Yang dianggap oleh umum sebagai aku, ego, roh atau atma ialah adanya satu inti yang kekal, tetap dan absolut yang merupakan substansi yang tak berubah ubah dibelakang "dunia yang terlihat ini" yang senantiasa dalam keadaan bergerak dan berubah. Menurut beberapa ajaran, setiap orang mempunyai roh demikian yang diciptakan oleh pencipta dan yang sesudah meninggal tetap hidup abadi, dalam surga atau dalam neraka, dan tujuan yang terakhirnya ditentukan oleh sang pencipta itu sendiri.
Menurut pendapat lain, ia berjalan melalui banyak kehidupan sampai menjadi bersih dan akhirnya bergabung kembali dengan pencipta atau brahma, roh yang universal atau atma, tempat asal ia diciptakan. Roh di dalam orang inilah yang menjadi pemikir dari pikiran, yang merasa melalui perasaan, yang menerima pahala atau hukuman untuk semua perbuatan perbuatannya, yang baik maupun yang buruk. Konsepsi ini dinamakan ide tentang adanya aku atau roh yang kekal abadi.
Dalam sejarah umat manusia, agama buddha merupakan satu satunya yang menyangkal adanya roh, aku atau atma yang kekal abadi. Menurut agama buddha, ide tentang adanya satu roh yang kekal abadi adalah khayalan belaka dan yang tidak mempunyai dasar kebenaran. Ia menciptakan pikiran yang sangat merugikan, yaitu tentang adanya aku dan "milikku'', keinginan yang mementingkan diri sendiri, kebencian, pikiran pikiran yang tidak baik, kesombongan, keangkuhan serta noda dan kekotoran batin lainnya. Ia merupakan sumber dari semua perselisihan dalam dunia, dari bentrokan bentrokan pribadi sampai kepada peperangan antar negara. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua kejahatan dapat dicari sumbernya pada pandangan yang salah ini.
Secara "psychologic" dua rupa pandangan berakar kuat dalam diri tiap manusia :
Pandangan tentang perlindungan diri ( self-protection )
Pandangan tentang kelangsungan hidup ( self-preservation )
Untuk melindungi dirinya, manusia lalu menciptakan kekuatan luar; kepadanya ia bergantung untuk mencari perlindungan, keselamatan dan keamanan, seperti seorang anak kecil bergantung dan mencari perlindungan kepada orang tuanya.
Untuk kelangsungan diri, manusia menggambarkan dalam pikirannya satu ide tentang adanya roh atau atma yang dapat hidup kekal abadi. Manusia memerlukan dua hal tersebut diatas untuk menghibur dirinya dan seterusnya ia melekat erat.
Agama buddha tidak menyokong kedua pandangan tersebut dan bertujuan untuk menolong manusia mencapai kesadaran agung dengan menyingkirkan dan menghancurkan sampai keakar akarnya dari pandangan tersebut.
Sang buddha menginsafi benar benar hal ini dan berkata bahwa ajaran beliau melawan arus ( patisotagami ) dan bertentangan dengan keinginan yang mementingkan diri sendiri dari seorang manusia.
Hanya empat minggu setelah beliau memperoleh kesadaran agung, ketika duduk dibawah pohon yang rindang, beliau berpikir sbb : "aku telah menyelami kesunyataan yang dalam sekali, sulit untuk dilihat, sulit untuk dimengerti ... Yang hanya dapat diselami oleh para bijaksana ...
Orang yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan diselubungi kegelapan batin tidak mungkin dapat melihat kesunyataan ini yang bertentangan sekali dengan pendapat orang banyak. Kesunyataan ini luhur sekali, dalam, halus dan sulit dimengerti."
Dengan adanya pikiran ini, sang buddha ragu ragu sesaat bahwa mungkin percuma saja untuk menyiarkan kesunyataan, yanv baru saja diselami ini, kepada khalayak ramai. Sesudah itu, beliau membandingkan dunia inj dengan sebuah kolam teratai. Dalam kolam seperti itu ada bunga yang masih berada dipermukaan air, ada bunga yang sudah mencapai permukaan air dan ada pula yang sudah berada diatas air dan sama sekali tidak tersentuh air.
Begitu pula keadaan dalam dunia ini, tempat hidup orang dengan beraneka ragam tingkatan dan pengetahuan. Beberapa diantara mereka dapat mengerti akan kesunyataan itu. Oleh sebab itu, sang buddha lalu mengambil keputusan menyiarkan ajarannya kepada dunia.
Doktrin anatta adalah akibat yang wajar atau kesimpulan yang dapat ditarik dari analisa lima kelompok kegemaran dan doktrin tentang hukum paticca-samupadda ( hukum sebab musabab yang saling bergantungan ).
Ketika membahas kesunyataan mulia pertama ( dukkha ) kita melihat bahwa yang dinamakan manusia itu terdiri dari lima kelompok kegemaran dan kalau kita menganalisa dan meneliti lebih jauh maka tidak terdapat sesuatu dibelakang mereka yang dapag disebut sebagai Aku, atma atau diri atau suatu substansi yang kekal abadi. Inilah pendekatan melalui cara analisa.
Hasil yang sama pula dapat dicapai melalui doktrin hukum sebab musabab yang saling bergantungan yang merupakan pendetakan dengan cara sintesa. Dengan cara inipun dapat kita mengambil kesimpulan bahwa tidak terdapat sesuatu didunia ini yang mutlak ( absolut ). Semuanya saling menjadikan, relatif dan saling bergantungan. Inilah paham buddhis tentang teori relativitas.
Sebelum kita membahas persoalan anatta ini secara mendalam, berguna juga kiranya untuk mendapat ide yang singkat tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan itu. Prinsip hukum ini dapat diberikan dalam empat formula pendek yang berbunyi :
Imasing sati idang hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu
Imassuppada idang uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu
Imasing asati idang na hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adanya itu
Imassa nirodha idang nirujjati
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling ketergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari dua belas nidana ( sebab musabab ).
Avijja paccaya sankhara
Dengan adanya kebodohan ( ketidak-tahuan ), maka terjadilah bentuk bentuk karma.
Sankhara paccaya vinnanang
Dengan adanya bentuk bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.
Vinnana paccaya namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah batin dan jasmani.
Namarupang paccaya salayatanang
Dengan adanya batin dan jasmani, maka terjadilah enam indera.
Salayatana paccaya phaso
Dengan adanya enam indera, maka terjadilah kesan kesan.
Phassa paccaya vedana
Dengan adanya kesan kesan, maka terjadilah perasaan.
Vedana paccaya tanha
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanha ( keinginan ).
Tanha paccaya upadanang
Dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan.
Upadana paccaya bhavo
Dengan adanya kemelekatan, terjadilah proses tumimbal lahir.
Bhava paccaya jati
Dengan adany proses tumimbal lahir, maka terjadilah kelahiran kembali.
Jati paccaya jaramaranang
Dengan adanya kelahiran kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian, keluh kesa, sakit dll.
Jara marana
Kelapukan, sakit, kematian dll, adalah akibat dari kelahiran kembali.
Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, kita akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhentinya kebodohan secara menyeluruh, maka terhenti pula bentuk bentuk karma, dengan terhentinya bentuk bentuk karma, maka terhentilah pula kesadaran; ... Dengan terhentinya kelahiran kembali, maka terhenti pula kelapukan, sakit dan kematian.
Untuk menghindari tafsiran yang membingungkan, maka disini hendak ditekankan bahwa terdapat dua macam kebenaran, yaitu :
Kebenaran konvensional ( sammuti sacca )
Kebenaran mutlak ( paramattha sacca )
Kalau kita memakai istilah dalam pembicaraan sehari hari seperti aku, kamu, makhluk atau orang dll, kita tidak berdusta bahwa tidak ada pribadi atau makhluk seperti itu, tetapi kita bicara benar menurut kebiasaan umum didunia ini. Tetapi menurut kebenaran mutlak tidaklah ada "Aku" atau "makhluk" dalam realitasnya.
"Satu orang dikatakan sebagai "ada" hanya sebagai sebutan belaka ( prajnapti - konvensional ), tetapi bukan dalam keadaan sebenarnya ( dravya )." mengesampingkan satu atma yang tidak dapat mati adalah satu kebiasaan yang khas dari semua ajaran utara dan selatan, dan karena itu tidak terdapat alasan untuk menarik kesimpulan bahwa tradisi agama buddha yang seluruhnya mencapai penyesuaian paham terhadap hal ini, menyimpang dari ajaran sang buddha yg asali.
Pada satu waktu orang menjadi gelisah jika berpikir bahwa kalau mereka menganut ajaran sang buddha, maka "aku" yang mereka khayalkan berada dalam dirinya akan hilang, berhubung dengan doktrin anatta yang diajarkan oleh sang buddha. Sang buddha pun sepenuhnya menginsyafi hal ini. Pernah seorang bhikkhu bertanya : "bhante, pernahkah terjadi bahwa orang akan merasa tersiksa apabila ia tidak lagi menemukan sesuatu yang kekal didalam dirinya ?"
Sang buddha menjawab : "ya, bhikkhu, memang ada. Seseorang mempunyai pandangan seperti berikut : alam semesta ini atma dan aku akan menjadi satu dengannya kalau aku meninggal dunia, kekal, abadi, tidak berubah dan aku akan hidup seperti itu untuk selama lamanya. Ia kemudian mendengar sang tathagata atau seorang siswanya mengkhotbahkan ajaran yang bertujuan untuk menghancurkan secara total semua pandangan yang di ragu ragukan itu dan bertujuan untuk memadamkan tanha, bertujuan untuk tidak melekat, terbebas dan nibbana. Setelah mendengarkan khotbah, orang itu berpikir : aku akan tidak ada lagi. Dengan demikian, ia menjadi sedih hatinya, kesal, meratap, menangis, memukuli dadanya dan menjadi kalap. Begitulah bhikkhu, memang pernah terjadi, bahwa orang merasa tersiksa kalau sesuatu yang kekal dalam dirinya tidak lagi ditemukan. ( majjhima nikaya 22: alagaddupama sutta ).
Banyak orang menggangap "aku" sama dengan "batin" atau "kesadaran" . tetapi sang buddha berkata bahwa lebih baik menggangap badan jasmani sebagai "aku" dari pada batin, pikiran atau kesadaran, sebab badan jasmani lebih padat ( dapat dilihat dan di sentuh ), sedangkan batin, pikiran, dan kesadaran ( citta, mamo, vinanna ) terus berubah dan dalam tempo lebih cepat dari badan jasmani.( samyutta nikaya xII : 62 )
Perasaan yang samar samar tentang "aku" sebenarnya yang menciptakan gambaran tentang adanya "diri" yang tidak sesuai dengan kenyataaan, melihat kenyataan ini dengan gamblang dan jelas berarti menyelami nibbana, dan hal ini memang tidak mudah.
Dalam samyutta nikaya terdapat satu diskusi antara seorang bhikkhu bernama khemaka dengan serombongan bhikkhu lain yang membahas persoalan ini secara mendalam.
Para bhikkhu itu bertanya khemaka, apakah ia melihat satu "diri" atau sesuatu yang berhubungan dengan "diri" didalam lima kelompok kegemaran. Khemaka menjawab : "tidak". Kemudian bhikkhu bhikkhu itu berkata, kalau begitu ia telah menjadi arahat, bebas dari kekotoran batin. Khemaka mengakui bahwa biarpun ia tidak menemukan satu "diri" atau sesuatu yang ada hubungan dengan "diri" ( attaniya ) didalam lima kelompok kegemaran, ia bukan seorang arahat yang terbebas dari semua kekotoran batin. O kawan kawan, mengenai lima kelompok kegemaran itu, akj masih merasakan adanya "diri" itu, meskipun aku tidak dapat melihat dengan jelas bahwa "inilah diriku".
Selanjutnya khemaka menerangkan bahwa apa yang ia namakan "sang aku" bukanlah materi, perasaan, pencerapan, bentuk bentuk pikiran atau kesadaran, atau sesuatu tanpa mereka itu. Tetapi ia merasakan "sang aku" ada hubungan dengan lima kelompok kegemaran, meskipun ia tidak melihat dengan jelas "inilah aku" .
Hal ini sama dengan bau harumnya sekuntum bunga. Itu bukan bau harum dari daun bunga, bukan dari warnanya, bukan dari putiknya, tetapi bau harum dari bunga secara keseluruhan.
Khemaka selanjutnya menerangkan bahwa sekalipun orang telah mencapai tingkat permulaan dari penyelaman nibbana, ia masih mempunyai perasaan tentang "sang aku". Tetapi, nanti, kalau ia sudah mendapat kemajuan lebih lanjut, perasaan "sang aku" itu akan lenyap seluruhnya; seperti juga bau sabun dari pakaian yang baru dicuci akan lenyap sesudah pakaian itu untuk beberapa waktu disimpan didalam lemari.
Diskusi ini berguna sekali dan memberi gambaran yang begitu jelas sehingga pada akhir diskusi mereka semua, termasuk khemaka, menjadi arahat, terbebas dari kekotoran batin dan akhirnya juga terlepas sama sekali dari perasaan tentang adanya "sang aku" itu.
Menurut sang buddha, berpegangan kepada anggapan bahwa "aku tidak mempunyai atma" ( yang dinamakan pemusnahan diri ) atau memegang anggapan tentang "aku mempunyai atma" ( yang dinamakan teori kelangsungan abadi ), kedua duanya salah karena kedua duanya merupakan belenggu yang timbul dari ide tentang adanya "sang aku" itu.
Pendirian yang benar mengenai anatta ialah jangan memegang anggapan atau pandangan apa pun juga, melainkan melihat benda benda secara obyektif dan menurut keadaan sebenarnya, tanpa proyeksi proyeksi mental melihat apa yang dinamakan "aku" atau "makhluk" sebagai paduan unsur unsur fisik dan mental, yang bekerja sama dan saling bergantungan satu arus dari perubahan perubahan dari saat kesaat didalam hukum sebab dan akibat; tidak ada sesuatu yang kekal, berlangsung terus, tidak berubah dan abadi didalam seluruh kehudupan.
Secara wajar dapat timbul pertanyaan. Kalau tidak ada atma atau diri, lalu siapakah yang menerima hasil karma? Tidak ada orang lain yang dapat menjawab pertanyaan ini lebih baik dari sang buddha sendiri. Waktu pertanyaan itu diajukan oleh seorang bhikkhu, sang buddha menjawab: "aku mengajar, o bhikkhu, untuk melihat keadaan yang saling bergantungan dimana mana dan dalam semua benda."
Ajaran sang buddha tentang anatta, tanpa roh, tanpa aku, hendaklah jangan dianggap negatif atau sebagai pemusnahan diri. Seperti juga nibbana ia adalah kebenaran sejati, kesunyataan dan kesunyataan tak mungkin negatif. Ajaran tentang anatta menyingkirkan kegelapan dari suatu percayaan dan menghasilkan kebijaksanaan. Ia bukan negatif, seperti juga ayasma asanga secara singkat berkata : "anatta merupakan satu fakta" ( nairatmyastita ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar