Diambil dari Buku berjudul “Riwayat Guang Ze Zun Wang” : Sang Dewa Pelindung Masyarakat Nan An
Pada masa dinasti Song, tahun 923 M, Propinsi Fujian, Kota Quanzhou di Kabupaten Nan An, Desa Shi San, dalam keluarga Guo pada tanggal 22 bulan 2 Imlek terlahirlah seorang putra yang diberi nama GUO ZHONG FU.
Ayahnya, GUO MING LIANG/Guo Lizhu (lahir tahun 899 M tanggal 9 bulan 2 Imlek) adalah seorang yang suci dan berbakti kepada orang tuanya, serta mencintai saudaranya, sikapnya terhadap orang miskin dan kaya sama. Guo Liang adalah seorang petani. Setiap hari sejak pagi-pagi buta sudah bekerja di sawah. Ayahnya juga suka pergi ke pegunungan yang pemandangannya indah. Namun walaupun sudah bekerja susah payah, tetap saja penghasilan yang diperoleh sedikit.
Ibu Zhong Fu bernama LIN SU NIANG, lahir pada tahun 904 M tanggal 4 bulan 9 Imlek. Lin Su Niang adalah seorang yang lemah lembut dan baik hati, hemat dan tidak pernah mengeluh, walaupun hidup tampaknya cukup berat baginya.
Guo Ming Liang dan Lin Su Niang menikah pada tahun 922 M. Ia mendapat wahyu ketika hamil dan ketika Zhong Fu dilahirkan, seluruh ruangan menjadi harum dan di sekelilingnya terasa hawa-hawa baik. Tubuh Zhong Fu tegap, kekar dan amat berbakti kepada orang tuanya. Kepandaian Zhong Fu juga melebihi anak-anak seusianya.
Tak disangka Guo Ming Liang ayahnya yang memang sering sakit-sakitan akhirnya meninggal pada umur 31 tahun (tahun 929 M tanggal 1 bulan 10 Imlek), yang pada saat itu Zhong Fu masih berumur 7 tahun. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang miskin, mereka tidak mempunyai biaya untuk membuat makam untuknya. Oleh karena itu mereka kemudian mengkremasi jasad Guo Ming Liang dan dimasukkan ke dalam sebuah periuk.
Zhong Fu kecil dalam bimbingan ibundanya yang baik hati, sejak usia dini telah memiliki sifat rendah hati, rajin bekerja dan berbudi luhur, terbukti dengan riang gembira pagi-pagi ia bekerja menggembalakan ternak yang dipercayakan kepadanya oleh Tuan Tanah YANG XINFU, tanpa pernah berbuat kesalahan. Oleh karena itulah Tuan Yang sangat menyukai Zhang Fu. Ibunya juga bekerja pada Tuan Yang sebagai pembantu yang bekerja menjahit, mencuci baju dan memasak. Namun setelah Zhong Fu dan ibunya bekerja pada Tuan Yang selama 3 tahun, tetap saja uang yang dihasilkan belum cukup untuk menguburkan abu Guo Ming Liang.
Sifat mulia yang dimiliki Zhong Fu kecil, sangat jelas terlihat waktu ia bekerja pada Tuan Yang di Chongsanli Jingu di distrik Anxi yang kaya raya, ia tidak pernah mengeluh dan gusar dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Setiap dombanya dibeli, keesokan harinya dombanya tidak berkurang jumlahnya, sehingga membuat rakyat desa menjadi kagum dan merasa aneh.
Zhang Fu juga sangat berbakti dan sayang kepada ibunya. Hal ini terlihat dari tindak tanduknya sehari-hari yang dilakukan oleh Zhong Fu yaitu Zhong Fu tidak mau makan sebelum ibunya makan, tidak pernah mengeluh ataupun mengomel.
Sering terlihat banyak anak-anak kecil yang bekerja sebagai gembala bermain dan bercanda bersama dengannya. Mereka sangat hati-hati menuntun domba-domba mereka untuk merumput dan mencegah agar domba-domba tersebut tidak merusak hasil panen.
Pada suatu hari, ada pertunjukan opera di desa. Zhong Fu ingin sekali menonton pertunjukan tersebut, namun di lain sisi ia harus membuat domba-dombanya untuk tetap dalam satu kelompok. Zhong Fu melingkari kumpulan domba-dombanya dan memberitahu mereka agar tidak keluar melewati batas lingkaran air kencingnya ketika dia pergi. Ketika dia kembali, ternyata memang domba-dombanya masih berada di dalam lingkaran tersebut. Kejadian ini semakin membuat rakyat desa menjadi kagum.
Zhong Fu sering bermain permainan dengan teman-temannya. Salah satu permainan favoritnya adalah bermain raja-rajaan dan bawahan di bukit dekat desa, dimana di sana hutannya sangat lebat. Di bukit itu terdapat semak belukar dan rotan yang membentuk pijakan dan dudukan. Zhong Fu berhasil mendaki sampai ke tempat yang paling tinggi dan duduk di sana, bermain menjadi seorang raja.
Di sana ia memerintahkan teman-temannya yang bermain sebagai bawahan untuk menyerukan “Semoga Kaisar Panjang Umur !”. Setelah itu ada anak-anak yang lain juga ingin menjadi raja, namun mereka selalu terjatuh ke bawah sebelum mencapai puncak bukit tersebut dan tidak dapat memanjat dan mendaki gunung tersebut setinggi Zhong Fu. Teman-temannya pun akhirnya menyatakan bahwa Zhong Fu memang ditakdirkan untuk menjadi raja.
Permainan lainnya adalah permainan perang-perangan. Zhong Fu menggunakan domba-dombanya sebagai prajuritnya dan dia sendiri bermain sebagai jenderal atau raja yang memimpin perang. Bersama domba-dombanya lari ke sana sini menyerang ke arah selatan ataupun utara. Oleh karena itu, Zhong Fu merasa bekerja sebagai gembala adalah hal yang sangat menyenangkan.
Di kemudian hari, ada seorang Ahli Geologi (Dili Dashi) tua dari Gan Zou yang diundang oleh Tuan Yang untuk mencari tanah dengan Feng Shui yang baik sebagai kuburan Tuan Yang nantinya ketika meninggal dikemudian hari. Namun sang Guru Geologi belum dapat menemukan tanah yang cocok, oleh karena itu untuk sementara ia tinggal di rumah Tuan Yang dan dikontrak selama 3 tahun. Segala ongkos makan dan minum ditanggung oleh keluarga Yang. Zhong Fu diberi tugas oleh majikannya untuk melayani Guru geologi tersebut, setiap pagi menyediakan air panas untuk mencuci muka, membersihkan tempat tidur setiap malam sebelum dan sesudah sang Guru tidur. Di samping itu, Zhong Fu masih tetap bekerja menggembalakan Domba.
Guru geologi tersebut juga mengajari anak-anak Tuan Yang. Ketika Zhong Fu melewati tempat sang guru mengajar, ia turut mendengar dan berusaha untuk menghafal apa yang diajarkan oleh sang Guru pada anak-anak Tuan Yang. Dengan cepat dia dapat menangkap apa yang diajarkan oleh sang Guru geologi. Begitu mengetahui hal tersebut, sang Guru kagum terhadap Zhong Fu dan menganggapnya sebagai anak yang kepandaiannya luar biasa dan sangat cerdik. Oleh karena itu dikala waktu luang, sang Guru geologi juga menyempatkan diri mengajari Zhong Fu ilmu pengetahuan, membaca dan menulis.
Pada mulanya, perawatan dan pelayanan yang meliputi makan, minum dan lain-lainnya dilakukan oleh keluarga Yang dengan sangat baik terhadap Guru geologi tersebut. sang Guru disambut dengan ramah, serba mewah, makan tiga kali sehari dengan berbagai macam menu lauk pauk yang enak-enak. Ketika sang Guru ingin bepergian, selalu disediakan tandu tersendiri untuknya. Zhong Fu melayaninya tanpa mengenal lelah dan bosan. Dia dapat menuruti segala kehendak Gurunya, serta pandai mengambil hati. Lama-lama sang Guru pun menganggapnya seperti keluarga sendiri. Setiap sang Guru makan, ia selalu tak lupa untuk memberi makan Zhong Fu. Makanan yang diberikan sang Guru kepada Zhong Fu, diberikan terlebih dahulu pada ibunya untuk dimakan.
Hari-hari terus berlalu dan sudah satu tahun lamanya, sang Guru geologi tinggal di rumah Tuan Yang. Lama kelamaan Tuan Yang menjadi bosan terhadap sang Guru. Karena Guru geologi tersebut tidak menunjukkan hasil yang diharapkan Tuan Yang untuk memperoleh tanah kuburan yang Feng Shuinya baik, sang Guru dianggap setiap hari pekerjaannya hanya jalan-jalan saja menghabiskan waktu tanpa ada hasil.
Sudah menjadi kebiasaan orang kaya yang selalu memikirkan keuntungan saja tanpa memikirkan perasaan orang lain. Segala sesuatu harus mendatangkan keuntungan, tidak mau mendapatkan kerugian biarpun dengan jalan apapun harus dia tempuh dengan uangnya. Tuan Yang dan istrinya memikirkan dan menghitung berapa saja biaya/uang yang dikeluarkan untuk sang guru secara cuma-cuma tanpa memperoleh hasil, karena sang Guru masih saja tidak pernah menyinggung soal tanah ber-Feng Shui bagus yang diinginkannya.
Tuan Yang dan istrinya khawatir kalau nantinya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk dua tahun ke depan, sedangkan sekarang saja biaya yang dikeluarkan sudah sangat banyak. Tuan Yang merasa menyesal bahwa dia mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan sang Guru. Selain itu Tuan Yang juga mencurigai sang Guru hanya mencoba mengulur waktu dan enak-enak saja tanpa berusaha mencari tanah yang Feng Shuinya bagus.
Akhirnya atas saran istrinya yang tidak rela memberikan makanan yang lezat pada sang Guru, Tuan Yang menyuruh pelayan dan juru masak untuk melayani sang Guru sekedar saja, tidak usah diberi berbagai macam menu makanan yang enak-enak. Padahal makanan di rumah Yang sangat banyak yang dibuang atau disia-siakan karena tidak habis.
Lama kelamaan perilaku Tuan Yang terhadap sang Guru makin menjadi-jadi. Ia sangat kasar, tidak ramah dan tidak menghormati lagi sang Guru. Melihat perubahan sifat Tuan Yang, sang Guru menjadi sangat kecewa. Dalam hatinya ia berkata, “Oh, andaikata kata orang seperti Tuan Yang diberi tanah yang ber-Feng Shui bagus, rejeki yang besar dan harta yang lebih, mungkin tindak tanduknya akan lebih menekan dan menindas orang yang menderita, serta tidak suka menolong sesamanya dikarenakan kesombongan dan kecongkakannya.”
Tahun kedua telah lewat, Tuan Yang Xinfu merayakan Tahun Baru dengan mewah dan meriah, tanpa menghiraukan sang Guru. Bahkan Tuan Yang sama sekali tidak memberikan makanan, kue atau minuman, selama merayakan Pesta Tahun Baru yang meriah itu. Sang Guru menjadi kecewa melihat sifat dan perilaku Tuan Yang terhadap dirinya. Akhirnya dalam diri sang Guru timbulah rasa kurang senang terhadap Tuan Yang.
Pada tahun ketiga, sang Guru akhirnya menemukan tanah yang Feng Shuinya bagus, namun timbul dalam pikiran sang Guru untuk tidak menyerahkan tanah tersebut pada Tuan Yang, mengingat segala sifat dan perilaku Tuan Yang. Sang Guru menjadi bimbang dan ragu-ragu, apa yang harus dijalankan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Pikirannya bercabang dihadapkan pada dua pilihan yaitu, kalau tanah tersebut diserahkan pada Tuan Yang, apa dia tidak berdosa, tapi kalau tidak diserahkan berarti selama ini dia menerima gaji buta. Artinya menerima gaji tanpa memberikan hasil pada orang yang memberi gaji. Sampai larut malam sang Guru geologi memikirkan hal tersebut, sampai tidak bisa tidur. Tiba-tiba Zhong Fu datang mengingatkan, “Guru, hari sudah larut malam, sudah semestinya Guru tidur.”
Waktu tiga tahun terasa sangat lama, segalanya berubah tetapi rasa-rasanya keadaan akan seperti ini saja. Makan yang diberikan oleh Tuan Yang juga masih tidak enak dan kurang bergizi, mengakibatkan sang Guru geologi jatuh sakit. Setelah diperiksa dan diketahui penyakitnya, maka untuk obatnya diperlukan daging domba.
Kebetulan ada seekor domba Tuan Yang yang terjatuh ke dalam septic tank dan mati. Istri Tuan Yang menyuruh Zhong Fu untuk mengambil domba tersebut dan dimasaknya sebagai campuran obat untuk sang Guru geologi. Sang Guru yang selama ini selalu diberi makanan yang tidak enak, begitu melihat daging domba, langsung makan dengan lahapnya. Ia berkata, “Sejak 2 tahun yang lalu aku berada di rumah ini, tidak pernah aku merasakan makanan yang enak di lidahku. Ketika aku sakit, kok baru hari ini mereka berbaik hati memberikan aku daging domba.”
Lalu Zhong Fu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Guru, domba ini mati tenggelam di septic tank. Tuan Yang tidak berani memakannya, tapi beliau merasa sayang membuangnya. Kemudian nyonya Yang menyuruh saya memberikan dan memasakkan domba itu pada Guru.” Sang Guru sangat terkejut mendengar perkataan Zhong Fu dan langsung memuntahkan kembali daging domba yang telah ia telan.
Sang Guru kemudian berkata, “Tuan Yang, kamu memang tidak punya rasa menerima dan berterima kasih, makanya kamu tidak punya hoki (rejeki) !” Kemudian Zhong Fu mengingatkan Gurunya, agar tidak memikirkannya lagi dan bahwa hari sudah larut malam, sebaiknya tidur saja, karena keadaan sang Guru juga belumlah baik.
Karena kejadian ini, sang Guru akhirnya sudah mempunyai pendirian yang tetap dan kedua tangannya memegang pundah Zhong Fu, sambil berkata, “Apakah ayahmu meninggal ketika kamu masih kecil, sehingga akhirnya engkau dan ibumu hidup miskin, bahkan engkaupun tak bisa sekolah ?” Zhong Fu menjawab apa adanya tentang dirinya, tanpa ditutup-tutupi, bahwa memang karena itulah ia bekerja pada Tuan Yang.
Sang Guru sangat tertarik pada Zhong Fu, sebab anak tersebut pandai, jujur, berbakti pada ibunya, selalu melayani sang Guru tanpa mengenal lelah dan tidak pernah mengeluh sedikitpun, meskipun pada siang hari ia harus bekerja mengembalakan domba. Sang Guru mengutarakan kepada Zhong Fu, bahwa saat ini dia sudah mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus, namun belum diberitahukan kepada Tuan Yang. Sang Guru tidak ingin memberitahukannya pada Tuan Yang, dikarenakan atas pertimbangannya, tidak selayaknya Tuan Yang memiliki tanah yang bagus tersebut, karena :
1. Waktu kontrak 3 tahun masih belumlah habis
2. Tanah Feng Shui yang baik, harus ditempati oleh orang yang bijaksana.
3. Sedangkan Tuan Yang dan istrinya, berdasarkan pengamatan selama 2 tahun terakhir mempunyai sifat yang tidak berperikemanusiaan, tamak, penuh dengki, jahat, kikir, kejam dan bengis.
Hal ini terlihat dari dombanya yang beribu-ribu jumlahnya, semuanya gemuk-gemuk, tetapi delapan orang gembalanya termasuk Zhong Fu kurus-kurus. Sawahnya beratus-ratus hektar, tetapi pegawai serta petani penggarap tanahnya sangat miskin, menderita, sengsara dan tenaganya diperas seperti kuda atau sapi yang harus bekerja siang malam tanpa memikirkan nasib mereka.
Memang pada waktu itu, banyak tuan tanah yang hidup mewah diatas penderitaan rakyat, tetapi tetap saja tidak ada tindakan dari penguasa setempat. Rumah dan kamarnya banyak, banyak sekali kosong, namun pelayan-pelayannya ditempatkan di barak-barak yang rusak dan kotor, termasuk tempat yang ditempati oleh Zhong Fu. Menurut Sang Guru, orang seperti Tuan Yang dan istrinya, tidak ada gunanya diberi rejeki dan kekayaan, karena dia tidak pernah menolong masyarakat yang menderita.
Sang Guru sudah memutuskan dan menetapkan bahwa tanah ber-Feng Shui bagus tersebut diserahkan kepada Zhong Fu saja. Ia menyuruh Zhong Fu untuk memberitahu ibunya, supaya bersiap-siap menyerahkan abu ayahnya, kepadanya. Zhong Fu lalau menjawab bahwa majikannya yang mendatangkan Guru dari jauh, membiayai dan menghabiskan uang banyak untuk mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus. Apabila tidak diserahkan pada majikannya Tuan Yang, bagaimana kemudian tanggung jawab sang Guru. Kalau Tuan Yang mengetahui bahwa dia yang mendapatkan tanah, apa kata Tuan Yang terhadapnya yang hanya seorang pesuruh dan pengembala domba.
Zhong FU menolak pemberian tersebut dengan alasan kalau dia tidak mempunyai jasa apa-apa terhadap sang Guru, dia juga menganggap bahwa dirinya tidak mempunyai rejeki untuk mendapatkan tanah tersebut dan tidak punya alasan yang kuat untuk menerima tanah tersebut, disamping itu berapa banyak uang yang harus dikorbankan untuk itu. Sedangkan dia seorang anak yang miskin, sehingga bagaimanapun tak akan sanggup membelinya. Setelah menerima jawaban dari Zhong Fu, sang Guru kecewa. Dia menghargai kejujuran hati Zhong Fu, tapi juga tidak ingin keinginannya ditolak oleh Zhong Fu.
Kemudian sang Guru yang bijaksana itu memberikan jawaban pada Zhong Fu, serta penjelasan bahwa dia masih anak-anak dan masih muda, sudah sewajarnya kalau dia tidak dapat menangkap makna dan tujuan yang sesungguhnya, biarpun diberi penjelasan. Maka sebaiknya Zhong Fu merundingkan dan mempertimbangkan dulu, mengenai masalah tanah ini dengan ibunya dan besok pembicaraan dilanjutkan.
Setelah Zhong Fu menemui ibunya dan menyampaikan maksud dan tujuan sang guru pada ibunya, ibunya menjadi terdiam sejenak, sambil berfikir tentang pemberian sang Guru tersebut. Dengan pelan-pelan sang ibu berkata bahwa sang Guru betul, tidak keliru, tetapi mereka dengan sang Guru tidak mempunyai hubungan apa-apa, bagaimana bisa menerima begitu saja masalah tanah.
Maka sang ibu memberi alasan penolakan halus, supaya tidak terlihat bahwa mereka menolak pemberian tersebut dengan alasan tidak ada penggantinya untuk jasa tersebut. Mendengar penolakan secara halus itu sang Guru merasa sangat kecewa sekali. Sambil menarik nafas panjang, ia mulai memikirkan alasan supaya Zhong Fu dan ibunya bersedia menerima pemberian tanah tersebut.
Dengan penuh wibawa, lantang serta bernada memaksa penuh kepastian, sang Guru sekali lagi menyampaikan maksud dantujuannya pada Zhong Fu. Bahwa sang Guru tidak menyerahkan tanah yang Feng Shuinya bagus tersebut kepada Tuan Yang, bukan lantaran Tuan Yang tidak menghormatinya, tetapi karena sang Guru tahu kalau Zhong Fu sangat berbakti kepada ibunya dan ayahnya yang telah meninggal.
Dengan keadaan tersebut sudah selayaknya membantu untuk memberi tanah yang bagus untuk menanam abu ayahnya. Kalau bukan sang Guru yang membantu, maka siapa lagi ? Maka sangat disayangkan kalau sekiranya ibu dan anak menolak maksud baik dari dia dengan alasan takut dan sebagainya. Kapan lagi dia akan menghormati ayahnya yang sudah meninggal tersebut, maka walau bagaimanapun dan apapaun alasan Zhong Fu menolak, sang Guru tetap memaksa.
Akhirnya Zhong Fu disuruhnya pulang untuk membicarakannya sekali lagi dengan ibunya, karena waktu habis masa kontrak dan selesainya perjanjiannya dengan Tuan Yang sudah semakin dekat. Setelah sampai di rumah, sekalai lagi Zhong Fu menyampaikan pesan sang Guru pada ibunya. Akhirnya, ibunya dapat menerima dan jawaban itupun segera disampaikan pada sang Guru.
Sang Guru sangat gembira sekali dan menyuruh Zhong Fu untuk menyiapkan segala yang diperlukannya, selanjutnya tinggal menunggu perintah dari sang Guru. Tanah yang dimaksud sebenarnya berada di kandang domba. Oleh karena itu domba-domba Tuan Yang tidak pernah berkurang jumlahnya. Mati satu, maka akan lahir satu. Tempat ber-Feng Shui bagus tersebut letaknya berada di tengah-tengah kandang, berupa tanah melingkar yang bersih, sama sekali tidak ada kotoran domba.
Malamnya, atas anjuran Gurunya, Zhong Fu memeriksa tanah tersebut. Ternyata memang benar ada tanah seperti yang dimaksud sang Guru. Tidak ada seorangpun yang tahu, kecuali dirinya dan sang Guru geologi.
lalu selang beberapa hari kemudian, sang Guru datang ke rumah Zhong Fu dan berkata, “Kelak, kau ingin menjadi kaisar yang hanya bertahta satu zaman atau menjadi seorang Dewa yang selalu dipuja orang selama ribuan tahun ?” “Aku ingin manjadi Dewa”, tanpa ragu Zhong Fu menjawab.
Sang Guru berkata lagi kepada Zhong Fu, “Bawalah abu ayahmu ke tempat di kandang domba tersebut, waktu hujan badai tiba, masukkan abunya ke dalam baskom air, kemudian serahkan padaku. Di sana aku akan berpura-pura memarahimu dan kamu harus menangis sekeras-kerasnya. Setelah itu tuangkan abu ayahmu ke tempat di dalam kandang domba tersebut. Abu itu dengan sendirinya akan terserap ke dalam tanah.”
Zhong Fu menuruti kata-kata Gurunya. Malam hari telah tiba dan memang benar ada hujan badai. Tepatnya sekitar jam dua malam ketika hujan badai masih belum reda, ia membawa abu ayahnya ke kandang domba tersebut. Bersama gurunya, Zhong Fu bekerja keras menghalau domba-domba untuk pergi dari tempat tersebut. Di sana, sesuai skenario, Gurunya memarahinya dan Zhong Fu pun menangis.
Waktu Zhong Fu menangis, segera dituangkanlah abu Guo Ming Liang ke dalam tanah yang Feng Shuinya bagus tersebut. Karena terdengar suara ribut-ribut di kandang, Tuan Yang datang menghampiri kandang domba dan bertanya pada sang Guru, apa yang terjadi. Sang Guru mengatakan, “Lihat ! Dia membawakan air sekotor ini kepadaku untuk cuci muka”, katanya sambil menunjuk ke tumpahan abu. Tuan Yang melihat hal tersebut, memukul Zhong Fu karena dianggap nakal. Tangisan Zhong Fu pun makin menjadi-jadi. Setelah itu, secara ajaib abu ayahnya terserap ke dalam tanah.
Keesokan harinya, sekelompok tawon tanah berbondong-bondong muncul dari tanah di kandang dan menghalau domba-domba, domba berlarian kesana kemari, takut disengat tawon. Akhirnya banyak domba-domba Tuan Yang mati disengat tawon-tawon tanah tersebut dan sebagian lainnya sudah kabur entah kemana. Suara-suara gaduh tawon dan domba-domba tersebut membangunkan para pelayan dan pesuruh Tuan Yang. Salah seorang pelayan melaporkan pada Tuan Yang, bahwa semua domba-dombanya sudah tidak ada, karena kabur atau telah mati disengat tawon.
Karena domba-domba tersebut semuanya sudah mati atau kabur, maka hilanglah sudah pekerjaan Zhong Fu. Sang ibu juga menyadari bahwa karena kejadian tersebut, maka Tuan Yang pun akan menghadapi kerugian yang luar biasa, maka sudah tentu tidak mampu lagi mempekerjakan dirinya. Dengan kata lain, mereka sudah kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, Zhong Fu dan ibunya dengan segera membereskan dan menata barang-barang mereka dan kemudian pindah ke tempat lain, untuk mencari pekerjaan dan tempat tinggal yang baru, demi menyambung hidup.
Pada saat hendak pergi, sang Guru memberitahu Zhong Fu dan ibunya, untuk pergi ke arah selatan dan sang Guru sendiri akan pergi ke arah utara. Sang Guru berpesan pada Zhong Fu dan ibunya, agar mereka berjalan terus ke arah selatan (versi lain mengatakan arah timur) dan kalau nanti melihat suatu keanehan-keanehan di suatu tempat, maka tempat itulah yang akan menjadi tempat tinggal yang baik buat mereka. Keanehan-keanehan tersebut antara lain :
1. Ikan Li di atas pohon
2. Lembu naik orang
3. Orang memakai topi kuningan
4. Air berubah menjadi merah
Perkataan sang Guru selalu diingat Zhong Fu dan ibunya. Segera merekpun pamit pada sang Guru geologi tersebut dan berjalan ke arah selatan. Sedangkan sang Guru pun bergegas ke arah utara. Kepergian mereka tampaknya tidak diketahui oleh Tuan Yang. Mereka sudah pergi sebelum ada siapapun yang menyadari.
Tak lama kemudian, para pelayan Tuan Yang mencari-cari mereka. Namun sudah terlambat, karena Zhong Fu dan ibunya telah pergi meninggalkan rumah mereka sebelum para pelayan tersebut sadar bahwa mereka telah hilang. Demikian juga dengan sang Guru geologi. Seorang pelayan wanita melaporkan hilangnya mereka pada Tuan Yang dan membawakan sepucuk surat yang ditinggalkan oleh sang Guru geologi di kamarnya.
Tuan Yang langsung meminta surat tersebut dan dilihat memang ditujukan padanya. Surat itu berisi pernyataan sang Guru kalau saat ini dia sudah pergi meninggalkan rumah Tuan Yang untuk selama-lamanya menuju ke utara dan tidak mungkin kembali lagi. Sang Guru sangat berterima kasih atas perlakuan Tuan Yang dan istrinya, yaitu jamuan yang dirasa terlalu berlebihan juga jamuan seekor domba yang masuk di septick tank yang disajikan kepadanya sebagai obat. Mungkin kita tidak sejalan dan tidak cocok bekerja sama dalam segala hal.
Setelah membaca surat tersebut, Tuan Yang merasa malu dan marah sekali terhadap sang Guru. Dia tidak menyadari tindakannya dan tindakan istrinya selama ini semena-mena sekali. Segera disuruhlah para pelayan untuk mengejar dan memburu sang Guru geologi beserta Zhong Fu dan ibunya. Namun semua sudah terlambat, karena ketiganya sudah pergi sangat jauh meninggalkan rumah Tuan Yang. Tuan Yang marah dan merasa tertipu dan dirugikan oleh mereka. Harapannya untuk mendapatkan tanah yang Feng Shuinya bagus ternyata sia-sia saja.
Demikianlah Zhong Fu dan ibunya terus berjalan ke arah selatan sesuai dengan petunjuk sang Guru. Siang dan malam mereka terus berjalan, berhenti sebentar apabila lelah. Lapar dan dahaga pun harus mereka tahan. Pada saat malam hari tiba, merekapun hanya dapat tidur di tempat-tempat alam terbuka. Nasib Zhong Fu dan ibunya sungguh menyedihkan.
Seluruh tubuh mereka sakit dan lelah, terutama kaki mereka bengkak-bengkak dan tubuh mereka tidak terurus lagi. Zhong Fu berkata pada ibunya, “Bu, kalau sudah tidak sanggup lagi berjalan, maka sebaiknya kita istirahat dulu dibawah pohon yang rindang di tepi jalan.” Sambil beristirahat, ibunya mengingat kata-kata sang Guru dan berkata, “Guru geologi orangnya pandai dan bijaksana, tetapi kata-katanya agak membingungkan orang lain.
Di dunia ini mana ada ikan yang berada di atas pohon, semua ikan pastilah berada dalam air. Lalu lembu menaiki orang, apa ada hal itu, umumnya oranglah yang menaiki lembu, kalau lembu menaiki orang, apa orangnya tidak mati terinjak lembu tersebut. Mana ada orang yang begitu bodoh sampai memakai topi kuningan yang sangat berat, demikian juga air berubah menjadi merah, hal-hal tersebut sangat aneh dan tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu lantas kita harus berhenti di mana nantinya ? Karena Guru berpesan bahwa kita baru boleh bertempat tinggal apabila kita sudah menemui hal-hal aneh tersebut.”
Zhong Fu membenarkan kata-kata ibunya. Namun Zhong Fu percaya apa yang dikatakan oleh sang Guru. Lalu Zhong Fu berusaha menghibur ibunya dengan kata-kata yang lembut untuk memberi semangat orang tuanya yang sangat disayanginya itu. Dia berkata bahwa Guru adalah seorang yang sakti, dapat mengetahui hal-hal yang akan datang maupun yang belum datang. Kalau memang ibunya tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan, maka dia sanggup untuk menggendong ibunya sampai di tempat tujuan yang sampai saat ini pun sayangnya belum diketahuinya.
Keesokan harinya, Zhong Fu bersama dengan ibunya memetik buah-buahan untuk dimakan. Mendadak langit berubah menjadi gelap, petir menyabar-nyambar disertai hujan yang sangat deras. Zhong Fu tidak dapat menggiring ternaknya pulang ia pun berteduh di bawah pohon yang besar, saat itulah dari arah tikungan ia melihat kejadian seperti yang telah dituturkan oleh sahabatnya, sang ahli geologi.
Tampak oleh ibunya, seseorang sedang duduk di tepi sungai untuk memancing ikan, karena tidak menduga bahwa hujan akan turun maka ia bingung mencari tempat untuk berteduh. Karena tergesa-gesa, dengan segera mata pancing yang dibawanya terangkat ke atas dan tersangkut di atas pohon dekat sungai. Dia tidak mengetahui bahwa ada ikan besar yang tersangkut pada pancingnya.
Ibunya lalu berteriak bahwa ada ikan di atas pohon dan Zhong Fu pun tanpa disadari juga berteriak seperti ibunya. lalu mereka juga melihat ada anak-anak pengembala lembu yang lewat, salah satu dari anak tersebut menerobos masuk di bawah perut lembu yang sedang berdiri karena takut kehujanan. Maka Zhong Fu dan ibunya sekali-lagi berteriak kaget bahwa ada lembu naik orang.
Bersamaan dengan itu, datanglah seorang pertapa, buru-buru menutup kepalanya dengan loyang kuningan yang lebar untuk menghindari air hujan yang turun dengan derasnya agar tidak membasahi kepalanya. Maka Zhong Fu dan ibunya menyadari bahwa kejadian ketiga sudah terjadi yaitu seorang memakai topi kuningan.
Dan karena hujan yang amat lebat, terjadi tanah longsor. Tanah longsong tersebut mengubah air rembesan hujan menjadi merah. Dengan demikian lengkaplah sudah kejadian-kejadian seperti yang dituturkan oleh sang ahli geologi. Oleh karena Zhong Fu dan ibunya sadar bahwa tempat inilah yang cocok bagi mereka untuk menetap. Namun anak dan ibu ini hanya punya sedikit uang, sehingga masih belum mampu untuk membangun rumah, mereka membutuhkan sebuah rumah untuk disewa.
Setelah hujan reda, Zhong Fu pergi ke seberang jalan. Di ujung jalan terlihat sebuah rumah, Zhong Fu kemudian menghampirinya. Lalu ada seorang anak yang menjaga lembu berkata, “Rumah tersebut baru selesai dibangun, namun karena sering diganggu hantu, pemilik rumahnya tidak berani untuk tinggal di rumah tersebut. Kalau kamu tidak takut, coba tanyalah kepada pemilik rumah tersebut.”
Zhong Fu dengan memukul dadanya berkata, “Oh, aku sih tidak takut hantu.” Lalu Zhong Fu bertanya siapa pemilik rumah tersebut. Ana itu menjawab bahwa pemiliknya bernama kakek Oien dan dia bekerja sebegai penggembala. Zhong Fu mengajak ibunya mendatangi rumah kakek Oien dan kebetulan di sana ada dua orang anak yang baru minum air di kolam.
Kemudian Zhong Fu bertanya siapakah pemilik rumah tersebut ? Dan anak tersebut menjawab kalau pemilik rumah itu adalah orang tuanya. Zhong Fu dan ibunya meminta anak tersebut untuk dapat diajak menemui kedua orang tuanya.
Setelah bertemu dengan kakek Oien, Zhong Fu dan ibunya bercerita mengapa mereka dapat sampai di tempat tersebut dan keinginan untuk menempati rumah kosong milik kakek Oien. Karena si kakek pemilik rumah berfikir bahwa rumah tersebut kosong dan tidak ada yang mengurus, maka ia menyetujui Zhong Fu dan ibunya untuk tinggal di rumah kosong tersebut.
Setelah beberapa saat mereka tinggal di rumah kosong tersebut, ternyata tidak terjadi apa-apa dan tidak pernah diganggu oleh hantu. Hantu-hantu tersebut tahu bahwa Zhong Fu akan menjadi seorang Dewa, oleh karenanya mereka lari ketakutan dan tidak berani mengganggu. Namun waktu terus berjalan dan uang gaji yang diberikan Tuan Yang sudah habis. Oleh karena itu Zhong Fu dan ibunya akhirnya bekerja mengambil kayu dan menggembala untuk bertahan hidup.
Sudah setengah tahun sejak mereka pertama kali mereka bekerja pada kakek Oien. Zhong Fu mempunyai banyak sahabat dan banyak anak-anak desa yang berteman dengannya. Hal ini disebabkan karena pada waktu luang, Zhong Fu mengajar anak-anak yang lain membaca, menulis dan pelajaran lain tentang berbagai pengetahuan.
Dengan sendirinya, orang tua mereka sangat senang dan berterima kasih pada Zhong Fu, karena anak-anak mereka menjadi maju dan pandai. Apalagi orang tua mereka memang tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya tersebut. Zhong Fu selalu menolong teman-temannya yang kesulitan dan orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Pada malam tanggal 15 bulan 8 Imlek, di langit sangat terang dan mencapai fase purnama. Zhong Fu naik ke atas sebatang pohon sambil melihat langit malam yang cerah. Zhong Fu sangat heran karena ia melihat ada satu bintang yang sangat besar dan terang. Lalu ia berfikir bahwa orang di dunia ini harus berhati bersih, terang dan jujur seperti terangnya bintang tersebut.
Seminggu sesudahnya, Zhong Fu pergi naik ke gunung bersama dengan anak-anak lainnya mengambil kayu. Zhong Fu kemudian melihat ada pohon yang sangat tinggi namun ranting-rantingnya kering. Zhong Fu kemudian berkata pada teman-temannya, “Aku akan naik ke atas untuk mengambil ranting-ranting pohon tersebut”. Teman-temannya yang usil, melihat pohon tersebut sangat tinggi dan sulit untuk dipanjat, mereka kemudian bertaruh, “Zhong Fu, kalau kamu berhasil memanjat ke sana, kayu-kayu yang kami dapatkan hari ini akan kami berikan semua kepadamu”.
Dengan gerakan lincah seperti monyet, Zhong Fu berhasil memanjat sampai ke tengah pohon, di mana ia melihat sebuah dudukan. Di sana ia merasa bahwa saatnya menjadi Dewa telah tiba. Kemudian dengan duduk bersila, Zhong Fu setengah memejamkan matanya, penampilannya saat itu mirip seperti seorang Dewa yang sedang bermeditasi.
Zhong Fu kemudian meminta pada teman-temannya untuk memberikan kayu-kayunya kepada sang ibu. Ia juga berkata pada teman-temannya untuk memanggil ibunya dan meminta ibunya untuk membawakan sebuah buku dan satu biji labu kuning. Waktu anak-anak mencari ibunya, saat itu ibunya sedang menuntun babi dan lembu.
Teman-temannya salah mendengar perkataan Zhong Fu dan mengatakan pada ibunya, bahwa Zhong Fu meminta babi dan lembu untuk dibawakan kepadanya. Ibunya merasa heran mendengar permintaan anaknya tersebut, namun ibunya yakin bahwa Zhong Fu adalah anak yang jujur, pasti ada alasannya sampai meminta hal-hal yang demikian. Ketika babi dan lembu hendak dibawa, ternyata si babi tidak mau menurut dan terus mondar mandir, lain dengan lembunya yang penurut. Pelu waktu lama untuk mengendalikan si babi.
Akhirnya bersama dengan lembu dan babi, ibunya datang ke tempat di mana Zhong Fu berada. Ketika itu Zhong Fu sudah kaku seperti patung dan tidak berkata satu kata pun. Wajahnya menjadi merah dan matanya menerawang. Melihat anaknya sudah seperti itu, ibu Zhong Fu langsung menagis. Ibunya ingat mimpinya pada tanggal 15 yang lalu, yang ternyata sekarang telah terwujud.
Menurut perintah Dewa, ibunya disuruh menggoyang-goyangkan kaki Zhong Fu. Langsung saja sang ibu memanjat pohon tersebut dan menarik sebelah kaki Zhong Fu ke bawah, sambil berkata, “Zhong Fu, bukalah matamu lebar-lebar, sehingga kamu dapat melihat jauh. Kalau kamu sudah menjadi Dewa, maka tolonglah segera orang-orang yang sengsara dan menderita. Sampai tiga kali kakinya digoyang-goyang oleh sang ibu.
Karena Zhong Fu adalah anak yang berbakti maka ia mengingat terus perkataan ibunya dan membuka matanya lebar-lebar seperti cahaya bintang di angkasa yang terang benderang. Oleh karena itu, apabila kita melihat rupang SHENG WANG, maka matanya sangat lebar dan sebelah kakinya turun ke bawah. Demikianlah pada tanggal 22 bulan 8 Imlek tahun 938 M, Zhong Fu menjadi seorang Dewa.
Tempat itu dinamai FEI FENG SHAN. Zhong Fu telah mencapai “Kesempurnaan” atau menjadi DEWA selagi umurnya masih 16 tahun. Sejak itu para penduduk memberikan segala penghormatan dan memuja Zhong Fu sebagai orang suci, dengan mendirikan Kelenteng (Jiang Jun Miao). Pada saat terjadi bencana alam, banyak penduduk melihat akan kemunculan Zhong Fu (terkadang mengendarai kuda putih) memberikan bantuan serta pertolongan bagi mereka yang tertimpa malapetaka, maka penduduk pun memberi gelar : “GUANG ZE ZUN WANG” yang berarti “Raja Mulia yang memberi berkah berlimpah” (Kwee Seng Ong).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar