Selasa, 01 Desember 2015

Vitamin B12, #1#(dalam serial “Bagaimana Cara Terbaik Mengatasi Kebutuhan Nutrisi”)

Spirulina dan Tempe bukanlah merupakan sumber vitamin B12 yang baik

 

Banyak orang mulai sadar bahwa mengkonsumsi produk hewani adalah sama dengan membabat hutan dalam jumlah yang sangat besar, mendukung lebih dari 80% pemanasan global, mencemari lingkungan dan juga menggerogoti kesehatan diri sendiri dan juga masyarakat. Pecinta kebugaran, kecantikan dan kesehatan tubuh prima tentu tidak mau mengkonsumsi produk hewani. Pecinta lingkungan sejati, penyayang hewan dan pendukung perdamaian dunia tentu akan menolak semua produk hewani dan terus mengkampanyekan gerakan tanpa produk hewani.

 

Tetapi, banyak orang yang mengatakan jika kita tidak mengkonsumsi produk hewani seperti daging, susu, telur dan ikan maka kita cenderung kekurangan vitamin B12.  Walaupun pernyataan itu tidak benar, tetapi ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang mengatakan sebagai ahli nutrisi dan juga mengaku dirinya tidak mengkonsumsi produk hewani juga menyatakan hal yang serupa. Mereka menyarankan orang-orang yang melakukan pola makan tanpa produk hewani (vegan) untuk lebih banyak mengkonsumsi tempe dan spirulina yang mereka duga akan membantu meningkatkan kadar vitamin B12 di dalam tubuh.

 

Sekalipun sudah lama tempe dan spirulina dikenal sebagai sumber vitamin B12, tetapi sesungguhnya mereka hanya memiliki ‘senyawa yang serupa dengan B12’. Spirulina (cyanobacterium) dan beberapa ganggang lain serta bahkan juga tempe, tidak memiliki vitamin B12 seperti yang diperlukan manusia tetapi justru membuat tubuh kekurangan vitamin B12 jika mengkonsumsinya dalam jumlah banyak dan dalam waktu lama, yaitu karena justru menghambat metabolisme sel di dalam tubuh1). ‘Senyawa serupa vitamin B12’ yang ada pada tempe, spirulina dan beberapa ganggang lain itu mengisi reseptor vitamin B12 sehingga akan menghentikan penyerapan ‘vitamin B12 yang sesungguhnya’2).

 

Penelitian

 

Industri makanan, obat dan suplemen, baik yang farmasi maupun herbal, begitu pandai menciptakan suatu kebutuhan pasar tanpa peduli atas kesehatan masyarakat. Banyak sekali paradigma dan pengetahuan yang lahir akibat kepentingan tersebut, dan antara lain adalah tentang vitamin B12. Penelitian-penelitian dibuat secara statistik sekedar untuk membuktikan bahwa mereka yang vegan kekurangan vitamin B12. Usaha mereka berhasil, secara terdogmatis masyarakat percaya apa yang dikatakan dan disimpulkan oleh ‘penelitian’. Masyarakat percaya bahwa daging, susu, telur dan ikan adalah makanan vital sehingga mereka khawatir meninggalkan produk hewani sekalipun mengetahui tak berhingga dampak buruk produk hewani bagi kesehatan dan juga lingkungan.

 

Kalau tidak, mereka akan memproduksi suplemen-suplemen dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan atas vitamin B12. Para ahli nutrisi dibayar oleh berbagai produsen suplemen dan obat untuk membicarakan dan mengajarkan tentang begitu besar kebutuhan nutrisi (termasuk vitamin B12) tanpa pernah membicarakan resiko kelebihannya. Sedikitpun mereka tak mau memikirkan bagaimana nutrisi itu bisa terserap secara efektif ke dalam tubuh.

 

Banyak pandangan  ahli nutrisi yang justru membuat mereka yang tergerak untuk menjadi vegan khawatir akan kekurangan gizi atau bahkan salah nutrisi. Mereka tidak pernah mengira bahwa apa yang sudah dihafalkannya itu semua kebanyakan adalah tercipta demi kepentingan industri makanan dan obat.

 

Mereka yang membesarkan anak-anaknya dengan pola makan vegan akan mendapat serangan yang begitu besar dari lingkungan sekitar mereka sendiri. Kemudian, akibat pengetahuan yang salah, akibat pengetahuan nutrisi yang menakutkan, mereka lalu mencari sumber protein, karbohidrat dan berbagai nutrisi yang lain, termasuk vitamin B12, secara membabibuta. Kelebihan nutrisi akibat mereka mengkonsumsi makanan berlebihan atau mengkonsumsi suplemen membuat berbagai kelainan dan masalah kesehatan yang akan mereka kira sebagai penyakit takdir atau penyakit tua.

 

Mulai dari ‘tempe mentah’, ‘miso’ hingga minyak zaitun, minyak vco (virgin coconut oil) dan sekarang yang sedang populer, yaitu buah merah, mengkudu,  jus kulit manggis dst mereka konsumsi tiap hari gara-gara mereka mendengar bahwa itu semua adalah ‘makanan yang baik’. Hanya semata karena semua itu adalah produk herbal mereka lalu katakan bahwa “itu produk alami, bukan kimiawi, dan tentu tidak ada efek samping”.

Ah…, mana ada produk yang tidak punya efek samping? Mana ada produk yang bukan kimiawi? …dan salah kaprah terus terjadi….

 

Padahal sekalipun penelitian itu bukan hoax atau bukan mengada-ada dan data yang mereka kemukakannya adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi mereka membuat kesimpulan yang keliru. Bukan datanya yang salah, bukan penelitannya yang salah, tetapi kesimpulannya yang melenceng.

 

Mereka melalukan pengamatan dan penelitian pada sejumlah orang yang vegan. Kalau ditemukan 1 atau 2 orang vegan yang tubuhnya kekurangan vitamin B12, tentu tidak berarti mereka semua yang vegan akan mengalami hal yang sama.

 

Mereka juga melakukan pengamatan dan penelitian pada sejumlah orang vegan yang sakit. Karena mereka sakit, tentu saja mereka tidak dapat menyerap vitamin B12 dengan baik, tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang vegan tidak mampu menyerap vitamin B12 dengan baik.

 

Yang lebih penting diperhatikan adalah kemampuan tubuh untuk menyerap vitamin B12. Bila hal ini juga diperhatikan, dari penelitian-penelitan akurat yang lain, kita akan melihat bahwa jumlah yang menderita kekurangan vitamin B12 akan jauh lebih banyak terdapat pada pengkonsumsi produk hewani ketimbang mereka yang vegetarian3). Bahkan pemakan daging yang masih muda dan kelihatan sehat pun bisa tidak mendapatkan kecukupan B12. Suasana asam yang ditimbulkan oleh produk hewani, menurut Katherine Tucker dari Jean Mayer Human Nutrition Research Center of Aging, Unversitas Tufts, mengurangi kemampuan tubuh menyerap B12. Dia juga menambahkan bahwa vitamin B12 makin sulit didapat dari daging pada mereka yang berusia lanjut, yaitu karena B12 terikat pada protein daging sehingga tubuh harus menguraikan protein itu terlebih dulu agar bisa mendapatkan dan menyerapnya.

 

Jadi, berbeda dengan banyak pikiran orang, vegan atau bukan, yang mengkonsumsi suplemen B12 maupun tidak, semua orang memiliki resiko yang sama untuk menderita kekurangan B12 (B12 deficiency). Kalau pola makan mereka tidak tepat, kalau pencernaan mereka tidak baik, suplemen B12 sebanyak apapun tidak akan bisa mengatasi kekurangan vitamin B12.

 

Lalu, apa yang harus kita lakukan jika kita kekurangan vitamin B12? Mengkonsumsi produk hewani? Tentu jelas sangat keliru……., produk hewani hanya akan membuat kita makin parah dan makin parah pada banyak hal.

 

Bagaimana dengan tempe? Sebagai lauk pauk, tentu tempe merupakan makanan yang lezat bagi siapapun. Tetapi mengkonsumsinya sebagai suatu usaha memenuhi kebutuhan tubuh atas vitamin B12 adalah sebuah kekeliruan besar karena pada dasarnya  senyawa serupa B12 pada tempe, miso dan spirulina justru menghambat penyerapan B12.

 

Ujung-ujungnya ……., seperti yang Anda duga, jawabannya adalah pada pola makan segar. Hehehehehe…., tapi, bagaimana bisa? Ikuti diskusi berikutnya…

 

Dan selamat makin sehat, kuat, segar dan bugar sepanjang masa..

tanpa obat dan tanpa suplemen!

 

(bersambung)

 

1) Finally, so-called pseudo-B12 refers to B12-like substances which are found in certain organisms, including Spirulina (acyanobacterium) and some algae. These substances are active in tests of B12 activity by highly sensitive antibody-binding serum assay tests, which measure levels of B12 and B12-like compounds in blood. However, these substances do not have B12 biological activity for humans, a fact which may pose a danger to vegans and others on diets who may not ingest sufficient quantities of B12producing bacteria, but who nevertheless may show normal “B12” levels in the standard immunoassay which has become the normal medical method for testing for B12 deficiency http://www.beyondveg.com/billings-t/comp-anat/comp-anat-7c.shtml

2) Victor Herbert MD, JD, “Vitamin B-12: plant sources, requirements, and assay”, American Journal of Clinical Nutrition 48: 852-8, 1988.

3) Katherine Tucker Ph.D., American Journal of Clinical Nutrition, 2000. //enews.tufts.edu/stories/1263/2001/09/10/GettingEnoughB12


Makanan segar atau makanan kehidupan atau living food adalah makanan yang masih mengandung berbagai enzim kehidupan (berasal dari energi matahari melalui proses fotosintesa) dan yang tidak dipanaskan di atas 45 derajat Celsius. Daging, telur, ikan dan susu mentah tidak termasuk ke dalam golongan makanan kehidupan karena mereka tidak lagi mengandung enzim kehidupan.

From : sumansutra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar