Sabtu, 24 Januari 2015

Bhavatanha

Ada dua pandangan salah tentang kehidupan manusia. Yang pertama disebut sassata ditthi, cara pandang kekekalan. Sementara yang satunya lagi dinamakan uccheda ditthi, cara pandang nihilisme.

Bhavatanha, kemelekatan atau kemelekatan untuk menjadi, tumbuh dan bergabung dengan cara pandang adanya kekekalan yang beranggapan bahwa kesenangan tidak bisa dihancurkan karena substansi hidup yang ada di dalam diri bersifat kekal. Dalam pandangan ini, badan jasmani bisa saja lapuk atau hancur. Tapi, 'jiwa' di dalamnya tetap hidup dan akan berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Setelah kematian 'jiwa' akan berpindah dan bersemayam di tubuh yang baru. Begitulah proses keberadaan yang akan berlangsung terus-menerus.

Alam raya bisa saja hancur tapi 'jiwa-jiwa' dari makhluk hidup tetap hidup. Jiwa tetap ada selamanya. Jiwa bersifat kekal dan tak terhancurkan. Orang-orang yang berpandangan ini beranggapan jika seseorang meninggal dunia ia akan lahir didalam surga. Ia akan hidup kekal ditempat ini. Disisi lain ada kemugkinan juga ia akan jatuh di alam neraka dan hidup kekal pula ditempat ini sesuai dengan kehendak tuhan.

Kelompok yang lain lebih suka percaya bahwa 'jiwa' seseorang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain dan memperbaharui 'diri' menurut bekerjanya kamma mereka. Sementara kelompok yang lainnya lagi percaya bahwa hidup telah di kodratkan dan tidak bisa di ubah. Suatu waktu ia akan pergi menuju ke kekekalan sesuai kodratnya. Secara jelas disebutkan oleh cara pandang ini bahwa 'substansi' yang bersemayam didalam diri bersifat kekal. Inilah bentuk-bentuk pemikiran sassata ditthi. Dibawah anggapan ini hidup layaknya seperti seekor burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain.

Sebagaimana sebuah pohon tua yang menunggu keluruhannya sambil menanti anak pohonnya tumbuh. Jadi, saat meninggal jasmani akan hancur, sementara 'zat hidup' bergerak keluar dan menuju ke jasmani barunya. Dibawah pengaruh bhavatanha yang didukung oleh konsep kekekalan seseorang terpuaskan dengan beranggapan bahwa atta, 'diri', berada di dalam dirinya secara tetap. Ia begitu percaya diri dan merasa bahwa yang ada di dalam dirinya adalah "dirinya" sendiri. Hal-hal yang ia nikmati sekarang bisa juga dinikmatinya dimasa yang akan datang. Disini, kemelekatan kepada semua yang dilihat, didengar, dibaui, dicicip, disentuh dan dipikirkan tumbuh lebih kuat dari satu keberadaan ke ke keberadaan yang lain. Ia tak hanya bisa menikmati obyek-obyek indra yang dinikmatinya saat ini.

Tapi, ia pun berharap bisa menikmati hal yang sama yang akan datang. Biasanya setelah memiliki kehidupan yang bahagia sebagai manusia ia memimpikan lebih dari itu. Ia berharap bisa hidup lagi dan terlahir sebagai dewa yang berbahagia. Itulah proses perkembangan keinginan. Semua keinginan-keinginan ini ada akibat bekerjanya bhavatanha. Lebih jauh, bhavatanha rindu akan kenikmatan indrawi yang berakar dari konsep adanya kekekalan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar