Dikutip dari buku karya Pir Inayat Khan; membangkitkan Kesadaran Spiritual, terbitan Pustaka Hidayah, bab I, halaman 15 sampai 24
“Kesempurnaan seluruh penciptaan ini ada pada diri manusia. Dan tujuan ini hanya dapat dipenuhi jika manusia telah menyadarkan bagian dari dirinya yang mewakili Tuhannya, yaitu Tuhan itu sendiri.”
– Hazrat Inayat Khan
Bayangkan sejenak bahwa Anda seorang pendatang dari tempat yang sangat jauh di Alam Semesta, yang baru saja mendarat di bumi. Jika Anda membangkitkan kembali kenangan akan dunia yang Anda tinggalkan, Anda akan memiliki pengetahuan langka yang tidak dimiliki oleh kebanyakan penduduk planet kecil ini: perspektif yang luas dan pandangan menyeluruh mengenai misteri eksistensi. Sesungguhnya, Anda adalah bagian dari Alam Semesta – bukan hanya dunia fisik, melainkan seluruh tingkatan dan lingkup realitas. Mungkin Anda memutuskan untuk datang ke bumi karena Anda ingin merasakan lingkungannya yang unik. Atau, mungkin motivasi Anda adalah membuat tanda, atau meningkatkan keadaan umat manusia. Namun, untuk dapat menyelesaikan tugas ini, Anda perlu memiliki tubuh yang tercipta dari tubuh kedua orangtua Anda dan para leluhur Anda; Anda memilih mereka untuk tujuan inkarnasi. Sejalan dengan berlalunya waktu, Anda semakin pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial Anda – Anda bekerja keras, jatuh cinta, menjalin persahabatan, membangun keluarga dan berkelana ke seluruh dunia. Lambat laun, kenangan akan rumah Anda yang sejati mulai menghilang dari kesadaran Anda, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Untuk sesaat, kehidupan Anda di bumi berjalan lancar; Anda merasa bahagia. Lalu Anda menghadapi krisis besar, goncangan pribadi, dan kehidupan tampaknya tidak lagi begitu pasti. Anda mulai merasa gelisah dan cemas. Keadaan hidup Anda membuat Anda frustasi, dan Anda merindukan kebebasan. Tergerak oleh nostalgia akan sesuatu yang bahkan tidak Anda ketahui apa namanya, Anda mulai memandangi bintang-bintang. Anda juga mulai merasakan kedekatan dengan pepohonan, kupu-kupu, matahari, hewan dan burung. Di bawah bentangan langit yang luas dan di tengah kelembutan alam, Anda menemukan kembali sesuatu dari diri Anda yang telah terlupakan. Dengan diliputi perasaan takjub dan kekaguman, Anda mulai menjalin dialog di dalam diri sendiri mengenai hakikat realitas dan mempertanyakan sumber dari seluruh keindahan, penderitaan dan misteri penciptaan. Sesuatu yang sulit dipercaya tampaknya ada di balik permukaan dari segala hal – namun jawabannya tidak bisa Anda peroleh, luput dari jangkauan realisasi Anda.
Lalu secara tiba-tiba, setelah bertahun-tahun mencari, semua kenangan mengenai eksistensi Anda sebelumnya kembali mendatangi Anda dalam sekilas kebangkitan. Seperti menemukan kembali benda bersejarah yang sangat berharga di balik lapisan debu tebal, Anda menemukan kembali diri Anda yang sejati, jati diri Anda yang sesungguhnya, yang telah terkubur dan terlupakan di kedalaman alam bawah sadar anda. Sekali lagi, Anda dapat melihat melalui perspektif yang terbentang luas dari diri kosmik ini, dan bukannya melalui sudut sempit jati diri Anda di bumi. Seakan-akan selubung dibukakan di depan mata anda; Anda memiliki kecerdasan bagaikan sinar-X yang dapat menembus kebenaran yang tersembunyi oleh tabir penciptaan – penyingkapan dari kemuliaan Alam Semesta – Wujud yang Satu yang kita sebut Tuhan. Mukjizat itu adalah ketika Anda terjaga, maka, demikian pula Alam Semesta. Dari tarian atom dan koreografi bimasakti hingga merekahnya sekuntum bunga dan perjuangan untuk meraih penghargaan diri dari orang-orang yang telah dihancurkan oleh kehidupan, seluruh kosmos menggemakan dengan jelas seruan itu, “Bangkitlah!” Dan meskipun Anda mendapati bahwa Anda tetap memiliki tubuh, kepribadian, hubungan dan tanggung jawab yang sama seperti sebelumnya, pengalaman Anda menghadapi situasi ini telah berubah secara dramatis; kesadaran Anda telah menjadi lensa yang melaluinya Tuhan memandang dunia fisik; Anda telah menjadi “mata yang melaluinya Tuhan melihat.” Penglihatan Anda adalah penglihatan Ilahi.
Dalam kisah perumpamaan ini terkandung esensi tasawuf – kisah tentang turunnya setiap jiwa ke dalam eksistensi, pengalamannya dalam penderitaan yang diakibatkan oleh perpisahan dari keberadaannya yang sejati, dan perjalanan kembali serta kesadarannya kembali pada hakikat Ilahiahnya. Sebab sejak jiwa mendapatkan bentuk fisiknya, kenangan akan lingkungan samawi tempat dia berasal menjadi kabur; kita hanya mengingat hal-hal yang terjadi pada diri kita sejak kita dilahirkan. Tetapi pengetahuan yang hilang mengenai Alam Semesta tetap tersimpan di alam bawah sadar kita. Seperti pakar arkeologi yang mengorek-ngorek melalui berlapis-lapis batuan, kita dapat menemukan kembali pengetahuan itu dengan memperdalam dan memperluas kesadaran kita melalui meditasi, salat dan pemujaan. Kita dapat merasakan bagiamana keadaan kita sebelum lahir ketika kita melihat cahaya di mata seorang bayi dan berpikir, seperti sering saya alami: “Aku pernah melihat ini sebelumnya. Aku ingat itu.”
Sesungguhnya, rahasia tasawuf adalah beralih dari sudut pandang pribadi kita yang sempit ke sudut pandang Ilahi. Secara sederhana, keberadaan kita terdiri dari dua kutub kesadaran: diri individual yang pribadi sifatnya, dan diri Ilahi yang lebih mulia. Di dalam kutub dimensi kesadaran pribadi itulah kita mengalami kendala dan batasan. Sementara kita mengira bahwa keadaan kita merupakan penyebab frustasi ini, penyebab yang sesungguhnya adalah karena kita tidak sadar akan diri kita yang lebih mulia. Jadi, tujuan meditasi adalah menghubungkan kembali diri pribadi kita dengan dimensi trans-personal dari keberadaan kita ini.
Cara lain untuk membayangkan proses ini adalah memikirkan tentang kesadaran seakan-akan itu sebuah pendulum. Di satu ujungnya adalah dimensi keberadaan kita yang fana dan akan lenyap, atau terus-menerus berubah dan berganti melalui proses evolusi. Di ujung yang lain pendulum ini adalah bagian kesadaran yang tetap hidup dan tidak berubah. Jadi seluruh keberadaan kita dapat dikatakan sebagai kesinambungan dalam perubahan – seperti halnya air yang mengalir di bawah jembatan tidak pernah sama, namun tetap saja itu sungai yang sama. Masing-masing dari kedua kutub ini menciptakan cara kesadaran yang khas.
Para sufi membedakan antara pengetahuan perolehan dan pengetahuan wahyu. Pengetahuan perolehan adalah informasi yang kita kumpulkan sepanjang pengalaman hidup kita sehari-hari. Tetapi ketika kita mulai memandang hidup melalui sudut pandang yang sama sekali bertentangan – melihat melalui mata Tuhan – maka kita dapat memperoleh pengetahuan bawaan, intuitif, dan wahyu yang selalu ada, tidak peduli bagaimana pun keadaan manusia itu. Meditasi adalah ilmu untuk bergerak maju dan mundur di antara kedua perspektif ini – perspektif manusia dan perspektif Ilahi – dengan menurunkan tingkatan yang satu untuk meninggikan tingkatan yang lain. Pada akhirnya, kita belajar untuk memperkirakan makna dari perpaduan antara tingkatan-tingkatan yang berbeda ini. Keadaan inilah yang saya namakan kebangkitan jiwa bukan hanya kembali pada keadaan sejatinya, melainkan bagaimana jiwa berkembang melalui perjalanannya di atas bumi ini: maka apa yang dapat dirangkumnya dari pengalaman-pengalamannya; sifat-sifat dasar apa yang telah terungkap dari berbagai kesulitan besar yang berhasil dihadapinya; dan cara unik di mana penyingkapan jiwa memberikan sumbangan pada evolusi Alam Semesta itu sendiri.
Mungkin ada yang bertanya-tanya apa relevansi dari kebenaran-kebenaran metafisika semacam itu dengan dunia modern – terutama dunia yang tampaknya bergerak menjauhi nilai-nilai yang diyakini para ahli tasawuf di masa lalu dan mendekati masa depan yang semakin impersonal, kompleks, dan sarat teknologi. Tetapi tampaknya waktu di mana kita berada sekarang ini semakin menekankan secara dramatis perlunya membedakan antara apa yang memiliki nilai kekal dan apa yang hanya bernilai sementara; apa yang dapat membawa jiwa semakin jauh dari Tuhan, dan apa yang dapat membawanya semakin dekat. Seluruh Kosmos bergerak bagaikan pendulum; masa lalu dan masa depan, yang sementara dan yang kekal, manusia dan Tuhan. Di luar dialog maju-mundur yang terus-menerus antara kedua kutub inilah masa depan tercipta. Saya percaya bahwa masa depan bukan hanya sesuatu yang menanti kita; ia adalah sesuatu yang tercipta melalui penyortiran masa lalu untuk dimasukkan ke masa depan. Masa depan adalah kemajuan yang terus berlangsung yang terjadi pada setiap era dan yang terjadi melalui peran serta inovatif, imajinatif, dan dilakukan dengan sadar oleh setiap individu. Inilah yang saya namakan evolusi spiritual.
Seperti yang dibuktikan sejarah, proses ini dapat menimbulkan perlawanan dan kesulitan sangat besar. Bahwa masa depan adalah sesuatu yang kita ciptakan, bukan kita terima begitu saja secara pasif, membuat banyak orang merasa gentar. Meninggalkan nilai-nilai masa lalu yang nyaman namun sudah usang dirasakan seperti terjun bebas ke jurang pergolakan yang menyeramkan. Tetapi kembali pada kenyamanan masa lalu, dan bukannya bergerak maju menuju masa depan, berarti kehilangan kesempatan untuk menyaksikan pembukaan kosmik yang langka yang terjadi dalam sekejap waktu di antara masa lalu dan masa depan, di mana kita mustahil memulai suatu babak baru dalam kisah evolusi umat manusia. “Tarikan masa depan,” tulis Leonhard Euler, “lebih kuat daripada dorongan masa lalu.” Tetapi apa tepatnya “masa depan” itu? Menurut pandangan dunia Sufi, masa depan berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Bagi sebagian orang, masa depan sudah ditetapkan – suatu nasib yang telah dipahat di atas batu yang harus mereka terima secara pasif dengan kepatuhan buta. Yang lain menganggap masa depan sebagai sesuatu yang dapat dibentuk sesuai dengan kehendak masing-masing individu. Menurut pendapat saya, masa depan adalah hasil dari keduanya – dan sesuatu yang jauh lebih dari itu.
Para Sufi telah mengembangkan metafisika mengenai waktu dan nasib yang sangat berbeda dari persepsi waktu yang biasa dan linear. Misalnya, mereka membedakan antara saat ketika masa lalu bertumpang tindih dengan masa depan yang kemudian membentuknya, dan saat terjadinya peristiwa secara simultan ketika anak panah yang bergerak ke depan terpotong oleh dimensi transenden – seperti masuknya energi baru yang tak tercipta ke dalam keadaan yang telah pasti dan stagnan. Menggunakan kiasan ahli fisika David Bohm mengenai laut dan gelombang, “dinamika waktu” ini dapat dijelaskan begini: bahwa gelombang di laut naik, lalu jatuh kembali ke kedalaman samudera; namun setiap gelombang baru merupakan ungkapan yang baru pula dari laut, meskipun masih disisipi dengan unsur-unsur dari gelombang sebelumnya.
Di sini kita melihat berpadunya dua kekuatan: kausalitas dan terus bermunculannya citra-citra dan bentuk-bentuk baru yang kreatif di Alam Semesta – seperti lahirnya sebuah bintang. Itu belum diterapkan. Misalnya, apa tepatnya yang kita maksud dengan konsep mengenai “saat” atau “sekarang”? Jika Anda sedang mendengarkan musik, nada yang baru saja Anda dengarkan terus bergema di telinga Anda, meskipun Anda sudah mulai masuk ke nada sesudahnya. Dalam “saat” ini tidak ada batasan antara masa lalu atau masa depan. Jadi para Sufi tidak memandang individu sebagai korban nasib yang telah ditetapkan dan tidak dapat diubah, atau sebagai penentu nasib diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka mempertimbangkan adanya akal yang lebih tinggi yang, melalui suatu proses evolusi, jatuh-bangun, dan inovatif, tertanam di dalam diri manusia untuk secara kreatif membentuk dan membentuk-kembali kehidupan dalam serangkaian citra, pola, dan paradigma yang tak habis-habisnya.
Kekuatan transenden inilah yang oleh sebagian orang dinamakan Tuhan dan yang saya namakan juga “Alam Semesta,” yang mungkin merupakan kata yang akan digunakan pada milenium ini. Seperti tarikan kosmik yang mengerahkan kekuatannya sendiri atas manusia, Alam Semesta secara terus-menerus menantang kita untuk membebaskan diri dari pengkondisian masa lalu untuk berubah dan berkembang. Sebagaimana perubahan dan penyesuaian terus-menerus yang terjadi di tengah alam, yang telah berlangsung selama ribuan tahun – yang menghasilkan hutan hujan bagaikan hamparan zamrud, hewan-hewan eksotik, dan makhluk cerdas yang kompleks yag dinamakan manusia – kekuatan evolusi ini berfungsi layaknya magnet spiritual untuk menarik manusia keluar dari batasan-batasannya menuju dimensi-dimensi kesadaran dan tingkatan-tingkatan persepsi yang lebih jauh. Bahkan, tenaga penggerak untuk membentangkan celah dari masa lalu ke masa depan merupakan bagian dari proses yang telah berlangsung selama miliaran tahun dan masih tetap berlangsung hingga sekarang, yang dengan itu Alam Semesta terus membentuk debu-bintang menjadi manusia. Perencanaan alam Semesta dipengaruhi oleh peran serta manusia yang bebas dan kreatif; jadi tujuan manusia adalah menyadari pengaruh besar mereka pada penyingkapan penciptaan. Jika perubahan kuantum dalam kesadaran semacam itu benar-benar terjadi, itu akan mewakili kemenangan heroik atas determinisme – bukan atas alam, melainkan atas batasan-batasan pikiran kita sendiri yang mencegah kita untuk bekerja secara selaras dengan Alam Semesta. Evolusi kesadaran merupakan perbatasan akhir manusia, kebebasan tertinggi yang dicari manusia sejak awal masa. Jadi, tantangan itu tampaknya merupakan tantangan untuk mengatasi rasa takut akan wilayah tak dikenal yang ada di depan, dan menemukan keberanian serta optimisme untuk memerangi dimensi spiritual yang tersembunyi dalam hakikat kita. Sebab sifat intuitif dan menyerupai radar dan indera transenden inilah yang akan membantu membimbing kita melalui kegelapan wilayah yang tidak kita kenal – memerangi pikiran kita dan menyadarkan hati kita akan kegemilangan dari suatu kesadaran baru.
“Mereka yang berperan serta dalam evolusi Alam Semesta”: itulah frase yang bergema dengan penuh kemungkinan dan potensi. Sebab ini berarti menyadari bahwa masa depan bukan hanya menanti kejadian; sebaliknya, masa depan berarti mengambil bentuk di sini dan pada saat ini dalam sikap yang kita pegang, pilihan yang kita ambil, dan nilai yang kita hormati. Itu berarti menyadari sepenuhnya fakta bahwa manusialah yang menentukan kesempatan luar biasa dan sangat berharga untuk membentuk masa depan planet ini. Salah satu caranya adalah melalui kreativitas yang kita miliki berkat wahyu Ilahi – membayangkan dan meramalkan sebuah dunia yang berbeda dari dunia yang telah hilang sebelumnya. Ini bukan berarti meninggalkan semua yang telah dicapai manusia sampai saat ini. Sebaliknya, itu berarti dengan cermat menyaring masa lalu – melestarikan warisan dari peradaban-peradaban agung di zaman dahulu, dan sekaligus meningkatkan struktur sosial kita untuk menghindari jejak penderitaan akibat kejahatan yang menimpa korban-korban penindasan.
Ketegangan yang berlangsung antara kekuatan masa lalu dan tarikan masa depan dapat kita lihat dengan lebih jelas di zaman kita sekarang daripada zaman-zaman sebelumnya. Bukti adanya impuls positif yang bergerak ke depan menuju kebaikan, misalnya, tampak di mana-mana. Di bidang teknologi, perkembangan komunikasi dapat membantu membawa penduduk planet ini menjalin persatuan yang saling bergantung. Di bidang sosial, model-model pemecahan konflik yang baru terus diupayakan untuk membantu mencegah kekerasan, menekankan pentingnya kesadaran dalam mengatasi pertikaian pribadi akibat dorongan emosi. Di bidang psikologi, para terapis semakin banyak mempertimbangkan keadaan spiritual pasien mereka – kebutuhan akan sesuatu yang suci sebagai landasan penghargaan-diri, serta pengakuan akan adanya “anak tak berdosa” di dalam inti jiwa yang tidak tercemar oleh lingkungan sekelilingnya. Dan dibidang politik, sikap memaafkan dan rekonsiliasi telah memperkenalkan nada baru ke dalam kesukaan manusia untuk berbantah dalam perdebatan yang bertele-tele, mengoleskan salep penyembuh pada luka yang telah berabad-abad menganga, dan menawarkan harapan akan perdamaian.
Namun, kemajuan-kemajuan ini terus dibayangi oleh penyimpangan dalam nilai-nilai moral, serta kapasitas kearifan yang sangat kerdil. Kekurangan ini tercermin dalam wujud penyakit-penyakit sosial yang semakin bertambah; ledakan jumlah penduduk yang belum pernah terjadi sebelumnya di tengah menipisnya sumber-sumber alam yang berharga di bumi, hantu menakutkan berupa lenyapnya lahan dan spesies tanaman serta hewan, pertikaian agama dan etnis yang terus berlanjut, dan meluasnya kemiskinan serta kekerasan. Jadi, meskipun merupakan bagian dari perjuangan manusia untuk mengenyahkan kegelapan akibat penderitaan manusia melalui paradigma visioner dan pemecahan masalah, ia terus ditarik ke belakang ke masa lalu oleh kekuatan yang menentang etika spiritual global. Tampaknya, tugas yang menanti adalah menemukan cara untuk mengubah persepsi-persepsi yang terkungkung dalam kesempitan pikiran dan kepicikan menjadi pandangan yang lebih luas dan inklusif, yang harus dicetuskan di zaman kita sekarang ini.
Buku membangkitkan Kesadaran Spiritual; Sebuah Pengalaman Sufistik setebal 215 ini sangat menarik untuk dibaca, banyak hal menarik bisa kita pelajari di situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar