehari-hari.
Disamping itu sayadaw mengingatkan tentang hal lain yakni pengantar suatu sutta tidaklah sepenting inti ajaran itu sendiri. Hal ini beliau katakan sehubungan dengan kontroversi yang timbul dibelakang hari tentang abhidhamma pitaka. Dimana kitab terakhir ini tidak diakui oleh sekelompok umat buddha karena ketiadaan pengantar didalamnya. Padahal intisari abhidhamma yang dibabarkan langsung oleh sang buddha melalui sariputta thera sangat penting.
Beliau juga membahas praktek hidup sehari-hari dari sekelompok umat yang telah menyimpang dari ajaran sang buddha. Seperti diketahui, saat ini ada sekelompok pemuka agama yang sering berpidato dengan penuh semangat dan berapi-api. Ada juga para umat yang memohon pertolongan dari kekuatan supra seperti kepada tuhan dan lain-lain. Malah ada lagi praktek penyembelihan massal sejumlah hewan pada suatu festival keagamaan di vihara. Penyembelihan hewan-hewan itu dimaksudkan sebagai tumbal. Sudah pasti perilaku semacam ini salah besar dan menyalahi aturan. Bandingkan dengan perilaku benar seperti praktek dhamma untuk memperoleh pandangan terang.
Pada bagian lain sayadaw membabarkan intisari dari sakka panha sutta sebagai sesuatu yang luar biasa. Beliau berceramah setelah banyak melakukan pengamatan yang rasional dari tipitaka dan kitab-kitab komentar. Penjelasan beliau tentang bentuk pikiran yang menyedihkan dan bersifat depresif serta bagaimana menyikapinya bisa dijadikan inspirasi dari sementara yogi yang berkeyakinan rendah. Dimana keyakinan yang rendah ini muncul karena adanya hambatan pada praktek spiritual mereka. Penjelasan-penjelasan sayadaw akan membantu para yogi untuk meluruskan latihan kala menemukan hambatan ketika berlatih vipassana.
Sesuatu yang penting disebutkan disini, nilai mendasar yang dibahas disini tidak sebatas hanya untuk umat buddha saja tapi berhubungan erat dengan kehidupan manusia secara umum. Terlihat pula sutta materi dhamma yang sangat menyentuh masalah yang terjadi pada manusia dan makhluk hidup lainnya dalam lingkaran kehidupan. Terakhir, bagi siapapun yang tengah melakukan praktek dhamma semoga bisa mengakhiri penderitaan.
Bhikkhu indika ( nyaunggan )
Mahasi dhammakathika
16, sasanayeiktha, rangoon
Diskusi tentang
Sakka panha sutta
Sebelum membahas lebih jauh tentang sakka panha sutta alangkah baiknya mengulas kata "sakka panha" sendiri. Dalam literatur buddhisme, sakka adalah nama yang diberikan pada raja dewa. Sementara kata panha berarti pertanyaan. Bila digabung sakka panha artinya pertanyaan sakka. Sakka panha berisi tanya jawab tentang kesejahteraan makhluk hidup dalam lingkungan kehidupan. Tanya jawab ini berlangsung antara sakka sebagai penanya dan sang buddha yang memberikan tanggapan atas pertanyan raja para dewa.
Pertanyaan sakka kepada sang buddha diawali sebagai berikut, "yang mulia, dalam lingkaran kehidupan terdapat makhluk-makhluk seperti para dewa, umat manusia, para asura, naga, gandhabba dan masih banyak makhluk lainnya. Para makhluk ini ingin bebas dari perselisihan, pertentangan, konflik bersenjata, kebencian dan ketidakbahagiaan".
Sakka melanjutkan pertanyaan, "tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk semacam itu. Rantai belenggu (samyojana) macam apakah yang membuat para makhluk tak bisa membebaskan diri dari hal-hal buruk demikian ini?"
Sakka tahu betul mengapa ia perlu mengajukan pertanyaan semacam ini. Mengingat apa yang selalu dialami dan dilihat dialam surga tavatimsa dan catumaharajika ( dua wilayah kekuasaan sakka ). Kehidupan para dewa di dua alam surga ini sangat dikenal oleh sakka. Bagaimana terbukti meski hidup dipenuhi kesenangan indrawi para dewa ini tak terbebas dari konflik dan perselisihan.
Sebagai misal para dewa di alam-alam asura adalah musuh bebuyutan dewa-dewa tavatimsa. Para asura, sering melakukan pertempuran dan penyerangan yang tak kenal henti kepada para dewa tavatimsa seperti termuat dalam dhajagga sutta dan sutta lainnya. Diceritakan dalam berbagai sutta awalnya para asura hidup disurga tavatimsa.
Ada cerita tentang hal ini. Suatu kali beberapa dewa dialam surga tavatimsa mulai bertingkah laku buruk seperti bermabuk-mabukan. Melihat tingkah laku tak terpuji ini sakka memerintah para dewa ini untuk keluar dari wilayah surga tavatimsa. Segelintir dewa berkelakuan buruk ini kemudian bermukim di kaki gunung meru. Beberapa dewa yang turun derajat ini kemudian dikenal dengan sebutan makhluk asura.
Tertulis juga dalam sutta-sutta gambaran tentang makhluk-makhluk lainnya. Seperti para naga, gandhabba juga yakka. Naga adalah sejenis ular raksasa yang mampu bekerja dengan kekuatan batin. Para gandhabba adalah para dewa dari alam catumaharajika yang bertugas menari, bermain musik, membaca puisi dan melakukan aktifitas kesenian yang umum berlangsung didunia para dewa. Ada juga makhluk setengah dewa setengah hewan yang disebut yakka. Yakka berpenampilan layaknya monster.
Sejatinya dalam benak para makhluk baik para dewa, manusia dan makhluk hidup lainnya muncul keinginan untuk berada dan menikmati suatu kehidupan yang penuh kedamaian. Mereka tak berharap jadi musuh, seteru atau pecundang. Pendek kata ada keinginan yang sangat mendalam dari para makhluk ini untuk tak menjadi musuh dari makhluk lain. Tidak juga mereka berharap untuk menjadi makhluk yang suka menyakiti makhluk hidup lain, berlaku kasar, kejam, atau mengerahkan kekuatan jahat atas dorongan materi dan lainnya.
Singkatnya, semua makhluk hidup menghendaki rasa aman, damai, terbebas dari rasa takut dan merasa berbahagia dalam jangka waktu lama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Para makhluk ini selalu berada dalam "bahaya", seperti larut dalam kesedihan berkepanjangan dan didera penderitaan. Apakah hal-hal yang menjadi sebab adanya situasi ini?
Saat ini kami mendengar suara-suara ramai diberbagai belahan dunia, hiruk pikuk masyarakat luas tentang keinginan untuk membentuk suatu dunia yang damai dan adanya kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dunia kita akhirnya akan menjadi satu dunia yang berbahagia jika kita bisa merealisasi impian-impian ini. Tapi faktanya, impian-impian untuk mengangkag harkat martabat hidup manusia itu masih jauh dari impian semua orang. Bila keadaannya selalu demikian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan sulitnya keluar dari rasa frustasi kita?
Menjawab pertanyaan sakka, sang buddha menyebut dua kata, "issa" dan "macchariya" sebagai dua belenggu yang menjadi sebab utama ketidakbahagiaan semua makhluk. Issa adalah perasaan cemburu atau iri hati. Perasaan iri hati inilah yang menjadi sebab munculnya kehendak-kehendak jahat kepada seseorang atau suatu makhluk yang "berseberangan" dengan kita. Sedangkan macchariya adalah pikiran-pikiran picik, pikiran-pikiran buruk yang membuat kita enggan melihat pihak lain "lebih" dibanding kita. Bila dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat materi macchariya berarti sifat kikir. Dua belenggu ini, issa dan macchariya, membuat kita merasa frustasi dan mendatangkan kesedihan, bahaya, pertentangan, permusuhan dan perkelahian.
Siapapun dia yang selalu dipenuhi perasaan iri hidupnya tidak bahagia meski ia selalu berkata ingin hidup damai dan bahagia. Kita umumnya suka iri kepada orang yang usahanya maju, kaya, punya kedudukan tinggi dipemerintahan atau punya banyak pengikut.
Ketidakbahagiaan dari orang yang selalu iri atas keberhasilan orang lain timbul karena hatinya dipenuhi kehendak-kehendak buruk demikian. Rasa irinya melihat kesuksesan pihak lain "membakar" dirinya dari dalam. Banyak orang hidup menderita karena dipenuhi perasaan iri. Tak kurang dan tak lebih yang ingin dikatakan adalah, obyek rasa irinya ( pihak lain yang diirikan ) benar-benar telah menjadi musuhnya. Begitu pula sebaliknya. Tak diragukan lagi rasa iri hati ini akan menjadi subjek bagi mereka yang mampu menarik pemderitaan sepanjang hidup bahkan di sepanjang siklus samsara.
Sementara macchariya mendatangkan konflik batin meski ada keinginan kuat dari dalam diri untuk mengabaikannya. Bagi si kikir muncul keinginan untuk mempertahankan apa pun miliknya erat-erat. Muncul pula keinginan untuk menyakiti siapa pun yang menggunakan atau mendapat barang-barang kepunyaannya. Banyak contoh dalam hal ini; misalnya kasus perceraian diantara pasangan yang telah menikah dikarenakan perebutan harta benda. Atau, adanya sementara pegawai yang merasa tak berbahagia karena kebijakan yang telah ditetapkan bertentangan dengan pihak lain. Macchariya menumbuhkan perasaan bermusuhan, kecemasan, ketakutan bahkan hidup seolah-olah selalu dalam bahaya.
Merangkum apa yang dibabarkan sang buddha diatas, baik issa maupun macchariya termasuk dalam bentuk perasaan. Yang perlu direnungkan lebih jauh adalah apa yang menyebabkan timbulnya perasaan iri hati dan kekikiran ini? Akar dari dua bentuk perasaan iri dan kikir adalah rasa suka dan tidak suka.
Meski demikian sang buddha memberi obat untuk menyingkirkan dua bentuk perasaan negatif diatas. Obat yang dimaksud adalah "melihat" , menyadari semua fenomena yang muncul dari keenam indera sebagaimana adanya. Kemudian pada tahap awal lepaskan, uraikan, bentuk-bentuk pikiran yang buruk itu serta perbanyak munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik.
Pengantar pada sakka panha sutta
Sebelum membahas lebih dalam tentang sakka panha sutta perlu kiranya diceritakan dimana, mengapa, kepada siapa, oleh siapa dan bagaimana pembabaran sutta ini dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keaslian dari sutta ini ( apakah benar telah dibabarkan oleh sang buddha?) serta menghindari keragu-raguan yang mungkin muncul dibelakang hari. Tanpa pengantar seperti ini asal muasal sutta terbuka untuk dipertanyakan dikemudian hari seperti dalam kasus abhidhamma pitaka yang tak memiliki pengantar sama sekali.
Marilah melihat kasus abhidhamma pitaka terlebih dahulu sebagai perbandingan yang patut direnungkan. Abhidhamma pitaka dibabarkan sang buddha di surga tavatimsa. Pada waktu itu sang buddha memutuskan menjalani tiga bulan musim hujan ( masa vasa ) ditempat ini. Sementara di siang hari sang buddha pergi kehutan di kaki gunung himalaya untuk beristirahat. Pada saat dimana sang buddha membabarkan dhamma dialam surga beliau mengirimkan cahaya ( nimita ) berupa bentuk diri beliau dihadapan sariputta thera. Kepada thera murid utama ini sang buddha kemudian memberikan ringkasan abhidhamma pitaka. Setelah itu sariputta thera meneruskan pembabaran dhamma ini kepada 500 bhikkhu. Tak heran bila belakangan hari abhidhamma pitaka dikatakan bukan ajaran langsung buddha melainkan buah pikir sariputta thera.
Tapi dalam kitab komentar ( visudhi magga ) dikatakan bahwa ajaran ( abhidhamma pitaka ) yang beliau ( sariputta thera ) babarkan ini berasal dari sang buddha, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa abhidhamma pitaka adalah benar-benar ajaran sang buddha. Sejujurnya memang abhidhamma pitaka tak punya kalimat pembuka atau kalimat pengantar seperti, "evam me suttam... ( demikian yang pernah kudengar...)".
Sedemikian tegasnya kitab komentar menulis tentang keaslian abhidhamma pitaka sebagai ajaran asli sang buddha sehingga tak perlu muncul keragu-raguan dibenak kita. Meski umumnya sebagian besar ajaran yang termuat didalam kitab kanon ( yang terkumpul pada saat konsili sangha pertama ) memiliki pengantar. "Pengantar" ini berdasar pada suatu percakapan. Umumnya berupa pertanyaan dan jawaban diantara para thera pada suatu kesempatan. Meski demikian terdapat perkecualian pada beberapa sutta yang tidak memiliki pengantar termasuk abhidhamma.
Kembali pada sakka panha sutta, pengantar sutta ini terbilang luar biasa. Pengantar sutta ini "menunjuk langsung" kepada intisari ajaran sang buddha. Pada konsili sangha pertama mahakassapa thera bertanya kepada ananda thera mengapa dan kepada siapa sutta ini dibabarkan. Setelah itu dilanjutkan dengan jawaban-jawaban yang mengikuti pertanyaan tersebut.
Kemudian muncul latar belakang mengapa sakka panha sutta itu ada. Demikian awalnya, suatu kali sang buddha tinggal disebuah gua dibagian timur kota rajagaha dari negeri magadha. Pada waktu itulah sakka berkeinginan mengunjungi sang buddha. Bukan pertama kali sakka mengunjungi guru para dewa dan manusia ini. Sakka pernah mengunjungi beliau pada saat sang buddha mencapai kebuddahannya juga ada kesempatan berikutnya divihara jetavana dikota savatti.
Diceritakan pada waktu itu sakka belum matang secara spiritual sehingga sang buddha tidak memberi pertanyaan kepada raja dewa. Sekarang sakka memutuskan untuk bertemu dengan sang buddha diiringi para pengikutnya. Sakka punya niat khusus mengapa ia ingin mengunjungi sang buddha. Tentu saja alasan utamanya adalah sakka ingin mendengarkan pembabaran dhamma dari sang buddha. Sebab sebagaimana diketahui banyak orang berhasil meraih tingkat kesucian pada saat pembabaran dhamma oleh sang buddha. Meski demikian sakka memiliki alasan yang sangat pribadi pada kunjungannya kali ini.
Akhir-akhir ini muncul didalam dirinya pemikiran bahwa masa hidup sakka sebagai raja para dewa akan berakhir. Tanda-tanda akan berakhirnya kehidupannya dialam dewa mulai muncul. Ia menjadi sangat cemas. Pemikiran ini membangkitkan hasrat yang sangat kuat dalam diri sakka untuk mengunjungi sang buddha. Untuk mencari cara bagaimana menyelamatkan hidupnya.
Ketika seorang dewa akan memasuki alam kematian muncul lima tanda yang menunjukkan hal itu :
1. Bunga dikepalanya mulai layu
2. Pakaian yang biasanya gemerlapan mulai kusut dan terlihat kotor
3. Biasanya seorang dewa tidak pernah berkeringat tapi keringat ini akan muncul di ketiaknya menjelang kematian
4. Timbul kerutan diwajah dewa ini.
Perlu diketahui wajah dewa umumnya adalah berseri-seri dan terlihat selalu tampak muda
5. Muncul rasa capai dan keletihan jasmani pada minggu terakhir menjelang kematian.
Sakka berpikir kematiannya sudah dekat ke-5 tanda-tanda itu muncul pada dirinya. Ia sangat tertekan mengalami hal ini. Untuk menyingkapi depresinya tak ada yang lebih baik baginya kecuali mendengarkan dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha. Setelah pemikiran ini muncul dalam sekejap sakka dan para pengikutnya muncul ditempat sang buddha berada.
Dalam kitab komentar ( visudhi magga ) dijelaskan hanya dibutuhkan satu kali rentangan atau tekukan saja bagi sakka dan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan dari alam dewa tavatimsa ke negeri magadha. Hal ini diperkuat dengan kenyataan mahatika thera tentang fenomena muncul dan lenyapnya segala susuatu pada saat itu juga. Dimana para yogi yang memiliki kemampuan batin "melihat" atau "menyadari" muncul dan lenyapnya obyek batin dan jasmani ( nama dan rupa ) secara cepat menurut metode satipatthana menjadi sadar akan hal itu.
Jadi sakka dan para pengikutnya lenyap dari alam dewa dan muncul di negeri magadha melewati suatu kurun waktu sepandan dengan proses muncul dan lenyapnya fenomena batin - jasmani. Hal ini benar-benar berlangsung satu saat, satu detik lamanya. Keadaan demikian bisa terjadi karena adanya kammajiddha. Kammajiddha adalah suatu kemampuan muncul dan lenyap disuatu waktu tertentu. Hal ini umum dimiliki oleh para dewa. Kecepatan muncul lenyap ini melebihi kecepatan roket atau pesawat ulang alik modern.
Sebelum benar-benar bersua dengan sang buddha terlebih dahulu sakka ingin mendapatkan izin dari beliau.
Karenanya sakka mengutus dewa pancasikka untuk mencari tahu apakah sang buddha berkenan bertemu dengan sakka. Dalam hal ini muncul kata "pasadeyyasi" yang secara literer berarti membuat seseorang senang dan tersanjung. Menurut kitab komentar kata ini betarti: memberi kepuasan pada seseorang sebelum mendapat jawabannya. Kata yang bermakna ekspresi dalam bahasa pali ini sering digunakan oleh orang-orang india kuno untuk berbicara dengan penuh tata krama.
Guna lebih menjelaskan makna kata padadeyyasi ini baiknya kutip perumpamaan percakapan kancil dan gajah. Kancil berkata demikian, "tuanku bisakah kiranya membuat kedua mata paduka terang?".
Dengan kata lain hal diatas bisa berarti, "mungkinkah menolongku untuk mengerjakan beberapa hal?".
Dalam memenuhi permintaan rajanya dewa pancasikka pergi ke tempat sang buddha berdiam dan berdiri dengan sikap hormat pada jarak tertentu di hadapan guru agung ini. Pancasikka memainkan harpanya sambil menyanyikan lagu puji-pujian tentang buddha, dhamma, sangha dan para arahat. Tentu saja penghormatan semacam ini tak diperlukan sama sekali oleh sang buddha. Beliau tak memetik keuntungan apapun dengan jenis puji-pujian semacam ini.
Beberapa lagu yang dinyanyikan dewa pancasikka sangat membangkitkan hawa nafsu. Ini bisa dipahami. Karena saat itu pancasikka tengah jatuh cinta dengan seorang dewi khayangan dimana pihak terakhir ini telah menolak cintanya. Tak heran bila salah satu syair lagunya berisi kecantikan dan keindahan sang dewi serta rasa frustasi yang dialaminya karena patah hati. Rasa frustasi yang tersirat dari lagu-lagu pancasikka menunjukkan para dewa tak selalu seindah kelihatannya.
Meski demikian sebagian besar lagu-lagu pujian pancasikka berisi hal-hal terpuji tentang seorang buddha, dhamma, sangha dan para arahat. Dimana para ariya ini memiliki konsentrasi yang terpusat pada jhana-jhana dan selalu sadar.
Jhana berarti kemampuan mengawasi sebuah obyek yang tengah dilihat seseorang. Jhana juga bisa berarti konsentrasi. Ia juga bisa diartikan sebagai sifat alamiah dari batin dan jasmani dengan berbagai karakteristiknya ( menjadi subyek dari ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa inti ). Diceritakan semasa sang buddha masih menjadi bodhisatva beliau sering melakukan meditasi pernapasan sampai jhana-jhana ini terpusat pada satu jenis obyek saja yang umumnya berlangsung lama. Melalui kekuatan jhana di awal malam parinibbana bodhisatva menjadi awas dan "tahu'' bentuk-bentuk kehidupannya dimasa lalu. Kekuatan ini dinamakan pubbenivasanana.
Diceritakan pula dalam tipitaka saat tengah malam menjelang kebuddhaan itu sang bodhisatva memperoleh kekuatan dibbacakku. Kekuatan ini adalah kekuatan supranatural berisi kemampuan melihat muncul dan lenyapnya segala jenis makhluk dalam lingkaran kehidupan. Pada sisa malam boddhisatva melakukan perenungan yang berisi kebijaksanaan berupa ketergantungan segala sesuatu. Waktu ini beliau memperoleh pengetahuan batin tentang muncul dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani saat beliau tengah melihat, mendengar, dll.
Kesadaran yang bersifat penuh dan tetap serta kemampuan melihat kondisi alamiah setiap makhluk ini adalah tanda dari kematangan batin. Tapi, tanda-tanda ini tak dikenali oleh dewa pancasikka. Yang diketahui dewa ini sang budha adalah makhluk yang telah terbebas dari kematian ( amata ). Kata amata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tanpa kematian atau sesuatu yang merujuk pada nibbana.
Suatu kali di burma ada seorang bhikkhu muda. Ia murid sayadaw terkenal. Ia memutuskan meninggalkan sangha untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Murid sayadaw lainnya mencela pasangan itu. Tapi sang guru, sayadaw tersebut hanya bereaksi demikian, "tak seharusnya kalian menyalahkan mereka".
Mereka terperangkap dalam kondisi ini karena belenggu kerinduan. Jadi yang harus kalian salahkan adalah kerinduannya, " lanjut sayadaw tersebut. Betapa realistisnya ajaran ini.
Kembali ke kunjungan sakka. Ketika pancasikka tengah menyanyikan lagu-lagunya sang buddha memancarkan pikiran penuh cinta kasih mengharapkan kebahagiaan sakka secara batin dan jasmani. Hal semacam ini adalah wajar karena bagaimanapun setiap makhluk merindukan kebahagiaan. Inilah cara sang buddha memberkati orang-orang yang memberi hormat kepada beliau.
Tak ada kata-kata berisi doa dari raja dewa sakka yang disampaikan melalui pancasikka. Tapi melalui kata-kata bahasa pali abhivadeti abhivadati vandati, kita mengerti sakka mengekspresikan diri untuk bisa memperoleh kebahagiaan. Dengan kata lain ia, sakka, berharap sang buddha akan berkata, "semoga engkau berbahagia".
Sang buddha memberikan para umat dengan cara itu. Cara ini mendatangkan ide bagi para bhikkhu untuk bersikap demikian pula kepada umat yang datang memberikan persembahan dan penghormatan dizaman modern ini.
Dalam kunjungan kali ini sakka bercerita tentang keadaan dialam dewa yang mengalami banyak perkembangan baru. Sakka menuturkan bagaimana saat kemunculan sang buddha populasi para dewa meningkat tajam. Sakka telah membuktikan hal itu.
Perlu diketahui sakka hadir saat pertama kali sang buddha membabarkan dhammacakkapavatana sutta. Sakka melihat setelah itu banyak umat berlindung kepada buddha, rajin berdana, juga mempraktekan sila. Akibat perbuatan baik ini setelah meninggal dunia mereka terlahir dialam dewa.
Kemudian sakka bercerita tentang seorang dewa bernama gopaka. Dalam hidup sebelumnya gopaka adalah putri raja di kota savatti. Gopaka adalah umat awam yang berbakti kepada sang buddha. Ia rajin menjalankan lima sila serta tekun menjalankan kehidupannya sebagai layaknya umat perempuan. Pada saat itu ia bertekad terlahir kembali sebagai laki-laki. Setelah meninggal ia terlahir sebagai putra sakka dan dipanggil dengan nama gopaka.
Suatu kali gopaka melihat tiga gandhabba datang untuk menghibur sakka. Pada saat gopaka melihat ke-3 gandhabba itu ia tahu betul siapakah sebenarnya makhluk-makhluk itu sebelumnya. Ketiga gandhabba itu adalah penghuni baru dialam dewa seperti halnya dirinya. Sebelumnya ketiganya adalah para bhikkhu yang sering diberi dana makanan oleh umat perempuan gopika dialam dunia dulu. Melihat kenyataan itu gopaka bertanya dalam hati apakah sebabnya ketiga bhikkhu yang dulu ia sokong hidupnya terlahir kembali sebagai dewa tingkat rendah?
Kenyataan ini bertolakbelakang dengan tekad suci yang diikrarkan oleh ketiga bhikkhu itu dulu. Sementara lihatlah dirinya yang umat awam biasa bisa terlahir lagi sebagai putra sakka. Tentu saja tidak secara kebetulan gopika bisa terlahir sebagai gopaka si puta sakka. Hal ini bisa terjadi akibat keyakinan dan moralitasnya.
Setelah berhadap-hadapan baik gopaka dan ke-3 gandabbha menyadari siapa diri mereka dulu. Ketiga gandabba itu sadar betul keterikatannya kepada kehidupan para gandabba lah yang menyebabkan mereka lahir kembali di lingkungan dewa tingkat rendah ini.
Setelah itu dua diantara ke-3 gandabba mulai mempraktekkan meditasi ditempat itu juga. Akibat karma lampaunya sebagai bhikkhu yang luar biasa ke-2 gandabba bisa melepaskan keterikatan kepada kehidupan dewa tingkat rendah itu. Tak lama mereka mampu meraih tingkat kesucian anagami pada saat itu juga. Disebutkan waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai anagami itu hanya satu detik.
Dewa satunya lagi, bagaimanapun juga, tak mampu menyingkirkan keterikatannya. Sehingga dewa terakhir terbelenggu dialam dewa tingkat rendah ini. Perlu kami ingatkan bagaimana orang-orang umumnya ingin terlahir kembali ditempat yang pernah diakrabinya.
Demikian juga yang terjadi dengan raja bimbisara. Ia adalah pengikut setia buddha. Setelah meninggal dunia raja bimbisara terlahir kembali sebagai anak buah dari seorang dewa dialam catumaharajika. Ia tak mampu meraih kedudukan dialam dewa yang lebih tinggi karena keterikatan pada hidup sebelumnya. Kehidupan-kehidupan mendatang muncul sedemikian rupa sebagai akibat dari keinginan atas keterikatan pada kehidupan sebelumnya.
Kembali kecerita kedua gandabba sebelumnya itu. Ke-2 dewa tingkat reandah itu setelah melakukan meditasi mampu meraih jhana-jhana dan mencapai tingkat anagami. Akibat baik ini disebabkan oleh praktek hidup mereka sebelumnya sebagai bhikkhu.
Kehidupan alam dewa dipenuhi kenikmatan inderawi. Bagi siapapun yang telah meraih tingkat kesucian anagami tak bisa tinggal disini. Jadi dalam sekejap gandabba ini meninggal dan menuju ke alam brahma. Bagi sakka transformasi kedua dewa ke alam brahma yang ia saksikan sendiri sungguh membuatnya takjub. Ketika ia mendengar penjelasan anaknya, sakka berharap bisa berbagi pengalaman spiritual dengannya.
Selebihnya tanda-tanda kematian yang dialami membangkitkan hasrat sakka untuk mendengarkan dhamma. Sakka merenung demikian, bila ia berkesempatan mendengarkan dhamma mungkin ia akan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Merenungkan kembali kisah kedua dewa itu seharusnya kita tidak berkecil hati apabila mengalami hambatan pada saat latihan meditasi. Karena tekad yang sungguh-sungguh dalam mempraktekkan dhamma akan membuat kita terlahir dialam dewa. Salah satu sutta didalam anggutara nikaya tertulis tubuh dewa begitu murni serta tembus pandang. Bagi dewa-dewa yang pernah melakukan praktek dhamma dalam kehidupan sebelumnya dhamma menjadi lebih jelas disini.
Memang membutuhkan waktu untuk mengingat kembali. Tapi proses pengingatan kembali itu terjadi secara cepat mengikuti kemampuan batin dewa bersangkutan. Meski tak bisa dipungkiri beberapa dewa barangkali telah melupakan dhamma karena pesona kehidupan alam dewa yang serba gemerlap dan penuh kemewahan.
Sebagai dewa mereka tidak memiliki duka jasmani sebagaimana layaknya manusia. Ketiadaan duka dijasmani ini menyebabkan batin mereka lebih awas dibanding kita manusia. Sekali para dewa menaruh perhatian pada dhamma melalui perenungan atau mendengar pembabaran dhamma, mereka bisa langsung mengerti dan memperoleh pandangan terang dalam waktu singkat.
Pertanyaan sakka
"Yang mulia, semua makhluk hidup berharap terbebas dari kehendak-kehendak jahat seperti kemarahan atau kebencian. Mereka tak menginginkan munculnya pertengkaran. Mereka juga tak ingin melakukan hal-hal buruk lainnya. Yang mereka harapkan adalah rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataannya, mereka tak bisa terbebas dari mara bahaya dan penderitaan. Apa yang menyebabkan hal ini?", tanya sakka pada sang buddha.
Sang buddha menjawab demikian, "o raja para dewa, semua makhluk hidup mengharapkan rasa aman, damai, bahagia dan kebebasan. Kenyataan mereka tak bisa terbebas dari konflik, mara bahaya, kebencian dan penderitaan. Kondisi-kondisi yang tak membahagiakan makhluk hidup ini disebabkan adanya dua belenggu yakni rasa iri hati, issa, dan kekikiran, macchariya".
Issa atau iri hati
Yang perlu dijelaskan disini memgenai karakteristik iri hati adalah munculnya keenganan melihat kekayaan atau kemajuan orang lain. Iri hati betsifat merusak kedalam diri karena memunculkan perasaan dengki dan nafsu-nafsu jahat. Bila belenggu issa tidak diputuskan ia akan terbawa sampai ke kehidupan mendatang.
Macchariya atau kekikiran
Macchariya adalah perasaan pelit atau kikir. Perasaan pelit dan kikir berhubungan dengan ketidakinginan pihak lain memiliki atau berhubungan dengan obyek dimana ia terikat.
Ada enam jenis keterikatan atas harta benda yakni :
1. Pada tempat tinggal
2. Teman dan sahabat dekat
3. Barang berwujud seperti petabot, dll
4. Makanan dan minuman
5. Pelajaran, serta
6. Puji-pujian
Secara umum pelit atau kikir terbagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama adalah vanna macchariya. Vanna macchariya adalah hasrat pribadi untuk memiliki kualitas khusus seperti kecantikan fisik yang sangat spesial. Orang semacam ini akan iri kepada orang lain yang memiliki kecantikan sejenis. Bila perasaan buruk ini diteruskan akan mengakibatkan terlahir kembali dengan wajah buruk rupa sebagai akibat berbuahnya karma buruk jenis ini.
Perasaan pelit kedua disebut dhamma macchariya. Dhamma macchariya adalah perasaan pelit untuk berbagi pengetahuan. Misalnya ada seseorang yang ingin belajar sesuatu darinya, ia hanya akan berbagi sangat sedikit pengetahuan. Bila memupuk macchariya jenis ini akan mengakibatkan terlahir kembali sebagai orang pandir atau bodoh.
Perasaan pelit atau kikir ketiga disebut avasa macchariya. Avasa macchariya umum terjadi dilingkungan para bhikkhu. Hal ini berhubungan dengan apa-apa yang dimiliki sangha ( komunitas para bhikkhu ). Ia, bhikkhu itu, merasa vihara yang ditinggalinya selama ini sebagai viharanya pribadi.
Perasaan pelit jenis keempat disebut kula macchariya. Kula macchariya juga umum terjadi dilingkungan para bhikkhu. Sebagai contoh ada sementara bhikkhu yang tak ingin umatnya dekat dengan bhikkhu lain. Contoh lain, beberapa bhikkhu melarang umatnya mengunjungi bhikkhu lain atau melarang umatnya mendengarkan ceramah-ceramah. Sementara dilingkungan umat awam macchariya ini pun ada. Misalnya, pemimpin organisasi politik yang menginginkan loyalitas atau kesetiaan pengikutnya.
Perasaan pelit kelima disebut lobha macchariya. Lobha macchariya pun banyak terjadi di lingkungan para bhikkhu. Misalnya, keinginan untuk memonopoli dana-dana umat. Bhikkhu ini hanya ingin umatnya berdana untuk dirinya, untuk viharanya dan tidak untuk pihak lain. Ada cerita tentang losakatissa thera yang menggambarkan bagaimana macchariya jenis ke-5 ini bekerja dan membuahkan karma buruk yang luar biasa.
Cerita tentang losakatissa thera
Pada masa hidup buddha kassapa ada seorang bhikkhu yang tinggal disuatu desa. Untuk memenuhi kebutuhannya bhikkhu ini bergantung pada pemberian umat awam didesa itu. Suatu kali seorang bhikkhu berkunjung kedesa ini. Bhikkhu tamu ini tinggal dan bermalam bersama bhikkhu terdahulu divihara desa ini.
Sejak awal kedatangan bhikkhu tamu kecemasan mulai melanda pikiran si bhikkhu desa. Ia takut bila umatnya lebih menyanyangi dan mencintai bhikkhu tamu. Sejak itu pula ia mencari cara bagaimana mengusir si bhikkhu tamu.
Suatu kali ada seorang umat mengundang kedua bhikkhu untuk menerima dana makan dirumahnya. Undangan itu tidak disampaikan bhikkhu desa kepada bhikkhu tamu. Jadilah bhikkhu desa memenuhi undangan makan sendirian.
Mengetahui si bhikkhu tamu tidak turut hadir dirumahnya, umat awam yang berbakti ini menitipkan dana makanan kepada bhikkhu desa untuk disampaikan kepada beliau. Tapi, alih-alih menyampaikan dana makanan tersebut bhikkhu desa justru membuangnya dalam perjalanan pulang.
Waktu berlalu. Setelah cukup lama bhikkhu desa meninggal dunia. Akibat perbuatan buruknya bhikkhu desa terlahir dialam neraka. Di tempat ini ia menderita dalam bilangan kalpa lamanya. Setelah itu ia terlahir kembali dialam binatang. Sebagai hewan, mantan bhikkhu desa sering menderita kelaparan dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Dalam tumimbal lahirnya yang terakhir ia lahir kembali di sebuah desa nelayan dinegeri kosala, india. Karena perbuatan buruknya dimasa lalu kelahirannya dianggap mendatangkan kesialan bagi orang tua dan penduduk nelayan. Dimana sejak bayi ini lahir pendapatan mereka turun dratis.
Tentu saja kepala kampung nelayan ingin mengetahui siapa gerangan yang membuat desa ini tertimpa sial. Setelah menyelidiki secara seksama ia mendapatkan fakta si bayi yang baru dilahirkan oleh seorang perempuan pengemislah yang mendatangkan kesialan. Akhirnya bayi dan ibunya dikucilkan oleh penduduk desa.
Bahkan, saking putus asanya ibunya sendiri meninggalkannya dirumah bila ia pergi untuk mengemis. Ibunya melakukan hal ini karena pengalaman buruk sebelumnya yang dialaminya bersama si bayi. Bila ibu pengemis ini pergi meminta minta dan membawa serta bayinya ia tidak memperoleh apapun. Tapi, bila ia pergi sendiri ia masih memperoleh sedikit yang cukup untuk makan satu hari itu.
Suatu kali sariputta thera melihat anak yang tengah kelaparan ini tak jauh dari vihara. Karena belas kasihannya sang thera membawa anak ini kevihara. Setelah cukup umur ia ditahbiskan sebagai bhikkhu. Sebagai bhikkhu ia selalu tidak beruntung. Sering kali ia tidak memperoleh, bahkan sejumput makanan, dalam suatu pesta besar sekali pun. Bila pun suatu kali memperoleh makanan, dari suatu pindapatta misalnya, ia hanya memperoleh sangat sedikit. Bahkan diceritakan makanan-makanan yang diperolehnya hanya cukup untuk menyambung hidupnya satu hari itu. Karena ketidak beruntungannya bhikkhu ini diberi nama lokasakatissa.
Akibat karma buruknya membuang makanan dulu terus dialami bhikkhu tissa meski ia telah berhasil meraih kearahatan. Singkat kata, menjelang parinibbana, yang mulia sariputta thera mengajak bikkhu tissa ke kota savatti untuk berpindapatta. Hari itu adalah hari terakhir didunia. Hari itu ia akan menuntaskan tumimbal lahirnya. Ia tidak akan terlahir lagi sebagai makhluk apapun.
Saat yang mulia sariputta thera dan bhikkhu tissa berpindapatta tak ada satu orang pun yang berdana makanan kepada beliau berdua. Akhirnya sariputta thera meminta bhikkhu tissa menunggu di suatu tempat. Bhikkhu tissa kemudian duduk disuatu peristirahatan sederhana yang disediakan oleh penduduk savatti untuk kebutuhan para bhikkhu. Kemudian sariputta thera berpindapata sendirian memasuki kota savatti.
Setelah sariputta thera berpindapatta sendiri barulah ada beberapa umat yang berdana makanan untuk beliau. Kemudian beliau meminta tolong seorang umat awam untuk menyampaikan dana makanan yang diperolehnya kepada bhikkhu tissa. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanannya sesaat lagi. Namun apa mau dikata, dalam perjalanan menuju tempat bhikkhu tissa beristirahat dana makanan yang seharusnya diberikan kepada beliau dimakan sendiri oleh umat awam itu sampai habis.
Sekembalinya dari berpindapatta yang mulia sariputta thera baru mengetahui apa yang terjadi. Akhirnya beliau memberi makanan terakhir yang diperolehnya itu kepada bhikkhu tissa dengan memegangi mangkuk, patta, sambil menungguinya makan. Dengan cara ini losakatissa memakan makanan terakhirnya, yang ternyata sedikit itu. Pada sore itu juga bhikkhu losakatissa mencapai nibbana. Cerita ini memberi gambaran kepada kita betapa menakutkan akibat karma buruk dari macchariya.
Seseorang yang diliputi perasaan kikir ingin menjauhkan siapa pun dari hal-hal dimana ia terikat. Muncul perasaan, hanya ia sajalah yang berhak menggunakan benda-benda itu. Hanya ia sajalah yang berhak berteman dengan si A atau si B. Lihatlah akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar, kaum pria dan wanita mengancam pasangannya karena dilihatnya pihak terakhir ini memiliki hubungan dengan lawan jenis lain. Bahkan, ada pasangan yang begitu marahnya melihat istri atau suaminya melakukan percakapan bersahabat dengan orang lain yang berbeda jenis kelaminnya.
Singkat kata, macchariya memunculkan perasaan posesif, hasrat untuk menggengam erat segala sesuatu. Ia berusaha menutup segala peluang siapapun berhubungan dengan hal-hal berharga miliknya.
Apa yang dikatakan sang buddha tentang sebab-sebab ketidakbahagiaan para makhluk, yang bersumber pada iru hati dan kikir ini, sangat relevan bagi sakka. Dari pengalaman sebagai dewa ia mengakui kebenaran jawaban-jawaban sang buddha atas pertanyaannya.
Perlu diketahui, meski sakka adalah raja para dewa waktu itu, ia pun dibelenggu oleh perasaan-perasaan negatif. Mendekati hari-hari terakhirnya ia pun diliputi perasaan tidak bahagia memikirkan kemungkinan istrinya akan jatuh ke tangan pihak lain ( penggantinya ). Atau muncul pikiran akankah penggantinya kelak lebih baik dari dirinya ?
Cinta dan benci
Setelah puas dengan jawaban sang buddha diatas, sakka mengajukan pertanyaan lain, "yang mulia, apa yang menjadi sebab munculnya issa, iri hati, dan macchariya, kekikiran?"
Sakka melanjutkan pertanyaanya, "adakah jalan untuk menyingkirkan issa dan macchariya?"
Sang buddha menjawab demikian, "o raja para dewa, issa dan macchariya muncul disebabkan oleh perasaan cinta dan benci. Jika tidak ada landasan cinta dan benci tidak akan muncul perasaan iri hati dan kikir."
Dalam ajaran sang buddha, cara untuk menyingkirkan penderitaan adalah menghilangkan penyebabnya. Cara ini seperti dilakukan oleh seorang dokter. Sebelum melakukan pengobatan umumnya seseorang dokter mencari tahu dulu sebab-sebab penyakit pasiennya. Setelah sebab-sebabnya diketahui barulah dokter bersangkutan memberi resep yang tepat untuk penyakit itu. Seperti ini pula lah jawaban sang buddha. Bahwa cinta dan bencilah yang menjadi sebab penderitaan makhluk hidup.
Objek kecintaan tak terbatas. Ia bisa berupa benda hidup atau benda mati yang bisa membawa kesenangan bagi kita seperti perempuan, laki-laki, bentuk-bentuk, suara dan lain-lain. Sementara objek kebencian adalah apa-apa saja yang mendatangkan ketidaksenangan bagi kita.
Nafsu keinginan sebagai sebab cinta dan benci
Sang buddha melanjutkan lagi penjelasannya, bahwa sebab-sebab cinta dan benci adalah nafsu keinginan. Yang dimaksud sang buddha tentang nafsu keinginan disini adalah suatu hasrat untuk meraih kenikmatan dari apa-apa yang dirindukannya.
Nafsu keinginan terbagi lima :
Hasrat yang tak terpuaskan untuk memenuhi objek-objek inderawi. Nafsu keinginan jenis ini mendorong seseorang untuk terus menerus mengejar keinginan bahkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya.
Kehausan yang sangat untuk mendapatkan dan menambah objek-objek inderawi. Ketika hasrat seseorang sudah terpenuhi kemudian muncul keinginan yang baru. Dalam hal ini tidak ada nafsu keinginan yang pernah berakhir. Bahkan para jutawan ingin lebih kaya dan memiliki makin banyak uang lagi. Tidak peduli berapa banyak harta benda yang telah dimiliki ia menginginkan lebih.
Kehausan untuk menikmati berbagai objek inderawi baik berupa barang-barang material maupun non material. Orang-orang suka menikmati berbagai jenis pertunjukkan, musik, opera, dan lain-lain. Mereka tidak pernah puas untuk terus menikmatinya meski telah pernah melakukannya banyak kali.
Kehausan untuk terus menyimpan emas, perak, berlian atau menimbun uang dalam berbagai bentuk. Penimbunan ini dimaksudkan untuk digunakan dalam keperluan mendadak dimasa depan.
Nafsu keinginan dari sementara orang untuk memberi uang dan benda-benda berharga lainnya kepada para pengikutnya, pengawainya, dan lain-lain.
Nafsu keinginan menumbuhkan cinta dan benci. Berbagai makhluk hidup atau benda-benda yang mampu memenuhi keinginannya menimbulkan perasaan cinta. Sementara objek benda maupun orang yang menghalangi keinginannya menumbuhkan perasaan benci.
Kemudian sakka bertanya kepada sang buddha tentang asal nafsu keinginan. Sang buddha menjawab adanya nafsu keinginan disebabkan oleh vitakka. Dalam vissudhi magga tertulis vitakka artinya berpikir dan memutuskan.
Ada dua karakteristik vitakka. Jenis pertama berdasar pada nafsu keinginan. Sementara jenis yang lain berasal dari kepercayaan. Dengan kata lain kamu berpikir dan memutuskan ketika kamu menghiraukan, mengacuhkan, sebuah objek inderawi sebagai sesuatu yang menyenangkan, menggairahkan serta mempesona. Atau ketika kamu menaruh perhatian pada objek hidup seperti seseorang atau makhluk muncul kecenderungan untuk memikirkan, memutuskan atau memberi pendapat.
Ketika lengah, sedang tidak awas, saat melihat, mendengar, membau, menyentuh dan lain-lain akan muncul pikiran yang dilanjutkan dengan keputusan. Aktifitas mental ini menimbulkan kerinduan dan keterikatan.
Kemudian sakka bertanya kepada sang buddha tentang sebab munculnya vitakka. Sang buddha menjawab bahwa vitakka bersandar pada suatu persepsi atau prasangka. Persepsi berarti memperluas atau memperpanjang sesuatu atau melebih-lebihkan sesuatu.
Ada tiga jenis prasangka; tanha ( bersifat kerinduan ), bersifat sombong ( mana ) dan ditthi ( kepercayaan ). Seseorang yang tidak awas umumnya jatuh kepada belenggu tanha, mana dan ditthi. Dalam banyak sutta ketiganya dikenal sebagai anak-anak mara. Ketiga belenggu itu mampu mencengkram seseorang untuk mempertebal "aku" -nya. Ini diibaratkan seperti sebuah foto mungil yang bisa dicetak menjadi foto berukuran besar, lebih tebal dan lain-lain. Dengan keterlibatan ketiga anak mara itu suatu kesan bisa "dipertebal" , "diperluas" atau "diperdalam".
Menaklukkan tanha, mana dan ditthi
Saat melihat seseorang tak hanya menangkap sesuatu yang bersifat kasat mata saja. Setelah merekam wujud benda secara fisik masih ada proses selanjutnya yakni munculnya persepsi, prasangka, yang akan membawa pada permainan tanha ( kerinduan ), mana ( kesombongan ) dan ditthi ( kepercayaan ).
Tanha membuat objek itu seolah-olah tampak menyenangkan, berharga, sehingga perlu dimiliki atau sebaliknya. Setelah itu mana dan ditthi mengambil perannya masing-masing. Kedua anak mara terakhir ini akan menumbuhkan kesombongan kemudian mempertebal konsep tentang adanya "aku", misalnya benda itu punyaku, milikku.
Saat kita mengulang perbuatan tersebut, melihat atau mendengar umpamanya, ini akan menjadi awal dari proses munculnya pikiran. Setelah itu pikiran akan berproses lagi yakni memutuskan apakah kita suka atau tidak suka pada objek yang tengah kita lihat. Kemudian proses selanjutnya mengambil peranan. Dimana pada gilirannya nafsu keinginan pun muncul.
Adanya nafsu keinginan memunculkan proses cinta dan benci. Cinta dan benci pada gilirannya mendatangkan perasaan iri hati dan kikir. Perasaan iri dan kikir yang menumpuk membuat seseorang menjadi frustasi dan sangat menderita.
Setelah membabarkan sebab awal dari penderitaan segala makhluk, sang buddha memberikan petunjuk bagaimana caranya keluar dari jeratan tanha, mana dan ditthi. Sebelumnya sang buddha menjelaskan bahwa perasaan terbagi dua; yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Sang buddha menjelaskan lagi hal-hal yang harus kita lakukan sehubungan dengan perasaan. Bahwa ada perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan yang harus kita perhatikan. Serta perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan yang harus diabaikan ( singkirkan ).
Selain kedua bentuk perasaan itu ada lagi perasaan netral, upekkha. Perasaan netral sering hadir dalam hidup seseorang. Perasaan ini muncul saat kita merasa senang maupun susah. Perasaan upekkha sendiri terbagi dua; upekkha yang harus kita perhatikan atau pelihara dan upekkha yang harus kita singkirkan.
Berbagai bentuk perasaan diatas ( perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan maupun netral ) yang harus kita pelihara adalah bentuk-bentuk perasaan yang bersumber dari pikiran baik akibat buah kesadaran. Sementara perasaan-perasaan yang muncul tetapi bersumber dari pikiran-pikiran buruk saat kita lengah harus disingkirkan. Kitab komentar menggambarkan ajaran diatas sebagai vipassana atau meditasi pandangan terang.
Dalam tipitaka pali ajaran sang buddha diatas bisa digambarkan sebagai berikut:
"Jika engkau tahu bahwa suatu perasaan menyenangkan menolong membantu tumbuhnya kesadaran serta menuju ke arah perkembangan batin yang lebih baik, dimana perasaan ini juga mampu menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik, engkau seharusnya memelihara perasaan ini. Jika engkau tahu perasaan menyenangkan yang muncul menghambat munculnya proses kematangan batin dan menghambat munculnya bentuk-bentuk pikiran yang baik, sebaiknya perasaan-perasaan ini kamu singkirkan."
Perasaan menyenangkan terdiri dari dua jenis: yang pertama muncul akibat suatu perenungan ( refleksi yang muncul setelah melakukan praktek meditasi ). Kedua, perasaan menyenangkan yang tidak ada hubungan dengan sebab-sebab perenungan ( dipengaruhi oleh vitakka dan vicara ). Dari kedua perasaan menyenangkan ini, perasaan menyenangkan yang tidak dipengaruhi oleh vitakka dan vicara adalah yang terbaik.
( *oleh nyanatiloka thera dalam buddhist dictionary, vitakka dan vicara diterjemahkan sebagai : konsep berpikir dan loncatan-loncatan pikiran. )
Menurut kitab komentar, ketika bertanya kepada sang buddha bagaimana menyingkirkan tanha, mana dan ditthi sebenarnya sakka sedang bertanya tentang praktek vipasana. Dewa memiliki wujud fisik yang berbeda dengan manusia. Dewa hampir-hampir tidak memiliki kendala fisik seperti lelah, lapar dan lain-lain. Sehingga sang buddha memberi jawaban agar sakka memperhatikan perasaannya.
Sakka lahir kembali
Sang buddha berkata demikian pada sakka, "o raja para dewa, para bhikkhu yang menjauhi dhamma tak bermanfaat serta mencari dhamma bermanfaat berada ditengah jalan kehidupan suci yang akan membawanya ke nibbana, tempat lenyapnya segala kekotoran batin.
Saat mendengar pembabaran dhamma sakka mengawasi perasaanya. Karena ia memetik kegembiraan bermanfaat dan mampu meraih keseimbangan batin. Setelah meraih kebahagiaan ia berhasil meraih tingkat kesucian pertama, sotapanna. Ini diawali dengan lenyapnya sakka dan lahir kembali sebagai sakka yang baru. Sakka hanya mampu meraih kesucian tingkat pertama karena potensi spiritualnya yang terbatas.
Kelahiran sakka memperlihatkan bahwa dewa yang tengah sekarat pun bisa memetik manfaat ketika mendengarkan dhamma. Melalui kesadaran penuh serta kegembiraan bermanfaat para yogi bisa meraih kemajuan dijalan dhamma. Ini bisa terjadi bila sebagian besar kegembiraan yang mendominasi adalah jenis kegembiraan yang bermanfaat.
Patimokkhasamvara sila
Pertanyaan sakka berikutnya tentang pentingnya moralitas bagi kehidupan suci. Pertanyaannya demikian, " yang mulia, praktek sila ( moral ) macam apakah yang bisa melindungi seseorang dari jatuh ke alam-alam rendah?"
"Perbuatan tidak bermanfaat macam apa yang harus dihindari. Dimana ini bisa melindungi seseorang terjatuh ke alam-alam rendah?"
"Kata-kata atau pikiran macam apa yang harus dihindari sehingga melindungi seseorang dari kejatuhan je alam-alam rendah?"
"Sang buddha menjelaskan perbuatan terbagi menjadi dua jenis. Pertama, perbuatan bermanfaat. Kedua perbuatan tidak bermanfaat. Demikian pula mata pencaharian dan pikiran terbagi dua yakni yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.
Mata pencaharian, perkataan atau tindakan yang menumbuhkan karma baik adalah bermanfaat. Sementara, segala perkataan atau perbuatan yang membawa akibat karma buruk adalah tidak bermanfaat.
Indriyasamvara sila :
Kontrol terhadap panca indera
Sakka bertanya bagaimana para bhikkhu menjaga panca inderanya? Ini berhubungan dengan penjagaan atas ke enam indera. Dimana keberadaan indra menjadi salah satu sebab terjadinya proses melihat, mendengar, membau, merasa, kontak dan proses kesadaran.
Sang buddha membagi obyek indra menjadi dua. Pertama obyek indra yang harus diterima. Kedua obyek indra harus disingkirkan. Seseorang harus menerima obyek indra yang bisa menumbuhkan karma baik serta menghindari obyek yang mendatangkan karma buruk.
Kita harus menghindari obyek-obyek yang mendatangkan kenikmatan indra, kemarahan dan lain-lain. Jika tidak bisa menghindar kita harus berhenti memikirkan dan sesegera mungkin melakukan perenungan. Atau membuat catatan dalam batin dari proses melihat. Serta secepatnya menghentikan pikiran yang mondar-mandir dan kembali sadar. Inilah cara-cara menghindari obyek indra yang tidak berfaedah.
Sama seperti itu kita harus tidak memberi perhatian atas dhamma tidak bermanfaat. Disisi lain misalnya, kita harus mendengarkan pembabaran dhamma. Karena ini menumbuhsuburkan tumbuhnya karma-karma baik.
Bagaimana menyikapi obyek yang menghampiri kita? Apapun bentuk suara itu, jika berkonsentrasi saat suara datang, mencatatnya, kita bisa melihat bentuk ketidakkekalan, penderitaan dan ketanpaintian. Hal ini akan menambah pengetahuan kita.
Rasa pun bisa kita lihat dengan cara sama. Sejujurnya kita tidak bisa hidup tanpa makanan dan minuman. Tapi, kita bisa menghindari tumbuhnya karma buruk melalui makan dengan penuh kesadaran terutama saat menyantap makanan yang lezat.
Kembali kesoal kekotoran batin, kita menuai kekotoran batin jika kita tidak peduli atau merindukan kelezatan makanan tersebut. Intinya kontrol kita terhadap panca indera. Dimana cara ini tidak mungkin dilakukan seseorang yang belum membangun kesadaran dengan baik.
Karma baik tumbuh melalui kesadaran melihat kesan yang timbul seperti termuat dalam satipatthana sutta.
Dalam sutta itu tertilulis pikiran harus menghindar membedakan sosok laki-laki, perempuan, kawan, lawan, dan lain-lain. Karena perbedaan itu memicu munculnya nafsu-nafsu, kehendak jahat dan lain-lain. Secepat pikiran tumbuh, ia harus disingkirkan melalui praktek sila, meditasi dengan obyek perenungan terhadap keluhuran buddha serta melihat kemunculan dan lenyapnya.
Sang buddha berkata, "bagi seseorang yang tidak menjaga penglihatannya ia akan selamanya memiliki kehendak-kehendak buruk serta mencari sesuatu yang dirindukannya."
Jenis-jenis perbedaan cara pandang
Sakka sangat puas dengan pembabaran sang buddha. Sebelum mengunjungi sang buddha, ia telah bertemu dengan banyak "orang bijak". Waktu itu sakka pun mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang dhamma. Sakka mengetahui orang-orang bijak yang ditemuinya itu memiliki cara pandang yang berbeda beda.
Saat ini ketika ia telah mencapai tingkat kesucian sotapanna ia tahu dhamma sesungguhnya yang membabarkan kesunyataan. Ia juga tahu sosok buddha dan sangha sejati. Saat ini ia telah terbebas dari segala keragu-raguannya. Kenyataan ini tidak diucapkannya kepada sang buddha. Tapi, pengertian yang dimilikinya terkandung dalam pertanyaan-pertanyaannya.
"Yang mulia, apakah semua orang yang menyebut dirinya samana- brahmana memiliki pandangan yang sama? Apakah mereka memiliki kualitas moral yang sama? Apakah mereka punya keinginan dan tujuan hidup yang sama?"
Sakka tahu jawaban dari pertanyaannya. Ia menanyakan hal ini sebagai pembuka atas pertanyaannya tentang perbedaan-perbedaan mereka.
Sang buddha menjawab pertanyaan sakka sebagai berikut, "o sakka, di dunia ini orang-orang tidak memiliki tingkah laku yang sama. Mereka menggungkapkan cara pandang yang salah. Tapi mereka tetap berpegang erat pada pandangan salah yang menyenangkan hatinya".
"Mereka berkeras kepercayaannya saja yang benar senentara yang lainnya salah. Hal ini terjadi karena kefanatikannya atas ajaran salah yang berpegang pada konsep diri. Orang-orang yang menggangap dirinya suci ini memiliki cara pandang berbeda-beda. Mereka juga memiliki sistem moral, keinginan dan tujuan hidup yang berbeda-beda pula", demikian sang buddha menhelaskan.
Tujuan tertinggi
Sakka sangat senang dengan jawaban-jawaban sang buddha. Kemudia sakka mengajukan pertanyaan lain, "yang mulia, apakah orang-orang yang sering disebut samana- brahmana benar-benar telah meraih tujuan tertinggi?"
"Apakah ada akhir yang benar-benar nyata untuk yoga mereka? Apakah mereka hidup secara bersih dan suci? Apakah mereka meyakini dhamma sejati?"
Apa yang disebut dengan tujuan terakhir dan tertinggi dari yoga, iccantayogakekhami, dan dhamma sejati. Iccantayogasana, merujuk pada nibbana. Kehidupan suci yang dimaksud adalah jalan para ariya dan praktek vipasanna. Dengan kata lain, dengan mengajukan pertanyaan diatas, sakka sebenarnya bertanya kepada sang buddha apakah para petapa dan brahmana mempraktekkan vipasanna dan delapan jalan utama? Serta, apakah mereka meraih nibbana?
Sang buddha menjawab pertanyaan sakka dengan kalimat lain berikut ini. Menurut sang buddha, hanya para bhikkhu dan orang-orang yang telah terbebas melalui praktek empat kesunyataan mulia yang mampu memadamkan kerinduan dan kemelekatan. Mereka berhasil meraih tujuan tertinggi dan mengakhiri yoganya. Mereka inilah orang-orang yang hidup dengan kehidupan suci dan mengenal dhamma sejati.
Para bhikkhu yang dimaksud sang buddha disini terdiri dari para buddha, pacekabuddha dan arahat. Singkatnya mereka semua arahat. Para arahat telah menyempurnakan yoganya ( asava: bias, prasangka, purbasangka, konsep "aku" ) yang meyebabkan kelahiran kembali. Arahat adalah orang yang telah mencabut akar-akar yoga. Mereka telah meraih tujuan terakhir dan dhamna tertinggi.
Suatu kali sang buddha pergi kehadapan brahma baka ( alam brahma ). Brahma ini bertanya apa yang dimaksud surga yang kekal? Sang buddha mengatakan kepadanya untuk tidak menyimpan khayalan tentang kekekalan dan tidak memiliki kerinduan tentang bentuk kehidupan apapun.
Sang buddha berkata, "setelah melihat sisi buruk dari semua jenis kehidupan, apakah itu kehidupan dialam manusia, dewa, brahma atau jutaan kehidupan kelas bawah, saya tidak mengidamkan jenis kehidupan apapun tapi mencelanya."
Setiap kehidupan adalah subjek penderitaan. Penderitaan yang amat ekstrim dialami makhluk-makhluk dunia bawah ( alam binatang, peta dan lain-lain ). Sementara kehidupan manusia mempunyai sisi buruknya karena pasti mengalami usia tua, sakit dan kematian.
Para dewa menderita karena hasrat-hasrat indrawinya yang tidak terpuaskan. Hal ini bisa menimbulkan rasa frustasi. Penderitaan dirasakan pula oleh para brahma. Brahma adalah pelayan dari pikiran. Karena, mereka selalu dipenuhi rencana yang sering berubah ubah tiada akhir.
"Saya telah melihat sisi buruk bentuk kehidupan. Saya pun telah melihat kehidupan dari pihak-pihak yang tidak menginginkannya serta orang-orang mencari pemandangannya." demikian sang buddha menjelaskan.
Beberapa orang bijak mulai bertapa dan mencari jalan pembebasan setelah melihat sisi buruk setiap kehidupan. Tapi, mereka tidak tahu jalan pembebasan akhir. Mereka pun tidak tahu adanya delapan jalan utama yang akan membawa kebebasan.
Para pertapa ini hanya mengerti tentang jhana, tingkat-tingkat konsentrasi, yang bisa membuat pikiran tenang dan terpusat. Beberapa dari mereka meraih rupa jhana dan percaya bahwa mereka akan memperoleh hidup kekal dialam kehidupan rupavacarabrahma, salah satu tujuan dari jhana. Bagi petapa lain kehidupan kekal bisa ditemui dialam asanna. Asanna dianggapnya sebagai kediaman tanpa persepsi dari alam rupavacara. Sementara bagi yang lain hal ini bisa dinikmati hanya dialam arupavacara.
Berseberangan dengan harapan ini, para yogi yang telah berhasil meraih jhana tidak hidup kekal dialam brahma. Setelah meninggal dari alam ini mereka akan turun ke alam panca indera sebagai dewa atau manusia. Ditempat terakhir ini mereka akan meninggal dan terlahir sebagai makhluk baru sesuai dengan karmanya. Sebagai akibat buruknya, bisa jadi mereka menemukan dirinya terlahir lagi dialam-alam tingkat rendah.
Orang-orang ini tidak memperoleh cara memadamkan lingkaran kehidupan meski telah mencarinya dengan banyak cara. Mereka terus terikat pada penderitaan. Karenanya sang buddha mencela setiap jenis kehidupan.
Kehidupan baru mengacu pada keterikatan terhadap hidup itu sendiri. Keterikatan ini ( tanha ) sama dengan kamayoga ( prasangka indra ) dan prasangka pada kehidupan. Sang buddha telah berhasil mencabut keterikatan ini.
Menurut kitab komentar, ada 14 pertanyaan yang diajukan sakka. Tertulis disana sakka sangat puas dengan jawaban-jawaban sang buddha.
Setelah memberi hormat sekali lagi sakka menyatakan pandangannya tentang tanha yang tersurat pada pertanyaan berikut:
"yang mulia, tanha yang aktif adalah suatu penyakit. Ia seperti anak panah atau sebuah bisul didalam daging. Ia merusak makhluk hidup hingga mereka harus hidup dalam penderitaan".
"Tanha bersifat aktif. Sifatnya suka merindukan ini dan itu. Ia terikat pada dirinya sendiri, pada obyek menyenangkan dan keinginan menikmatinya dalam waktu lama".
"Seperti sehelai daun tertiup angin. Daun itu tidak pernah beristirahat. Ia terbang kemana-mana. Ia selalu sibuk, lapar dan rakus. Tanha adalah penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan. Tapi tidak terlalu akut untuk bisa menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Tanha membuat seseorang takluk ketika ia terpuaskan. Tapi tanha sendiri tidak pernah puas seberapa banyak pun ia diberi makan dengan obyek-obyek indra yang disukainya. Tanha rindu obyek indra yang disukainya dan ingin menikmatinya lagi dan lagi".
"Tanha begitu menakutkan dan menjijikkan. Ia seperti sepotong duri dalam daging. Sepotong duri dalam daging tersembunyi rapi sehingga kita tidak bisa melihat keberadaannya. Kita sulit melepaskannya sehingga tetap menimbulkan rasa sakit."
"Begitu pula sangat sulit menyingkirkan tanha yang selalu mengganggu kita. Kita mencemaskan obyek-obyek yang diingini sehingga tidak dapat tidur siang dan malam. Karena keterikatan pada hidup kita terus-menerus berputar-putar dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain bergantung pada karma-karma kita".
Setelah mengemukkakan komentar diatas kini sakka terbebas dari semua keragu-raguan. Sebagai akibat tersingkirkan keragu-raguan ini sakka berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Dengan ini ia terjamin tidak akan terlahir kembali di alam-alam tingkat rendah setelah kematiannya. Nantinya, ia akan terlahir kembali dalam alam kehidupan yang baik. Dari tempat itu ia bisa meraih tingkat kesucian yang lebih tinggi sampai memperoleh kebebasan akhir.
Kebahagiaan sakka
Setelah sakka meraih tingkat kesucian pertama kebahagiaan terpancar dari dirinya. Sang buddha bertanya apakah ia pernah memiliki jenis kebahagiaan semacam itu sebelumnya?
Sakka menjawab demikian, "yang mulia, sakali waktu saya pernah memiliki jenis kebahagiaan tertentu. Itu terjadi ketika saya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan makhluk-makhluk asura. Tapi, kemenangan itu berkaitan dengan senjata. Hal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan pelenyapan kekotoran batin. Kemenangan itu tidak membawa tumbuhnya pengetahuan pandangan terang yang khusus atau nibbana. Sementara, kebahagiaan setelah meraih tingkat sotapanna tidak berhubungan dengan senjata apapun. Kebahagiaan ini dipenuhi keyakinan tanpa ada sedikitpun terselip perasaan kecewa. Keadaan ini mengarah pada pandangan terang dan kebebasan akhir".
Kebahagiaan sakka diliputi keyakinan dan enam keberuntungan yang muncul didalam diri, yaitu :
Hal pertama yang membuatnya sangat gembira karena ia telah meraih tingkat kesucian sotapanna. Dimana ia telah terlahir kembali sebagai sakka yang baru. Perhatikan kenyataan ini, karena perbuatan baiknya dimasa lalu pemuda magha terlahir dialam dewa sebagai raja para dewa. Ditempat ini ia memiliki rentang hidup yang panjang. Masa hidup sakka 35 juta tahun manusia. Ketika mengetahui kematiaannya sudah dekat ia mengunjungi sang buddha untuk mendengar dhamma. Saat mendengarkan pembabaran dhamma sakka memperoleh keseimbangan batin positif. Ia terus melanjutkan perenungan sehingga berhasil meraih tingkat kesucian pertama. Melihat kenyataan itu ia merasa berbahagia karena tidak akan terlahir dialam rendah. Sementara, sebagai sakka yang baru ia memiliki peluang hidup 36 juta tahun lagi.
Sakka berkata, "yang mulia, jika melalui praktek benar dari vipassana saya memperoleh sambodhi, saya akan terus bermeditasi lagi agar bisa meraih pandangan terang yang lebih tinggi. Sambodhi yang akan aku raih sebagai makhluk manusia akan menandai akhir dari perwujudanku sebagai manusia".
Setelah meraih tingkat kesucian anagami, sakka akan melewati alam sudhavasa. Nantinya ia akan meraih kearahatan di alam akanittha. Sebagai tambahan keterangan kitab komentar menulis kata sambodhi mengacu pada pengetahuan batin yang diraih para sakadagami.
Sakka berkata, "akanitta dunia, begitulah disebut karena disana para dewa memiliki kekuatan, kekuasaan, panjang usia, dan lain-lain. Mereka adalah dewa-dewa mulia. Saya akan memiliki kehidupan terakhir dialam luar biasa ini".
Akanitta adalah kehidupan tertinggi dialam sudhavasa. Meski penghuninya tetap disebut dewa, faktanya mereka adalah para brahma. Dikatakan setiap brahma disana memiliki banyak pembantu. Jadi sakka akan meraih tingkat kesucian sakadagami dibumi dan anagami dialam dewa. Setelah itu ia akan memasuki aviha. Aviha adalah kediaman paling rendah dialam dewa sudhavasa. Setelah melewati beberapa alam diatasnya, sakka akan menjadi arahat dialam anakittha. Menurut kitab komentar, sakka akan berada dialam brahma selama 31.000 kalpa. Ditempat ini hanya ada dua brahma lain yakni anathapindika sang pedagang dan visakha. Kualitas hidup ketiga brahma ini tidak ada bandingannya dibanding alam lain dalam lingkaran samsara. Jadi, sebab keenam yang membuat sakka bahagia adalah adanya peluang baginya meraih kearahatan dialam anakittha.
Kemudian sakka menyimpulkan seluruh kebahagiaannya dengan kalimat demikian, "yang mulia, hari ini saya memberi hormat kepadamu. Engkaulah sebenar-benarnya buddha. Engkaulah guru sejati yang bisa memberi petunjuk kepada dewa dan manusia untuk kesejahteraan mereka. Engkau tak ada bandingannya".
Setelah itu sakka memberi hormat tiga kali sambil menyebut ,"namo tassa bhagavatto arahatto samma sambudhasa". Arahatto berarti orang yang berjasa mulia. Samma sambuddha berarti seseorang yang "tahu" empat kebenaran mulia secara langsung.
Inilah uraian sakka panha sutta. Sutta ini telah memberi pencerahan bagi banyak makhluk sebagai mana yang terjadi pada sakka dan para pengikutnya. Bagi siapa saja yang mempraktekkan ajaran pasti akan memperoleh pandangan terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar