Khanda pertama ialah "kegemaran kepada bentuk" ( rupahanda ). Dalam kelompok ini termasuk empat mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat mahabhuta itu seperti lima indria kita ( mata, hidung, telinga, lidah dan badan ) dengan obyek sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran ( dhammayatana ). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam rupakhanda ini.
Khanda kedua ialah "kegemaran kepada perasaan" ( vedanakhanda ).
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan ( perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral ) yang timbul karena adanya kontak dari indria dengan dunia luar.
Ada enam jenis perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara; hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini.
Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah "pikiran" ( manas ) dalam filsafat buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah "jiwa" sebagai lawan dari "badan jasmani". Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan sang buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita dapat melihat warna; sebaliknya kita tidak dapat meihat suara, tetapi kita bisa mendengar suara.
Dengan, lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh.
Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantara indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun mereka dapat kita ketahui melalui keenam yaitu indra pikiran.
Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik.
Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide ( gambaran ) tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal yang ia pernah alami dengan indria yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran ( manas ) dapat dianggap sama seperti indria-indria lain. Misalnya mata atau telinga.
Khanda ketiga ialah, "kegemaran kepada pencerapan" ( sannakhanda ). Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.
Khanda keempat ialah "kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran" ( sankharakhanda ). Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan "kehendak" kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal masyarakat umum sebagai "kamma" termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang karma yang diberikan oleh sang buddha sendiri : "o bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian akan berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran". Kehendak (cetana) adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Perasaan dan pencerapan bukan merupakan kehendak. Mereka tidak akan menimbulkan buah karma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah kamma, misalnya :
Manadikara - perhatian
Chanda - keinginan untuk berbuat
Adhimokkha - ketetapan hati
Saddha - keyakinan
Samadhi - samadhi
Panna - kebijaksanaan
Viriya - semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu
Raga - hawa nafsu
Patigha - kebencian, dendam
Avijja - ketidaktahuan, kebodohan
Mana - kesombongan
Sakkayaditthi - ide tentang adanya "aku" yang kekal dan terpisah
Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam "kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran".
Khanda kelima adalah "kegemaran akan kesadaran" ( vinnana khanda ).
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran pikiran ( mano vinnana ) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut diatas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya.
Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenal sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya.
Disini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut buddha dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai "aku", "jiwa", "ego" sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran ( vinnana ) janganlah sekali-kali dianggap sebagai "jiwa" yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalahpahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menggangap kesadaran sebagai semacam "jiwa" dan "ego" yang bersifat kekal abadi.
Salah seorang siswa sang buddha bernama sati bersikeras mengatakan bahwa sang guru pernah berkata : "kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling." ketika mendengar ini sang buddha lalu bertanya kepada sati apa yang dimaksudkan dengan "kesadaran" itu? Jawaban sati adalah klasik : "sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, didunia ini dan alam sana."
"Orang bodoh", jawab sang guru, "dari siapakah pernah engkau dengar aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran telinga; dst.
Sesudah itu, sang buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan.
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul ( majjhima nikaya, maha tanhasankhaya sutta ).
Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut:
"...api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kembali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll... Dan menjadi api jerami dst... Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat , cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. ... Dan menjadi kesadaran telinga dst.
Sang buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata: "kesadaran dapat langsung dengan mempunyai benda sebagai perantara ( rupapayang ), benda sebagai obyek ( ruparammanang ), dan benda sebagai pembantu ( rupapatitthang ) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat langsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara ... Atau pencerapan sebagai perantara ... Atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.
Andaikata ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya dan berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.
Secar singkat inilah yang dimaksud dengan lima kelompok kegemaran ( pancakhanda ). Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau "aku" hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada lima kelompok kegemaran tersebut.
Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha. Inilah makna sebenarnya dari kata-kata sang buddha: "secara singkat, lima kelompok kegemaran itu adalah dukkha." mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Disini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali.
"O brahmana, kesadaran itu seperti juga air sungai digunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai diperjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai digunung." sang buddha pernah berkata kepada ratthapala : "dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal."
Satu kondisi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu dibelakangnya yang dapat disebut sebagai satu atta ( pali ) atau atman ( sansekerta ) yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai "aku".
Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai "aku". Tetapi kalau lima kelompok kegemaran ini, yang keadaanya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagai satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang "aku" itu.
Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari kelompok kegemaran.
Lima kelompok kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai "makhluk", juga merupakan dukkha ( sankharadukkha ). Sebenarnya tak ada "makhluk" atau "aku" lain yang berdiri di belakang lima kelompok kegemaran itu yang mengalami penderitaan.
Dalam hubungan ini buddhagosa pernah berkata :
"Hanya penderitaan yang ada, namun
"Tak dapat dijumpai sipenderita;
"Perbuatan yang ada, tetapi
"Tak ada si pembuat."
Tak ada penggerak yang tak bererak di belakang penggerak itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pengerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum cartesian yang berbunyi "cogito ergo sum" yang berarti "aku berpikir, dan karena itu aku ada".
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaanya? Menurut buddha dharma, awal dari proses penghidupan makhluk tak dapat terpikir.
Sang buddha pernah bersabda : "o bhikkhu, roda tumimbal lahir ( samsara ) tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran kesana dan kemari, diselubungi oleh ketidaktahuan ( avijja ), diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya (tanha), tidak dapat diketahui dengan jelas."
Selanjutnya mengenai ketidaktahuan (avijja), yang merupakan sebab utama dari tumimbal lahir yang tak habis-habisnya, sang buddha bersabda: "awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas.
Inilah secar singkat makna dari kesunyataan mulia tentang dukkha.
Sangat penting sekali untuk mengerti kesunyataan mulia pertama ini dengan baik, sebab sang buddha juga pernah bersabda :
"Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar