Sabtu, 26 September 2015

Kelahiran makhluk di alam bahagia sangatlah sulit

Kelahiran makhluk di alam bahagia sangatlah sulit.

Kita sekarang telah terlahir di alam bahagia, sebagai manusia.
Gunakanlah kesempatan yang sangat sulit didapat ini untuk meraih pencerahan
(menembus Empat Kesunyataan Mulia) di kehidupan ini juga.

Pencerahan hanya bisa didapat melalui kebijaksanaan.
Kebijaksanaan terbaik hanya bisa didapat dari bermeditasi dan
meditasi terbaik adalah meditasi vipassanā.
Maka, Ber-VIPASSANĀ-lah

 

Di bawah ini adalah sutta-sutta yang berisi wejangan Sang Buddha tentang sulitnya seorang makhluk terlahir di alam bahagia.

SN 5 - 12. saccasaṃyuttaṃ - 11. Pañcagatipeyyālavaggo - sutta 102-131

102.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

 

Sang Bhagavā manaruh sedikit debu di ujung kuku jari tangan-Nya dan berkata kepada para bhikkhu:

 

“Para bhikkhu, apa pendapat kalian, mana yang lebih banyak: sedikit debu yang Kutaruh di ujung kuku jari tangan-Ku ini atau bumi ini?”

 

“Bhante, bumi ini jauh lebih banyak. Sedikit debu yang Sang Bhagavā taruh di ujung kuku jari tangan hampir tidaklah berarti. Dibandingkan dengan bumi ini, debu yang sedikit tersebut bahkan tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat diperbandingkan, bahkan tidak sejumlah sebagian kecil pun.”

 

“Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di neraka. Apakah alasannya? Karena, para bhikkhu, mereka belum melihat Empat Kesunyataan Mulia. Apakah empat hal itu? Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang asal-mula penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya penderitaan, Kesunyataan Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan.”

 

“Oleh karena itu, para bhikkhu, suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah penderitaan.’ … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ ... ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Suatu usaha harus dikerahkan untuk memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

 

 

103.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam binatang. ... ”

104.Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam hantu kelaparan. ... ”

105 – 107 Manussacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai manusia)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

108 – 110 Devacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai deva)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva,[1] terlahir kembali di antara deva.[2] Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

111 – 113 Devacuti-suttaṃ (Meninggal dunia sebagai deva)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

114 – 116 Nirayacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam neraka)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

117 – 119 Nirayacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam neraka)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

120 – 122 Tiracchānacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam binatang)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

123 – 125 Tiracchānacuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam biatang)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

126 – 128 Petticuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari alam hantu kelaparan)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara manusia. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

129 – 131 Petticuti-suttaṃ (Meninggal dunia dari hantu kelaparan)

... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan. ... ”

 

Pernyataan yang sama dengan sutta-sutta di atas juga dapat di temui di

Aṅguttara Nikāya kelompok 1, bab 16 (ekadhammapāḷi), sub-bab 4 (catutthavaggo), sutta 336-365 (versi DPR & Chattha Sangayana Tipitaka 4.0 – VRI) , 348-377 (versi Bhikkhu Bodhi).

Perbedaan antara sutta-sutta di Saṃyutta Nikāya dan Aṅguttara Nikaya hanyalah bagian paragraf awal dan akhir.

336-338 “Bagaikan, para bhikkhu, hanya sedikit taman-taman, kebun-kebun, pemandangan-pemandangan, dan kolam-kolam lotus yang menyenangkan; jauh lebih banyak bukit-bukit dan tebing-tebing, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat yang dipenuhi dengan tuggul-tunggul kayu dan duri, dan gunung-gunung yang sulit dijelajahi, di Jambudīpa ini. Demikian juga, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di antara manusia. Jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, terlahir kembali di alam neraka, .... di alam binatang, ...  di alam hantu kelaparan.”

363-365 ... “Begitu juga, para bhikkhu, hanya sedikit para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di antara deva. Tetapi, jauh lebih banyak para makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu kelaparan, terlahir kembali di alam neraka, ... di alam binatang, ... di alam hantu kelaparan.”

 

Untuk membayangkan betapa sulitnya untuk terlahir kembali di alam bahagia dari alam rendah (menderita) mungkin tidaklah terlalu sulit, karena bila kita terjatuh ke alam rendah, jangankan untuk mempraktikkan meditasi, melakukan dana dan melaksanakan sila pun hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, sangatlah sulit bagi makhluk penghuni alam rendah untuk terlahir kembali menjadi manusia atau dewa. Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu bahkan lebih sulit bila dibandingkan dengan kemungkinan seekor penyu buta yang muncul ke permukaan samudera setiap seratus tahun sekali untuk dapat muncul tepat di lubang sebuah pelampung kayu[3] yang terombang-ambing di tengah samudera (Chiggala Sutta, SN 56.47 atau Balapandita Sutta, MN 129).

Namun demikian, untuk membayangkan betapa sulitnya untuk terlahir di alam bahagia dari suatu alam bahagia lainnya (misalnya terlahir sebagai manusia setelah meninggal sebagai seorang manusia atau dewa), mungkin agak sedikit sulit dicerna. Sebagian dari pembaca mungkin berkata, “Kita kan sering berdana dan melakukan kebajikan lainnya! Apakah hal itu belum cukup untuk membuat kita terlahir kembali di alam bahagia?”

Untuk menjawab hal ini, cobalah renungkan keadaan pikiran anda mulai sejak bangun tidur sampai sesaat ketika akan kembali tidur. Mana yang lebih banyak, pikiran yang baik atau yang buruk?  Untuk memudahkannya, silakan baca contoh di bawah ini:

Ketika baru bangun, biasanya seseorang langsung mencari makanan atau minuman, ini adalah kesadaran yang bersekutu dengan keserakahan (lobha). Bila dia mencuci muka atau mandi terlebih dahulu, dapat dipastikan dia akan bercermin untuk memastikan penampilannya sempurna (ini = lobha), tetapi saat dia mendapatkan ada sesuatu yang kurang, rasa tidak suka muncul (ini = dosa). Bila hari libur, maka tidurnya diperpanjang dan bermalas-malasan di ranjang (= moha). Saat mendapatkan makanan atau minumannya tidak sesuai selera, muncul ketidakpuasan (kesal, kecewa, atau bahkan marah = dosa), tetapi bila sesuai dengan selera maka disantapnya dengan penuh nafsu (= lobha). Kemudian dia berpikir tentang kegiatan yang harus dilakukannya hari itu, bila sekiranya akan menyenangkan maka dia gembira (= lobha), bila sebaliknya maka dia kecewa (= dosa), bila biasa-biasa saja tetapi tetap harus melakukannya maka tidak ada semangat dan malas (= moha).  Tidak bisa dipungkiri, bahwa ada juga yang berpikir tentang dana, sila, dan meditasi; tetapi kalau mau jujur, sedikit sekali yang berpikir akan hal tersebut. Sebagian besar hanya berpikir bagaimana menjalankan hari-harinya dengan penuh kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan; yang ada di pikirannya hanyalah soal uang, makan, musik, film, jalan-jalan, dan berbelanja (= lobha).

Berdasarkan contoh dari kegiatan di atas, terlihat dengan jelas bahwa kesadaran yang tidak baik (akusala citta) sangat mendominasi pikiran seorang manusia. Oleh karena itu, Sang Buddha mengatakan bahwa sangatlah sulit untuk terlahir kembali menjadi manusia atau dewa sekalipun saat ini kita hidup sebagai manusia atau dewa. Bila seseorang tidak menyadari hal ini maka dia akan terus berputar-putar di lingkaran kelahiran dan kematian yang dipenuhi oleh penderitaan.

Saat ini kita semua terlahir sebagai manusia, hidup dengan baik dan layak, dapat mendengarkan Dhamma Mulia, dan bahkan sebagian dari kita dapat berkesempatan untuk mempraktikkannya. Janganlah sia-sia kan kesempatan yang sungguh sangat sulit dicapai ini. Berjuanglah dengan penuh semangat, capailah Damma Mulia (Magga, Phala, & Nibbāna) di kehidupan ini juga.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia, damai, dan bebas dari penderitaan. Semoga semua makhluk secepatnya mencapai Nibbāna. Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar