Kamis, 19 November 2015

Kisah Devahita, Seorang Brahmana

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menderita penyakit ringan pada lambung perut dan ia menyuruh Upavana Thera untuk mencari air panas dari Devahita, sang brahmana.

Sang brahmana sangat senang karena mempunyai kesempatan yang sangat langka untuk memberikan sesuatu kepada Sang Buddha. Maka sebagai tambahan dari sekedar air panas, ia memberi sirup gula kepada sang thera untuk Sang Buddha.

Di vihara, Upavana Thera memberikan air hangat untuk mandi kepada Sang Buddha. Setelah mandi ia memberi Sang Buddha campuran sirup gula dan air hangat. Setelah minum campuran tersebut Beliau segera merasa lega.

Sang brahmana kemudian datang dan bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante! Pemberian yang dilakukan kepada siapa yang memberikan manfaat terbesar bagi seseorang?"

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Brahmana! Suatu pemberian yang dilakukan kepada seseorang yang telah meninggalkan semua kejahatan adalah yang paling bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 423 berikut :

Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang lampau, yang dapat melihat keadaan surga dan neraka, yang telah mencapai akhir kelahiran, telah mencapai kesempurnaan pandangan terang, suci, murni, dan sempurna kebijaksanaannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, brahmana menjadi teguh keyakinannya terhadap 'Sang Tiga Permata' (Buddha, Dhamma dan Sangha), dan menjadi pengikut awam Sang Buddha yang berbakti.

Kisah Angulimala

Pada suatu kesempatan, Raja Pasenadi dan Ratu Mallika memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu yang berjumlah lima ratus, dalam ujud suatu pemberian yang tidak dapat dilampaui oleh siapapun juga. Pada saat upacara berlangsung, setiap bhikkhu didampingi oleh seekor gajah yang memegang payung putih yang menutupi kepala bhikkhu tersebut dari sinar matahari. Namun demikian, mereka hanya mendapatkan empat ratus sembilan puluh sembilan gajah yang terlatih, sehingga mereka harus menggunakan seekor gajah yang tidak terlatih, dan gajah tersebut ditempatkan untuk memegang payung dekat Angulimala Thera. Setiap orang takut bahwa gajah yang belum terlatih itu mungkin menyebabkan kerusuhan, tetapi ketika dibawa dekat Angulimala Thera, ia menjadi jinak.

Berkaitan dengan kejadian ini para bhikkhu kemudian bertanya kepada Angulimala apakah ia tidak merasa takut atau tidak. Kepada pertanyaan ini Angulimala menjawab bahwa ia tidak merasa takut. Para bhikkhu kemudian menemui Sang Buddha dan berkata bahwa Angulimala Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesuican arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Adalah cukup jelas bahwa Angulimala tidak takut, mereka yang seperti dirinya juga tidak takut."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 422 berikut :

Ia yang mulia, agung, pahlawan, pertapa agung (mahesi), penakluk, orang tanpa nafsu, murni, telah mencapai penerangan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Dhammadinna Theri

Suatu ketika, ada seorang pengikut awam Sang Buddha bernama visakha di Rajagaha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha berulang-ulang, Visakha mencapai tingkat kesucian anagami dan ia berkata kepada istrinya, "Terimalah semua hartaku; sejak hari ini aku tidak akan campur tangan apapun dalam urusan keluarga."

Istrinya, Dhammadinna, menjawab, "Siapa yang akan menelan air ludah yang telah engkau buang." Kemudian ia minta izin darinya untuk masuk dalam pasamuan dan menjadi seorang bhikkhuni. Setelah menjadi seorang bhikkhuni ia pergi ke sebuah vihara di suatu desa kecil bersama para bhikkhuni lain untuk melatih meditasi. Dalam waktu yang singkat, ia mencapai tingkat kesucian arahat dan kembali ke Rajagaha.

Visakha, setelah mendengar bahwa Dhammadinna telah kembali, pergi menemuinya dan bertanya kepadanya beberapa pertanyaan. Ketika Visakha bertanya kepadanya tentang tiga magga yang pertama; ia memberi jawaban kepadanya. Tetapi ketika Visakha memberikan pertanyaan kepadanya tentang 'Jalan' (magga) dan 'Hasil' (phala) arahat, ia berkata, "O pengikut awam! Masalah ini di luar batas kemampuan pengertianmu; jika engkau ingin tahu, engkau boleh pergi, dan bertanya kepada Sang Buddha."

Ketika Visakha bertanya kepada Sang Buddha, Sang Buddha berkata, "Dhammadinna telah menjawab pertanyaanmu. Jika engkau bertanya kepada-Ku, Aku akan memberikan jawaban yang sama." Setelah berkata demikian, Sang Buddha menegaskan kenyataan bahwa Dhammadinna telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 421 berikut :

Orang yang tidak lagi terikat pada apa yang telah lampau, apa yang sekarang maupun yang akan datang, yang tidak memegang ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Vangisa Thera

Suatu ketika, di Rajagaha, terdapat seorang brahmana bernama Vangisa, yang dengan cara sederhana mengetuk-ngetuk tengkorak mayat seseorang yang telah meninggal dunia, dapat memberitahukan apakah orang tersebut lahir di alam dewa, atau di alam manusia, atau dalam salah satu dari empat alam rendah (apaya). Para brahmana membawa Vangisa menuju banyak desa dan orang-orang berkumpul karenanya dan membayarnya sepuluh, dua puluh, atau seratus untuk mencari informasi dimanakah saudaranya yang meninggal dunia dilahirkan kembali.

Pada suatu kesempatan, Vangisa dan kelompoknya datang ke suatu tempat yang tidak jauh dari Vihara Jetavana. Melihat beberapa orang datang menemui Sang Buddha, para brahmana mengundang mereka untuk datang menemui Vangisa yang dapat memberitahu mereka di mana saudara mereka yang sudah meninggal dunia dilahirkan kembali.

Tetapi para pengikut Sang Buddha berkata kepada mereka, "Guru kami adalah satu-satunya yang tanpa saingan, Ia adalah satu-satunya Yang Telah Mencapai Pencerahan."

Para brahmana mendengar perkataan seperti itu menganggap sebagai suatu tantangan dan membawa Vangisa menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha.

Sang Buddha, karena mengetahui maksud mereka, memerintahkan para bhikkhu untuk membawa tengkorak dari seseorang yang terlahir di niraya (alam neraka), dari seseorang yang terlahir di alam binatang, dari seseorang yang terlahir di alam manusia, dari seseorang yang terlahir di alam dewa dan juga dari seorang arahat. Kelima tengkorak tersebut diletakkan berurutan.

Kepada Vangisa diperlihatkan tengkorak-tengkorak itu. Ia dapat memberitahukan di mana pemilik dari empat tengkorak yang pertama itu dilahirkan; tetapi ketika ia menuju pada tengkorak dari seorang arahat, ia kehilangan jejak.

Kemudian Sang Buddha berkata, "Vangisa, tidakkah engkau tahu ? Aku tahu di mana pemilik tengkorak ini berada." Vangisa kemudian meminta Sang Buddha untuk memberi mantra gaib yang harus diketahuinya; tetapi Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya dapat diberikan kepada seorang bhikkhu. Vangisa kemudian memberitahu para brahmana untuk menunggu di luar vihara sementara ia mendapat pelajaran mantra tersebut. Kemudian, Vangisa menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, seperti yang dianjurkan Sang Buddha, ia merenungkan tiga puluh dua unsur pokok dari tubuh. Vangisa dengan tekun melatih meditasi seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha dan mencapai tingkat kesucian arahat pada waktu yang singkat.

Ketika para brahmana yang sedang menunggu di luar vihara datang untuk bertanya kepada Vangisa apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Vangisa menjawab, "Kalian semua lebih baik pergi sekarang; karena bagiku, aku seharusnya tidak lagi pergi bersama kalian."

Para bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir ia sedang mengatakan yang tidak sesungguhnya, sehingga mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Vangisa dengan cara seperti itu ingin menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Vangisa benar-benar mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 419 dan 420 berikut ini :

Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai Penerangan Sempurna, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para dewa, gandarwa, maupun manusia, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan telah mencapai kesucian (arahat), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Nataputtaka Thera

[Kisah nomor (33) dan (34) bab ini mempunyai syair sama]

Jotika adalah seorang hartawan yang terkenal dari Rajagaha. Ia tinggal di rumah besar yang megah bertingkat tujuh. Terdapat tujuh buah tembok yang mengelilingi rumah besarnya, masing-masing mempunyai pintu masuk yang dijaga oleh setan angkasa. Ketenaran kekayaannya menyebar jauh dan luas, dan banyak orang datang untuk melihat rumah besarnya.

Pada suatu kesempatan, Raja Bimbisara datang mengunjungi Jotika. Ia juga membawa anaknya, Ajatasattu, bersamanya. Ajatasattu, setelah melihat kemegahan rumah besar Jotika, berjanji bahwa ia tidak akan memperbolehkan Jotika untuk tinggal di rumah besar yang bagus sekali seperti ini kalau kelak ia menjadi Raja. Pada saat keberangkatan Raja dari rumahnya, Jotika memberi kenang-kenangan kepada Raja berupa sebuah batu delima besar yang tak ternilai harganya. Ini adalah kebiasaan Jotika untuk memberi hadiah kepada semua pengunjung yang datang untuk menemuinya.

Ketika Ajatasattu naik tahta, setelah membunuh ayahnya, ia datang dengan tentaranya untuk mengambil rumah besar milik Jotika dengan paksa. Tetapi karena semua gerbang dikawal ketat oleh para setan angkasa, Ajatasattu dan para pasukannya harus menarik diri.

Ajatasattu melarikan diri ke Vihara Veluvana dan menemukan Jotika sedang mendengarkan khotbah yang diberikan oleh Sang Buddha. Melihat Jotika yang berada pada kaki Sang Buddha, Ajatasattu berseru, "Setelah membuat pengawalmu bertarung melawanku, engkau sekarang berpura-pura untuk mendengarkan khotbah!"

Jotika menyadari bahwa raja telah pergi untuk mengambil alih tempatnya dengan paksa dan ia telah dipaksa untuk mundur.

Pada salah satu kelahirannya yang terdahulu, Jotika telah membuat hasrat yang sungguh-sungguh bahwa harta miliknya tidak boleh diambil darinya berlawanan dengan kehendaknya, dan kehendak ini telah dipenuhi. Jadi Jotika berkata kepada Raja Ajatasattu, 'O, Raja! Harta milikku tidak dapat diambil berlawanan dengan kehendakku."

Setelah berkata seperti ini, ia mengulurkan kesepuluh jari tangannya dan meminta sang Raja untuk mengambil dua puluh cincin yang sedang dipakainya pada jari-jari tangannya. Sang Raja berusaha keras untuk mengambilnya tetapi ia tidak berhasil. Kemudian Jotika menyuruh sang Raja untuk membentangkan selembar kain, dan ketika Jotika menaruh jari-jarinya pada kain tersebut, semua cincinnya dengan mudah terlepaskan.

Setelah memberikan semua cincinnya kepada Raja Ajatasattu, Jotika memohon kepada Sang Buddha supaya ia diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Segera setelah memasuki pasamuan, Jotika mencapai tingkat kesucian arahat.

Suatu hari, ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepadanya apakah ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan yang tersisa pada dirinya, kepada rumah besarnya, kekayaannya, dan istrinya? Ia menjawab bahwa ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan pada semuanya itu. Para bhikkhu kemudian pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante! Jotika Thera menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat; ia berkata tidak benar."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Jotika berbicara yang sebenarnya; ia tidak lagi mempunyai nafsu keinginan di dalam dirinya. Ia sekarang adalah seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 417 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Jatila Thera

Segera setelah Buddha Kassapa mangkat (parinibbana), seorang arahat thera pergi berkeliling untuk mencari dana bagi pembangunan stupa emas dimana nantinya relik Buddha Kassapa akan diabadikan.

Sang thera datang ke rumah seorang pandai emas ketika pandai emas dan istrnya sedang dalam pertengkaran yang sengit. Si pandai emas tersebut berteriak kepada sang thera, "Kau sebaiknya melemparkan stupamu itu ke dalam air dan segera pergi."

Istrinya kemudian berkata kepada sang pandai emas, "Jika engkau marah kepadaku engkau seharusnya hanya boleh memakiku saja, engkau bahkan boleh memukulku jika engkau suka, tetapi mengapa engkau harus memaki Sang Buddha dan sang thera ? Tentu saja, engkau telah melakukan kesalahan yang menyedihkan !"

Mendengar kata-kata istrinya, sang pandai emas menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuatnya dan ingin menebus kesalahan itu. Maka ia membuat bunga-bunga emas, meletakkannya ke dalam tiga pot emas dan memberikannya untuk diletakkan pada kamar relik stupa Buddha Kassapa.

Pada kelahirannya yang sekarang, ia dikandung di dalam rahim anak perempuan dari seorang hartawan yang telah mempunyai hubungan cinta gelap. Ketika anak itu dilahirkan, ia meletakkannya ke dalam pot dan mengapungkannya ke dalam aliran sungai.

Seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai melihat anak di dalam pot tersebut dan membawanya bersamanya. Ia mengadopsi anak itu dan memberi nama Jatila. Karena nasihat dari salah seorang thera, wanita tersebut menyuruh Jatila pergi ke Taxila di mana ia akan mendapatkan pendidikan. Ketika Jatila berada di Taxila, sang thera mengaturnya untuk tinggal di rumah seorang pedagang yang merupakan muridnya. Setelah beberapa lama, Jatila menikah dengan anak perempuan dari pedagang tersebut. Segera setelah menikah, segundukan emas diberikan di halaman belakang dari rumah yang baru saja dibangun untuk pasangan ini. Lahirlah tiga anak dari pernikahan ini. Setelah itu, Jatila memasuki pasamuan bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat.

Pada suatu kesempatan, saat Sang Buddha pergi untuk berpindapatta bersama dengan lima ratus bhikkhu termasuk Jatila, mereka datang ke rumah dari anak-anak Jatila. Anak-anaknya memberi dana makanan kepada Sang Buddha dan para pengikutnya selama lima belas hari.

Beberapa waktu setelah kejadian itu, para bhikkhu bertanya kepada Jatila apakah ia masih melekat kepada segundukan emas mliknya dan anak-anaknya, dan ia menjawab, bahwa ia tidak lagi mempunyai kemelekatan pada mereka. Para bhikkhu kemudian berkata kepada Sang Buddha, bahwa Jatila dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Jatila telah membuang nafsu keinginan dan kesombongan; ia telah benar-benar mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 416 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Sundarasamudda Thera

Sundarasamudda adalah anak dari seorang hartawan dari Savatthi. Setelah memasuki pasamuan bhikkhu, ia pergi ke Rajagaha, yang empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi, untuk berlatih meditasi.

Suatu hari, ketika beberapa perayaan sedang berlangsung di Savatthi, ayah Sundarasamudda merasa sangat kehilangan putranya. Mereka juga merasa kasihan pada putranya yang kehilangan semua kesenangan. Memikirkan hal itu mereka menangis. Ketika mereka sedang menangis, seorang pelacur datang pada mereka, dan menanyakan apa duduk persoalannya.

Setelah mendengar apa yang terjadi pada anak mereka, pelacur itu berkata, "Jika aku dapat membuat anakmu meninggalkan pasamuan dan kembali hidup sebagai orang biasa bagaimana engkau akan menghargaiku ?" Orang tua tersebut menjawab bahwa mereka akan membuatnya kaya raya. Pelacur tersebut kemudian meminta sejumlah besar uang dan pergi ke Rajagaha dengan sejumlah pengikutnya.

Di Rajagaha, ia menyewa sebuah rumah bertingkat tujuh pada rute jalan di mana Sundarasamudda berpindapatta. Ia menyiapkan makanan yang baik dan menunggunya. Pada beberapa hari pertama, ia memberikan dana makanan kepada Sundarasamudda di pintu rumahnya. Kemudian, ia mengundangnya untuk masuk ke dalam rumah. Ia memberi uang kepada beberapa anak untuk datang dan bermain di luar rumah pada saat kira-kira Sundarasamudda biasanya datang untuk menerima dana makanan.

Hal ini membuat keadaan tidak nyaman bagi Sundarasamudda menerima dana makanan karena halaman kotor dan berisik, sehingga ia mengundang Sundarasamudda untuk naik ke lantai atas dan menerima dana makanan di sana. Sang thera mengikutinya naik, dan segera setelah memasuki ruangan tersebut, sang pelacur menutup pintu. Kemudian ia mulai menggoda Sundarasamudda. Ia berkata kepada, "Yang Mulia! Marilah menjadi suamiku yang awet muda dan kuat, dan aku akan menjadi istrimu yang paling tercinta. Setelah kehidupan perkimpoian kita yang panjang dan bahagia kita berdua dapat meninggalkannya untuk masuk dalam pasamuan dan berjuang sekuat tenaga untuk mencapai nibbana."

Ketika mendengar kata-kata itu, Sundarasamudda tiba-tiba menyadari kekeliruannya dan terkejut. Kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, "Sungguh, karena kelalaian dan kurangnya perhatian aku telah membuat satu kekeliruan besar."

Pada saat itu, Sang Buddha memperhatikan dari kuti harum Beliau, apa yang sedang terjadi pada Sundarasamudda di Rajagaha. Ia memanggil Y.A. Ananda, dan berkata, "Ananda! Pada lantai atas sebuah rumah bertingkat di Rajagaha, sekarang sedang terjadi perlawanan antara Sundarasamudda dan seorang pelacur, tapi pada akhirnya Sundarasamudda yang akan menjadi pemenangnya." Setelah mengatakan hal ini kepada Ananda, Sang Buddha mengirimkan sinar kesucian kepada Sundarasamudda dan membuatnya merasakan kehadiran Beliau. Lalu Beliau berkata, "Murid-Ku! Putuskanlah dan buanglah rasa cinta terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan nafsu keinginan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 415 berikut :

Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Pada akhir khotbah ini Sundarasamudda mencapai tingkat kesucian arahat dan dengan kemampuan batin luar biasanya ia menerobos atap rumah menuju angkasa, pergi menemui Sang Buddha.

Kisah Sivali Thera

Putri Suppavasa dari Kundakoliya sedang hamil selama tujuh tahun dan kemudian selama tujuh hari ia mengalami kesakitan pada saat melahirkan anaknya. Ia terus merenungkan sifat-sifat khusus Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Ia menyuruh suaminya pergi menemui Sang Buddha untuk memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan demi kepentingannya dan untuk memberitahu Beliau tentang keadaannya.

Ketika diberitahu mengenai keadaan putri tersebut, Sang Buddha berkata, "Semoga Suppavasa bebas dari bahaya dan penderitaan; semoga ia melahirkan anak yang sehat dan mulia dengan selamat." Ketika kata-kata ini sedang diucapkan, Suppavasa melahirkan anak di rumahnya. Pada hari itu juga, segera setelah kelahiran anak tersebut, Sang Buddha beserta beberapa bhikkhu diundang untuk datang ke rumahnya. Dana makanan diberikan di sana dan bayi yang baru saja lahir memberikan air sudah disaring kepada Sang Buddha dan para bhikkhu.

Untuk merayakan kelahiran bayi tersebut, orang tuanya mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumah mereka untuk memberikan dana makanan selama tujuh hari.

Ketika anaknya tumbuh dewasa, ia diterima dalam pasamuan dan sebagai bhikkhu ia dikenal dengan nama Sivali. Ia mencapai tingkat kesucian arahat segera setelah kepalanya dicukur. Kemudian, ia menjadi terkenal sebagai seorang bhikkhu yang dengan mudah selalu menerima pemberian berjumlah besar. Sebagai bhikkhu penerima dana, ia tidak terbandingkan.

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Sivali, dengan memiliki bekal menjadi seorang arahat, dilahirkan di dalam rahim ibunya selama tujuh tahun.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Dalam salah satu kelahirannya yang terdahulu, Sivali adalah anak dari raja yang kehilangan kerajaannya karena direbut oleh raja lain. Dalam usahanya untuk memperoleh kembali kerajaan mereka, ia (Sivali) telah mengepung kota kerajaan atas nasihat ibunya. Sebagai akibatnya, orang-orang di dalam kota itu kehabisan makanan dan air selama tujuh hari. Karena perbuatan jahat itulah, maka Sivali terkurung dalam rahim ibunya selama tujuh tahun. Tetapi sekarang, Sivali telah sampai pada akhir dari semua dukkha/ penderitaan; ia telah merealisasi nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 414 berikut :

Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai 'Pantai Seberang' (nibbana); yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apapun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Candabha Thera

Candabha Thera, dalam salah satu kehidupannya terdahulu, membuat persembahan kayu cendana kepada sebuah stupa di mana relik Buddha Kassapa diabadikan. Karena perbuatan baik ini, ia dilahirkan kembali dalam keluarga brahmana di Savatthi. Ia dilahirkan dengan tanda yang istimewa, yaitu sebuah lingkaran cahaya yang memancar dari sekitar pusarnya. Karena lingkaran cahaya ini menyerupai bulan ia dikenal sebagai Candabha. Beberapa brahmana, mengambil keuntungan dari keistimewaan yang jarang terjadi ini, memasukkannya ke dalam kereta dan membawanya keliling kota untuk pertunjukan dan hanya orang yang membayar seratus atau seribu yang boleh menyentuhnya. Pada suatu kesempatan, mereka berhenti pada suatu tempat antara kota dan Vihara Jetavana.

Kepada para pengikut Sang Buddha yang sedang berjalan ke Vihara Jetavana, mereka berkata, "Apa gunanya engkau pergi menemui Sang Buddha dan mendengarkan khotbah Beliau ? Tidak ada seorang pun yang sehebat Candabha. Seseorang yang menyentuhnya akan menjadi kaya; mengapa engkau tidak datang dan melihatnya ?" Para pengikut itu kemudian berkata kepada para brahmana, "Hanya guru kami yang hebat; ia tidak tersaingi dan tiada bandingnya."

Kemudian para brahmana membawa Candabha menuju Vihara Jetavana untuk bertanding dengan Sang Buddha. Tetapi ketika Candabha sedang bersama Sang Buddha, cincin cahaya itu hilang dengan sendirinya. Ketika Candabha dibawa jauh hilang dari pandangan Sang Buddha, cincin cahaya itu kembali lagi secara otomatis; cahaya itu hilang lagi ketika ia dibawa kembali ke hadapan Sang Buddha.

Candabha kemudian meminta Sang Buddha untuk memberinya mantra (kata-kata bermakna) yang akan membuat cincin cahaya itu hilang dari pusarnya. Sang Buddha memberitahu bahwa mantra tersebut hanya akan diberikan kepada anggota pasamuan. Candabha memberitahu para brahmana bahwa ia akan mendapatkan mantra dari Sang Buddha dan setelah menguasai mantra tersebut ia akan menjadi manusia terbesar di seluruh Jambudipa. Sehingga para brahmana tersebut menunggu di luar vihara.

Dalam hal itu, Candabha menjadi seorang bhikkhu. Ia diperintahkan untuk merenungkan tubuh, yaitu untuk menggambarkan betapa menjijikkannya dan kotornya tubuh ini terdiri dari tigapuluh dua unsur pokok tubuh. Dalam beberapa hari, Candabha mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika para brahmana yang menunggu di luar vihara datang untuk menanyakan apakah ia telah mendapatkan mantra tersebut, Candabha menjawab, "Engkau sebaiknya pulang kembali sekarang; karena aku tidak lagi berada pada pihak yang akan pergi bersamamu." Para bhikkhu, yang mendengarnya, pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Candabha dengan cara seperti itu menegaskan bahwa ia telah menjadi seorang arahat."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Candabha mengatakan yang sebenarnya; ia telah memusnahkan semua kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 413 berikut :

Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Samanera Revata

Suatu hari, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "Revata mendapatkan banyak pemberian dari umat, ia menjadi terkenal dan beruntung. Meskipun demikian ia tinggal sendirian di hutan, melalui kemampuan batin luar biasa ia sekarang telah membangun lima ratus vihara untuk lima ratus bhikkhu."

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, murid-Ku Revata telah memusnahkan semua nafsu keinginan; ia telah melampaui kebaikan maupun kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 412 berikut :

Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan, dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Empat Samanera

Suatu ketika, istri dari seorang brahmana menyuruh suaminya pergi ke Vihara Jetavana utnuk mengundang empat orang bhikkhu guna menerima dana makanan di rumah mereka. Ia memberitahu suaminya untuk khusus meminta para bhikkhu senior yang juga benar-benar brahmana asli. Tetapi empat samanera arahat berusia tujuh tahun, Samkicca, Pandita, Sopaka, dan Revata yang diutus ikut bersamanya.

Ketika istrinya melihat para samanera muda tersebut, ia menjadi tidak puas dan menyalahkan sang brahmana karena membawa samanera muda yang bahkan lebih muda dari pada cucu laki-lakinya.

Ia marah kepada suaminya, dan ia menyuruh suaminya kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu yang lebih tua. Dalam hal itu ia tidak memberikan tempat duduk lebih tinggi yang telah dipersiapkan bagi para bhikkhu. Mereka diberikan tempat duduk yang lebih rendah dan ia tidak memberi dana makanan kepada para samanera muda itu.

Ketika sang brahmana tiba di vihara, ia menemui Y.A. Sariputta dan mengundangnya datang ke rumahnya. Ketika Y.A. Sariputta tiba di rumah sang brahmana, ia melihat empat samanera arahat yang masih muda dan bertanya kepada mereka apakah mereka telah menerima dana makanan atau belum. Karena mengetahui bahwa para samanera arahat belum diberi dana makanan dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang, Y.A. Sariputta pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan dari rumah sang brahmana tadi.

Melihat hal itu, sang istri menyuruh sang suami kembali ke vihara untuk mengajak bhikkhu senior yang lain. Kali ini, Y.A. Maha Moggallana datang bersama sang brahmana, tetapi ia juga pulang kembali ke vihara tanpa menerima dana makanan ketika beliau mengetahui bahwa para samanera muda tidak diberi dana makanan, dan juga bahwa makanan telah disediakan hanya untuk empat orang.

Pada saat itu, para samanera sedang merasa lapar. Sakka, Raja Dewa, melihat hal ini, merubah dirinya menjadi seorang brahmana tua dan datang ke rumah tersebut. Sang brahmana dan istrinya memberi hormat kepada brahmana tua itu dan memberinya sebuah tempat duduk kehormatan, tetapi Sakka hanya duduk di tanah/lantai dan memberi hormat kepada empat samanera tersebut. Kemudian ia menyatakan dirinya bahwa ia adalah Sakka.

Melihat bahwa Sakka sendiri memberi hormat kepada para samanera muda itu, sepasang brahmana tersebut memberikan dana makanan kepada mereka berlima. Setelah selesai makan, Sakka dan para samanera menunjukkan kemampuan batin luar biasa mereka dengan terbang ke angkasa menerobos atap rumah. Sakka kembali ke tempat kediamannya di alam dewa, para samanera kembali ke vihara.

Ketika para bhikkhu yang lain bertanya kepada para samanera apakah mereka tidak marah ketika sepasang brahmana tersebut menolak untuk memberikan dana makanan kepada mereka, mereka menjawab, tidak. Para bhikkhu karena tidak percaya kepada mereka, lalu memberitahu kepada Sang Buddha bahwa keempat samanera telah dengan cara seperti itu menegaskan dirinya sebagai arahat.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, para arahat tidak lagi memiliki kebencian kepada mereka yang memusuhi mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 406 berikut :

Orang yang tidak membenci di antara mereka yang membenci; damai di antara mereka yang kejam; dan tidak melekat di antara yang melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Uppalavanna Theri

[Kisah ini merupakan kelanjutan kisah Bab V:10]

Suatu waktu beberapa bhikkhu sedang membicarakan tentang Arahat Uppalavanna Theri yang telah diganggu oleh Nanda muda, yang kemudian ditelan bumi. Dalam kaitan ini, mereka bertanya kepada Sang Buddha apakah arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu karena mereka mempunyai susunan tubuh yang sama seperti layaknya orang lain.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat tidak menikmati kesenangan hawa nafsu; mereka tidak menuruti kehendak dalam kesenangan hawa nafsu, karena mereka tidak lagi melekat pada obyek indria dan pada kesenangan hawa nafsu, seperti air yang tidak melekat pada daun teratai atau biji lada yang berada pada ujung jarum."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 401 berikut :

Seseorang yang tidak lagi melekat pada kesenangan-kesenangan indria, seperti air di atas daun teratai atau seperti biji lada di ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Seorang Brahmana Penipu

Suatu ketika, seorang brahmana penipu memanjat sebatang pohon dekat batas kota Vesali dan membiarkan dirinya tergantung terbalik seperti seekor kelelawar pada salah satu cabang/ranting pohon tersebut. Dari posisi yang sangat aneh ini, ia terus berkomat kamit, "O, manusia ! Bawakan aku seratus kepala sapi, banyak keping perak dan sejumlah budak. Jika kamu tidak membawakannya untukku, dan jika aku jatuh dari pohon ini dan meninggal dunia, maka kotamu ini pasti akan hancur." Orang-orang kota tersebut, karena takut bahwa kotanya akan hancur jika brahmana tersebut jatuh dan meninggal dunia, membawakan semua yang dimintanya dan memohon dengan sangat padanya untuk turun.

Para bhikkhu yang mendengar kejadian ini memberitahu Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab bahwa seorang penipu hanya dapat memperdayai orang-orang bodoh tetapi bukan orang-orang yang bijaksana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 394 berikut :

Wahai orang bodoh, apa gunanya engkau menjalin rambutmu serta mengenakan pakaian kulit menjangan ? Engkau hanya membersihkan bagian luarmu, tetapi hatimu masih penuh dengan kekotoran.

Rabu, 18 November 2015

Kisah Maha Moggallana Thera

Pada suatu kesempatan, para bhikkhu memberitahu Sang Buddha tentang Maha Moggallana Thera hal yang sama yang telah mereka katakan tentang Sariputta Thera; bahwa ia masih mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang duniawi. Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa Maha Moggallana Thera telah memusnahkan semua nafsu keinginan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 411 berikut :

Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Sariputta Thera

Suatu ketika, Sariputta Thera disertai dengan lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah vihara dekat sebuah desa kecil untuk melewatkan masa vassa. Pada akhir masa vassa, Sariputta Thera membutuhkan jubah untuk bhikkhu muda dan samanera. Lalu ia berkata pada para bhikkhu, "Jika ada orang yang datang untuk memberikan jubah, ajak mereka datang padaku atau beritahu aku." Kemudian ia meninggalkan Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Para bhikkhu yang lain salah mengerti perintah Sariputta Thera, dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Sariputta Thera masih melekat pada barang-barang seperti jubah dan barang keperluan bhikkhu yang lain."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Murid-Ku Sariputta tidak memiliki lagi nafsu keinginan dalam dirinya. Ia memberitahu kalian untuk membawa jubah kepadanya, agar kesempatan untuk melakukan perbuatan bermanfaat tidak akan menurun/berkurang bagi pengikut awam, dan kesempatan menerima apapun yang pantas mereka terima tidak berkurang demi kebutuhan para bhikkhu muda dan para samanera."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 410 berikut :

Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan terhadap dunia ini maupun dunia selanjutnya, yang telah bebas dari keinginan, dan tidak lagi melekat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Thera Tertentu

Suatu hari, seorang brahmana dari Savatthi meletakkan pakaian miliknya di luar rumah untuk mengangin-anginkannya. Seorang thera menemukan pakaian itu ketika ia akan pulang ke vihara. Setelah berpikir bahwa selembar pakaian tersebut telah dibuang oleh seseorang dan tentunya tidak ada yang memilikinya, sang thera mengambilnya. Sang brahmana yang melihat keluar lewat jendela rumahnya melihat sang thera mengambil pakaian tersebut, menghampiri sang thera, memaki-maki dan menuduhnya, "Kau, kepala gundul! Engkau mencuri pakaianku," katanya. Sang thera dengan cepat mengembalikan selembar pakaian tersebut kepada sang brahmana.

Setelah tiba kembali di vihara, sang thera menceritakan kejadian di atas kepada para bhikkhu yang lain, dan mereka menertawakannya dan dengan bergurau mereka bertanya kepadanya apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus.

Atas pertanyaan ini sang thera menjawab, "Apakah pakaian itu panjang atau pendek, kasar atau halus tidak menjadi masalah bagiku; Aku sama sekali tidak melekat pada hal itu."

Para bhikkhu yang lain kemudian memberitahu Sang Buddha bahwa sang thera itu dengan cara seperti itu untuk menegaskan dirinya sendiri sebagai seorang arahat.

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu ! Sang thera mengatakan yang sebenarnya; seorang arahat tidak mengambil apapun yang tidak diberikan kepadanya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 409 berikut :

Dalam dunia ini, seseorang yang tak mengambil apa yang tidak diberikan, baik yang panjang atau yang pendek, kecil atau besar, baik ataupun buruk, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Pilindavaccha Thera

Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam menegur orang. Ia sering berkata, "Kemari, kamu orang sial", atau "Ke sana, kamu orang sial", dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, sang thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.

Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu ! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai 'orang sial' hanya karena kekuatan dari kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :

Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus, yang mengandung Ajaran Kebenaran, yang tidak menyinggung siapapun juga, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Mahapanthaka Thera

[lihat juga syair 25 Bab II nomor (3)]

Mahapanthaka Thera telah menjadi seorang arahat ketika adik laki-lakinya Culapanthaka masuk dalam pasamuan bhikkhu. Culapanthaka sejak lahir adalah seorang yang dungu karena ia pernah menertawakan seorang bhikkhu dungu pada salah satu kehidupannya terdahulu. Culapanthaka tidak dapat bahkan mengingat satu syair dalam waktu empat bulan. Mahapanthaka menjadi kecewa dengan adiknya dan menyuruhnya untuk meninggalkan vihara karena ia tidak ada gunanya berada dalam pasamuan bhikkhu.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada suatu kesempatan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, mengapa meskipun ia seorang arahat, mengusir adik laki-lakinya dari vihara. Mereka juga menambahkan, "Apakah para arahat masih kehilangan kesabarannya ? Apakah mereka masih mempunyai kekotoran batin seperti keinginan jahat dalam diri mereka ?"

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat tidak mempunyai keinginan jahat seperti nafsu dan kebencian dalam diri mereka. Murid-Ku Mahapanthaka melakukan hal seperti itu dengan pengertian demi keuntungan saudaranya dan bukan karena keinginan jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 407 berikut :

Seseorang yang nafsunya, kebenciannya, kesombongannya dan kemunafikannya telah gugur, seperti biji lada yang jatuh dari ujung jarum, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu

Seorang bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk melatih meditasi. Setelah ia mencapai tingkat kesucian arahat, ia kembali menemui Sang Buddha untuk menyampaikan penghormatan yang besar dan mendalam kepada Beliau.

Dalam perjalanannya ia melewati sebuah desa. Baru saja ia melewati desa tersebut, seorang wanita yang baru saja bertengkar dengan suaminya, keluar dari rumahnya dan mengikuti sang bhikkhu. Sang suami yang berjalan mengikuti istrinya, melihat istrinya berada di belakang sang bhikkhu, berpikir bahwa bhikkhu ini akan membawa pergi istrinya. Ia berteriak pada sang bhikkhu dan mengancam akan memukulnya. Istrinya memohon dengan sangat pada sang suami untuk tidak memukul bhikkhu tersebut, tetapi hal itu membuatnya menjadi makin marah. Akibatnya, bhikkhu itu dipukul berulang kali sehingga mengalami luka parah oleh sang suami. Setelah memukuli bhikkhu tersebut sepuas hatinya, ia pergi bersama istrinya dan sang bhikkhu meneruskan perjalanannya.

Setibanya di Vihara Jetavana, para bhikkhu yang lain melihat luka-luka memar di seluruh tubuh sang bhikkhu, sehingga mereka merawat luka tersebut. Ketika mereka bertanya apakah ia tidak marah kepada orang yang memukulinya berulang kali, ia menjawab tidak. Oleh karena itu para bhikkhu yang lain pergi menemui Sang Buddha dan memberitahukan bahwa sang bhikkhu dengan cara seperti itu menegaskan dirinya telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Para arahat telah menyisihkan/meninggalkan tongkat dan pedang. Mereka tidak lagi menjadi marah bahkan jika mereka dipukul." Demikian, Sang Buddha menegaskan bahwa bhikkhu tadi telah, benar-benar, menjadi seorang arahat.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 405 berikut :

Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Tissa Thera

Tissa Thera, setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke suatu sisi gunung. Di sana, ia menemukan sebuah gua yang sesuai baginya dan ia memutuskan untuk menghabiskan waktu tiga bulan musim hujan (masa vassa) di dalam gua tersebut. Oleh karena tinggal di dalam gua, ia pergi ke desa untuk berpindapatta setiap pagi.

Di desa itu, terdapat seorang wanita yang usianya lebih tua yang secara teratur memberikan dana makanan kepadanya. Di dalam gua, juga hidup hantu penjaga gua. Karena sang thera memiliki latihan moral (sila) yang baik, hantu gua tersebut tidak berani untuk tinggal di dalam gua yang sama dengan sang thera. Selain itu, ia juga tidak mempunyai keberanian menyuruh sang thera untuk meninggalkan gua. Jadi ia memikirkan suatu rencana yang akan mampu membuatnya menemukan kesalahan sang thera; yang kemudian menyebabkan sang thera tersebut meninggalkan gua.

Hantu gua merasuki anak laki-laki dari wanita tua yang bertempat tinggal di rumah dimana sang thera biasanya pergi untuk menerima dana makanan. Ia menyebabkan anak tersebut bertingkah laku aneh, menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan memutar-mutarkan matanya yang terbuka lebar. Ibu anak itu menjadi kebingungan dan menangis. Hantu gua, yang merasuki anak tadi, kemudian berkata, "Biarkan gurumu, sang thera mencuci kakinya dengan air dan menuangkan air tersebut pada kepala anakmu."

Pada hari berikutnya, ketika sang thera datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan, ia melakukan seperti yang telah dianjurkan oleh hantu gua tadi dan anaknya menjadi tenang dan damai.

Hantu gua kembali ke gua dan menunggu di lubang masuk kedatangan sang thera. Ketika sang thera tiba kembali dari berpindapatta, hantu gua menampakkan dirinya dan berkata, "Akulah hantu penjaga gua ini. O, kamu, tabib, tidak boleh memasuki gua ini."

Sang thera mengetahui bahwa ia telah hidup dalam kehidupan yang bersih sejak ia menjadi thera, jadi ia menjawab bahwa ia tidak ingat mempraktekkan ilmu ketabiban. Kemudian hantu gua menuduhnya bahwa pada pagi hari ia telah menyembuhkan seorang anak muda yang dirasuki oleh raksasa pada rumah wanita tua tersebut. Tetapi sang thera tersebut menyadari hal itu sesungguhnya bukan praktek ilmu ketabiban, dan ia menyadari bahwa bahkan hantu gua tidak dapat menemukan kesalahan yang lain padanya. Hal ini memberinya suatu kepuasan yang sangat menggembirakan (piti) pada dirinya sendiri, meninggalkan kegiuran (piti) dan konsentrasi keras menuju 'Meditasi Pandangan Terang' (Vipassana).

Ia kemudian mencapai tingkat kesucian arahat di sana, ketika ia sedang berdiri pada lubang masuk gua.

Karena sang thera sekarang telah menjadi seorang arahat, ia menasihati hantu gua untuk meninggalkan gua. Sang thera terus menetap di sana sampai akhir vassa, dan kemudian ia kembali menemui Sang Buddha. Ketika ia menceritakan kepada para bhikkhu lain tentang pertemuannya dengan hantu gua, mereka bertanya apakah ia tidak marah terhadap hantu gua ketika ia dilarang masuk ke dalam gua. Sang thera menjawab tidak, tetapi para bhikkhu yang lain tidak mempercayainya. Lalu mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Tissa Thera telah menegaskan dirinya sebagai seorang arahat; ia tidak berbicara yang sebenarnya."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, murid-Ku Tissa berbicara yang sebenarnya ketika ia berkata bahwa ia tidak marah. Ia telah sungguh-sungguh menjadi seorang arahat. Ia tidak lagi melekat kepada siapapun; ia tidak mempunyai kesempatan untuk marah kepada siapapun atau pun kepada segala sesuatu yang berhubungan dengannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 404 berikut :

Orang yang menjauhkan diri dari masyarakat umum maupun para pertapa, yang mengembara tanpa tempat tinggal tertentu dan sedikit kebutuhannya, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Khema Theri

[lihat juga syair 347 Bab XXIV:14 ]

Suatu malam, Sakka, raja dewa, datang dengan para pengikutnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika mereka sedang bersama Sang Buddha, Khema Theri, dengan kemampuan batin luar biasanya, juga datang melalui angkasa untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Tetapi karena Sakka dan rombongannya berada di sana bersama Sang Buddha, ia hanya menyembah dengan membungkukkan badan kepada Sang Buddha, dan segera meninggalkan Beliau. Sakka bertanya kepada Sang Buddha siapakah bhikkhuni tadi dan Sang Buddha menjawab, "Ia adalah salah satu muridKu yang paling terkenal; ia dikenal sebagai Khema Theri. Ia tidak ada bandingnya di antara para bhikkhuni dalam hal kebijaksanaan, dan ia mengetahui bagaimana membedakan jalan yang benar dan jalan yang salah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 403 berikut :

Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Seorang Brahmana Tertentu

Ada seorang budak muda milik seorang brahmana. Suatu hari, setelah melarikan diri dari rumah tuannya, ia memasuki pasamuan bhikkhu, dan pada saatnya ia mencapai tingkat kesucian arahat. Pada suatu kesempatan, ketika ia sedang pergi untuk berpindapatta dengan Sang Buddha, bekas tuannya dahulu, seorang brahmana melihat dan menariknya dengan kuat dengan menggunakan seutas tali. Ketika Sang Buddha menanyakan apa permasalahannya, brahmana tersebut menjelaskan bahwa bhikkhu muda tersebut pernah menjadi budaknya.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Bhikkhu ini telah meletakkan beban (dari khandha-khandha/kelompok-kelompok kehidupan)." Brahmana itu mencerna hal tersebut dan mengartikan bahwa budaknya telah menjadi seorang arahat. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bertanya kepada Sang Buddha apakah benar bahwa bhikkhu tersebut telah menjadi seorang arahat, dan Sang Buddha menegaskan pernyataan-Nya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 402 berikut :

Dalam dunia ini, seseorang yang telah menyadari akhir penderitaannya sendiri, yang telah meletakkan beban dan tak terikat, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Sariputta Thera

Ketika Sang Buddha sedang menetap di Vihara Veluvana, Y.A. Sariputta, disertai dengan lima ratus bhikkhu, memasuki desa Nalaka dan berdiri di muka pintu rumah ibunya sendiri untuk berpindapatta. Ibunya mengundang mereka masuk ke dalam rumah.

Ketika ia sedang memberikan makanan kepada anaknya, ia berkata, "O, kau pemakai barang yang tersisa, kau yang telah meninggalkan delapan puluh mata uang crore, untuk menjadi seorang bhikkhu, kau telah menghancurkan kami."

Kemudian ia memberikan makanan kepada para bhikkhu yang lain, dan berkata kepada mereka dengan kasar, "Kalian semua telah menggunakan anakku sebagai pembantu kalian; sekarang makanlah makananmu."

Y.A. Sariputta tidak berkata apapun ataupun menanggapinya tetapi beliau hanya dengan lembut hati mengambil mangkuk tempat makanan dan pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, para bhikkhu memberiahu Sang Buddha bagaimana Y.A. Sariputta dengan telah bersikap sabar, dan menahan diri terhadap kata-kata hinaan dari ibunya. Kepada mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa para arahat tidak pernah marah, mereka tidak pernah kehilangan kesabarannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 400 berikut :

Seseorang yang telah bebas dari kemarahan, taat, bajik, bebas dari nafsu keinginan, terkendali dan yang memilki tubuh ini sebagai tubuh akhir, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Brahmana Bersaudara Yang Kasar

Suatu ketika ada seorang brahmana, yang istrinya mempunyai kebiasaan latah/mengatakan tanpa berpikir terlebih dahulu beberapa kata-kata kapan saja ia bersin, atau ketika sesuatu/seseorang menyentuhnya tanpa sadar. Suatu hari, brahmana itu mengundang beberapa teman-temannya untuk makan dan tiba-tiba istri brahmana mengucapkan beberapa kata tanpa dipikir terlebih dahulu. Karena ia adalah seorang sotapanna, kata-kata "Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa" secara otomatis keluar dari mulutnya. Kata-kata pemuliaan bagi Sang Buddha ini sangat tidak disukai oleh suaminya, yang seorang brahmana. Sehingga, dalam kemarahannya, ia pergi menemui Sang Buddha berharap untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang menantang Sang Buddha.

Pertanyaan pertamanya adalah, "Apakah yang harus kita bunuh untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai ?" dan pertanyaan keduanya adalah, "Membunuh Dhamma yang mana Anda setujui ?"

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, "O, brahmana, untuk dapat hidup dengan bahagia dan damai, seseorang harus dapat membunuh kebencian (dosa). Membunuh kebencian seseorang adalah yang disenangi dan dipuji oleh para Buddha dan para arahat."

Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, brahmana tersebut menjadi sangat terkesan dan puas dengan jawaban tersebut, sehingga ia mohon untuk diijinkan masuk dalam pasamuan bhikkhu. Ia diterima masuk dalam pasamuan bhikkhu dan kelak ia menjadi seorang arahat.

Brahmana ini mempunyai seorang saudara laki-laki yang sangat terkenal karena kata-kata hinaannya dan dikenal sebagai Akkosaka Bharadvaja, Bharadvaja yang suka menghina/berkata kasar. Ketika Akkosaka Bharadvaja mendengar bahwa saudara laki-lakinya telah masuk dalam pasamuan bhikkhu, ia menjadi sangat marah. Ia langsung pergi ke vihara dan berkata kasar kepada Sang Buddha.

Sang Buddha pada gilirannya bertanya, "O, brahmana, kita misalkan, engkau menawarkan beberapa makanan kepada beberapa tamu dan mereka meninggalkan rumah tanpa mengambil makanan tersebut. Karena tamu tersebut tidak menerima makananmu itu, kemudian makanan itu menjadi milik siapa ?"

Brahmana tersebut menjawab, bahwa makanan itu menjadi miliknya.

Setelah menerima jawaban tersebut, Sang Buddha berkata, "Dengan cara yang sama, O brahmana, karena Aku tidak menerima hinaan/kata-kata kasarmu, maka hinaan tersebut akan kembali kepadamu."

Akkosaka Bharadvaja dengan segra menyadari kebijaksanaan dari kata-kata tersebut dan ia menaruh rasa hormat kepada Sang Buddha. Ia juga memasuki pasamuan bhikkhu, kemudian ia menjadi seorang arahat.

Setelah Akkosaka Bharadvaja memasuki kelompok, dua saudara laki-lakinya juga datang menemui Sang Buddha dengan tujuan yang sama yaitu menghina/berkata kasar kepada Sang Buddha. Mereka juga dibuat melihat cahaya Kebenaran oleh Sang Buddha dan mereka juga, pada gilirannya memasuki pasamuan. Akhirnya, mereka berdua juga menjadi arahat.

Suatu sore, pada saat berkumpulnya para bhikkhu, para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha, "O betapa indahnya dan betapa agungnya kebajikan Sang Buddha ! Empat brahmana bersaudara datang kemari untuk menghina Sang Buddha, daripada berdebat dengan mereka; Beliau membuat mereka melihat cahaya, dan sebagai hasilnya, Sang Buddha telah menjadi pelindung bagi mereka."

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu! Karena Aku sabar dan menahan diri, dan tidak melakukan kesalahan kepada mereka yang melakukan kesalahan kepadaKu, Aku menjadi pelindung bagi banyak orang."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 399 berikut :

Seseorang yang tidak marah yang dapat menahan hinaan, penganiayaan, dan hukuman, yang memiliki senjata kesabaran, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Dua Brahmana

Pada suatu ketika tinggallah di Savatthi dua orang brahmana, yang masing-masing mempunyai seekor sapi jantan. Masing-masing menyatakan bahwa sapi jantan miliknyalah yang lebih baik dan lebih kuat. Akhirnya, mereka setuju untuk membawa hewan milik mereka ke dalam suatu uji coba.

Mereka pergi ke tepi sungai Aciravati dan mengisi sebuah gerobak dengan pasir. Satu demi satu sapi-sapi jantan tersebut menarik gerobak tersebut, tetapi sia-sia, karena gerobak tersebut tidaklah bergerak dan hanya talinya yang putus.

Para bhikkhu yang melihat hal tersebut memberitahukannya kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu ! Adalah sangat mudah untuk memutuskan tali pengikat yang dapat engkau lihat dengan matamu; siapapun dapat memutuskannya atau memotongnya. Tetapi murid-Ku, seorang bhikkhu, seharusnya memotong ikatan dari itikad jahat, dan tali kulit dari nafsu keinginan yang ada di dalam dirimu dan yang mengikatmu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan yair 398 berikut :

Ia yang telah memotong sabuk kebencian, tali kulit nafsu keinginan dan tali rami pandangan keliru serta semua kekotoran batin laten (anusaya); ia yang telah menyingkirkan kayu penghalang (kebodohan) dan menyadari kebenaran, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir

Kisah Uggasena, Anak Dari Seorang Hartawan

[Kisah ini merupakan kelanjutan kisah Bab XXIV:15]

Setelah menikah dengan seorang penari dari suatu rombongan sirkus, Uggasena dilatih oleh ayah mertuanya yang merupakan seorang pemain akrobat, sehingga ia menjadi sangat ahli di bidang akrobatik. Suatu hari ketika ia sedang mendemonstrasikan keahliannya, Sang Buddha datang ke tempat itu. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Uggasena mencapai tingkat kesucian arahat, ketika ia sedang melakukan atraksi yang hebat sekali di puncak dari sebatang galah bambu yang panjang.

Setelah itu, ia turun dari galah dan memohon dengan sangat kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang bhikkhu dan kemudian ia diterima dalam pasamuan bhikkhu.

Suatu hari, ketika pada bhikkhu yang lain menanyakan padanya apakah ia tidak mempunyai segala macam perasaan takut ketika sedang turun dari tempat yang amat tinggi (sekitar sembilan puluh kaki), ia mengatakan tidak. Para bhikkhu tersebut menanggapi dan mengartikan hal itu sebagai cara Uggasena untuk menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Oleh karena itu, mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante ! Uggasena menyatakan diri sebagai seorang arahat; dia pasti mengatakan suatu kebohongan." Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seseorang yang telah memotong semua belenggu, seperti murid-Ku Uggasena, tidak lagi memiliki ketakutan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 397 berikut :

Ia telah memotong semua belenggu, tidak lagi gemetar, yang bebas dan telah mematahkan semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Seorang Brahmana

Suatu ketika, seorang brahmana dari Savatthi berpikir bahwa karena Sang Buddha menyebut para pengikutnya 'brahmana', ia seharusnya juga disebut seorang 'brahmana' karena ia lahir dari orang tua brahmana. Ketika ia menceritakan hal ini kepada Sang Buddha, Sang Buddha memberi jawaban kepadanya, "O, brahmana ! Aku tidak menyebut seseorang sebagai seorang brahmana hanya karena ia dilahirkan oleh orang tua brahmana. Aku menyebutnya seorang brahmana hanya jika ia terbebas dari kekotoran batin dan telah memotong semua keterikatan pada kehidupan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 396 berikut :

Aku tidak menyebutnya seorang 'brahmana' hanya karena ia berasal dari keluarga brahmana atau karena ia lahir dari kandungan seorang ibu brahmana. Apabila dirinya masih penuh dengan noda, maka ia hanyalah seorang brahmana karena keturunan. Tetapi orang yang tanpa noda dan telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Kisagotami

Pada suatu kesempatan, Sakka, raja dewa, datang bersama dengan para pengikutnya untuk menghormat Sang Buddha. Pada saat yang bersamaan, Kisagotami Theri, dengan kemampuan batin luar biasa (kesaktian) yang dimilikinya datang melalui angkasa untuk menghormat Sang Buddha. Tetapi ketika ia melihat Sakka dan rombongannya sedang menghormat Sang Buddha, ia menarik diri.

Sakka, yang melihat wanita tersebut, bertanya kepada Sang Buddha siapakah wanita tersebut, dan Sang Buddha menjawab, "O, Sakka ! Ia adalah muridKu, Kisagotami. Suatu ketika, ia datang kepadaKu dengan dukacita dan penderitaan karena kehilangan anak laki-lakinya dan Aku membuatnya melihat kenyataan alamiah tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan dan ketanpaintian dari segala sesuatu yang berkondisi. Sebagai hasilnya ia mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah masuk dalam pasamuan bhikkhuni, ia menjadi seorang arahat. Ia adalah salah satu dari pengikut wanita utama-Ku, dan tidak ada bandingnya dalam hasil latihan pertapaan, yang mengenakan jubah yang terbuat dari potongan-potongan kain tak terpakai."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 395 berikut :

Seseorang yang mengenakan jubah kain bekas (pamsukula), kurus, otot-otot terlihat pada seluruh tubuhnya, bersemadi seorang diri dalam hutan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Jatila, Seorang Brahmana

Suatu ketika, seorang pertapa brahmana berpikir sendiri bahwa Sang Buddha menyebut pengikutnya 'brahmana' dan bahwa dirinya adalah brahmana karena kelahirannya, seharusnya juga disebut seorang 'brahmana'. Karena berpikir demikian, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengemukakan pandangannya. Tetapi Sang Buddha menolak pandangannya, dan berkata, "O brahmana, Aku tidak menyebut seseorang brahmana karena ia membiarkan rambutnya terjalin atau hanya karena kelahirannya. Aku menyebut seseorang brahmana; hanya jika ia secara penuh memahami 'Empat Kebenaran Mulia'."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 393 berikut :

Bukan karena rambut dijalin, keturunan, ataupun kelahiran, seseorang menjadi brahmana. Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan yang pantas menjadi seorang 'brahmana', orang yang suci.

Kisah Sariputta Thera

Yang Ariya Sariputta lahir dari orangtua brahmana dari desa Upatissa ; sehingga ia diberi nama Upatissa. Ibunya bernama Sari. Teman dekatnya adalah Kolita, seorang brahmana muda, anak dari Moggali. Kedua anak muda ini sedang mencari ajaran yang benar, yang akan mengantar mereka menuju kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Keduanya mempunyai keinginan yang kuat untuk memasuki kelompok religius.

Pertama-tama, mereka pergi kepada Sanjaya, tetapi mereka tidak puas dengan ajarannya. Kemudian mereka mengembara ke seluruh Jambudipa mencari seorang guru yang dapat menunjukkan mereka jalan menuju ke keadaan yang tanpa kematian. Tetapi pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Setelah beberapa waktu, mereka berpisah dengan kesepakatan bahwa siapa yang menemukan dhamma sejati terlebih dahulu akan memberitahu yang lain.

Pada suatu saat Sang Buddha tiba di Rajagaha, dengan rombongan para bhikkhu, termasuk Assaji Thera, salah satu dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggi). Ketika Assaji Thera sedang berjalan menerima dana makanan, Upatissa melihat sang thera, ia sangat terkesan dengan wajah dan penampilan thera yang mulia. Sehingga Upatissa dengan penuh hormat mendekati sang thera dan bertanya siapakah gurunya, ajaran apakah yang diajarkannya, dan juga mohon secara singkat mengajarkan ajarannya kepada dirinya.

Assaji Thera menjawab Upatissa tentang kedatangan Sang Buddha dan perjalananNya di Vihara Veluvana dekat Rajagaha. Sang thera juga mengutip satu bait yang terdapat dalam 'Empat Kebenaran Mulia'.

Syair itu demikian :

Ye dhamma hetuppa bhava

Tesam hetum tahtagato aha

Tesanca yo nirodho

Evam vadi maha samano

Yang berarti :

Sang Tathagata telah menjelaskan sebab dan juga terhentinya semua fenomena yang muncul dari suatu sebab. Ini adalah ajaran yang telah disampaikan oleh Pertapa Agung.

Ketika saat pertengahan syair ini diucapkan, Upatissa mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Seperti telah dijanjikan bersama, Upatissa pergi menemui temannya Kolita untuk memberitahukan bahwa ia telah menemukan Dhamma sejati. Kemudian dua sahabat tersebut, disertai dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menemui Sang Buddha yang waktu itu berada di Rajagaha. Ketika mereka tiba di Vihara Veluvana, mereka mohon izin untuk memasuki pasamuan bhikkhu, dan keduanya, Upatissa dan Kolita, beserta dua ratus lima puluh pengikutnya, diterima sebagai bhikkhu. Upatissa, anak dari Sari, dan Kolita, anak dari Moggali, kemudian dikenal sebagai Sariputta dan Moggallana.

Segera setelah penerimaan mereka dalam pasamuan bhikkhu, Sang Buddha menjelaskan Dhamma secara terperinci kepada mereka. Moggallana dan Sariputta mencapai tingkat kesucian Arahat masing-masing pada akhir hari ke tujuh dan hari ke limabelas.

Y.A. Sariputta selalu mengingat bahwa ia telah dapat bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai keadaan tanpa kematian melalui Y.A. Assaji. Jadi, ia selalu menghormat dengan cara membungkukkan badan ke arah di mana gurunya berada dan selalu tidur dengan kepala menghadap ke arah yang sama.

Bhikkhu-bhikkhu lain yang tinggal bersamanya di Vihara Jetavana salah mengartikan tindakannya dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante ! Y.A. Sariputta masih menyembah ke bermacam-macam arah, Timur, Selatan, Barat, Utara, Atas, dan Bawah, seperti yang dilakukannya sebagai seorang brahmana muda. Nampaknya ia belum meninggalkan kepercayaan lamanya."

Sang Buddha memanggil Yang Ariya Sariputta dan, Sariputta menjelaskan pada Sang Buddha bahwa ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, Y.A. Assaji, dan ia tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Sang Buddha puas dengan penjelasan yang diberikan oleh Y.A. Sariputta dan berkata kepada bhikkhu-bhikkhu yang lain, "Para bhikkhu ! Sariputta tidak menyembah ke bermacam-macam arah. Ia hanya menghormat dengan membungkukkan badan kepada gurunya, karena melalui dialah ia dapat mencapai 'Keadaan Tanpa Kematian'. Adalah hal yang benar dan tepat baginya untuk menghormat kepada guru seperti itu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 392 berikut :

Apabila melalui orang lain seseorang dapat mengenal Dhamma sebagaimana yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha maka hendaklah ia menghormati orang tersebut, seperti seorang brahmana menghormati api sucinya.

Kisah Mahapajapati Gotami Theri

Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddohodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddhattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.

Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diizinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi izin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung kehendak para wanita tersebut.

Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan kewajiban khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian Beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.

Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.

Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.

Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa kalian berkata demikian ? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak meragukan apapun yang dilakukan oleh seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 391 berikut :

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran, serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Sariputta Thera

Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian : "Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar."

Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang thera, dan meminta maaf. Brahmana itu kemudian melanjutkan, "Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan."

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut ini :

Janganlah seseorang memukul brahmana, juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya. Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana, tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.

Tak ada yang lebih baik bagi seorang 'brahmana' selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan. Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahatnya, maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.

Kisah Seorang Pertapa Brahmana

Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatthi. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan keduniawian dengan kata : 'pabbajita'.

Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita (yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita.

Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah demikian : "Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut :

Karena telah membuang kejahatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'; karena tingkah lakunya tenang, maka ia Kusebut seorang 'pertapa' (samana); dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin, maka ia Kusebut seorang 'pabbajjita' (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).

Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Ananda Thera

Saat itu adalah hari purnama sidhi di bulan ke tujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari kerajaan Kosala datang menemui Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang megah. Pada waktu itu, Kaludayi Thera juga sedang berada pada ruangan yang sama dan duduk pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan cahayanya.

Y.A. Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja, sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya, Y.A. Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A. Ananda segera menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai, "O, Bhante ! Cahaya dari tubuh-Mu yang mulia jauh melampaui cahaya dari raja, cahaya dari sang thera, cahaya dari matahari dan cahaya dari bulan."

Kepada Ananda, Sang Buddha membabarkan syair 387 berikut :

Matahari bersinar di waktu siang. Bulan bercahaya di waktu malam. Ksatria gemerlapan dengan seragam perangnya. Brahmana bersinar terang dalam semadi. Tetapi, Sang Buddha (Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna) bersinar dengan penuh kemuliaan sepanjang siang dan malam.

Kisah Brahmana Tertentu

Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri. "Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan 'brahmana'. Saya adalah seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga dapat disebut seorang brahmana ?" Setelah berpikir, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut.

Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Aku tidak menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 386 berikut :

Seseorang yang tekun bersemadi, bebas dari noda, tenang, telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan, bebas dari kekotoran batin dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana), maka ia Kusebut seorang brahmana.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Mara (Setan/Jin)

Pada suatu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau, "Bhante ! Anda sering mengucapkan kata 'param'. Apakah arti dari kata tersebut ?"

Sang Buddha, yang mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O, Mara yang jahat ! Kata 'param' dan 'aparam' tidak berarti apapun bagimu. 'Param' berarti 'pantai seberang' yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 385 berikut :

Seseorang yang tidak lagi memiliki pantai sini (enam landasan indria dalam) atau pantai sana (enam obyek indria luar), ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana), tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan, maka ia Kusebut seorang 'brahmana'.

Kisah Tiga Puluh Bhikkhu

Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut. Pertanyaannya berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma ?"

Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta ! 'Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut :

Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan.

Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Brahmana Yang Memiliki Keyakinan Kuat

Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya. Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.

Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.

Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut :

O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.

Kisah Samanera Sumana

Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.

Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.

Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.

Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.

Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut :

Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

Kisah Vakkali Thera

Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.

Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.

Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya." Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.

Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.

Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.

Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut :

Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.

Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Nangalakula Thera

Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja da seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui, sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasihatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).

Kehidupan di vihara lebih baik, maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat, ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumah tangga.

Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu ! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari, untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.

Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."

Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti pergi ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu ?" Kepada mereka, ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu barangkali tidak benar; ia membual, ia berkata bohong."

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 379 dan 380 berikut ini :

Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.

Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri, seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.

Kisah Santakaya Thera

Terdapat seorang Thera bernama Santakaya, yang dalam kehidupan lampaunya hidup sebagai singa. Seperti biasa dikatakan : bahwa singa-singa pada umumnya pergi seharian mencari makan, kemudian akan beristirahat selama satu minggu berikutnya tanpa bergerak di dalam gua. Santakaya Thera yang hidup sebagai singa dalam kehidupannya yang lampau mempunyai kebiasaan juga seperti singa. Ia bergerak sangat sedikit, geraknya sangat pelan dan pasti, dan ia biasanya tenang serta terpusat. Bhikkhu-bhikkhu lain merasa sangat aneh melihat kelakuannya, mereka memberitahukan hal itu kepada Sang Buddha.

Setelah mendengar keterangan dari para bhikkhu, Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tenang dan terpusat; ia akan berperilaku seperti Santakaya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 378 berikut :

Seorang bhikkhu yang memiliki perbuatan, ucapan, serta pikiran yang tenang dan terpusat, yang telah dapat menyingkirkan hal-hal duniawi, maka ia adalah orang yang benar-benar damai.

Santakaya Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu dari Savatthi, setelah memperoleh petunjuk obyek meditasi dari Sang Buddha, pergi menuju hutan untuk berlatih meditasi. Di hutan, mereka melihat bunga-bunga melati yang mekar di pagi hari dan jatuh dari pohonnya ke tanah pada sore hari. Kemudian para bhikkhu membuat keputusan untuk berlatih keras membebaskan diri dari kekotoran batin seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya. Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, mengetahui mereka dari kamar harum. Kemudian Beliau mengirimkan sinar dan membuat mereka merasakan kehadiran-Nya. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu ! Seperti halnya bunga-bunga akan terlepas dari pohonnya, demikian juga hendaknya seorang bhikkhu berupaya keras melepaskan dirinya dari proses tumimbal lahir."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 377 berikut :

Seperti tanaman Vassika (pohon melati yang merambat) menggugurkan bunga-bunganya sendiri yang layu kering, begitu pula hendaknya engkau, O bhikkhu, membuang nafsu dan dendam.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Bhikkhu-bhikkhu Yang Berjumlah Banyak

Terdapatlah seorang perempuan yang sangat kaya bertempat tinggal di kota Kuraraghara, kira-kira berjarak 120 yojana dari kota Savatthi. Ia mempunyai seorang putera yang telah menjadi bhikkhu, namanya Sona. Pada suatu kesempatan, bhikkhu Sona berjalan melewati kota kelahirannya.

Pada waktu bhikkhu Sona pulang menuju Vihara Jetavana, ia bertemu dengan ibunya, dan ibunya mengundang bhikkhu Sona untuk menerima sejumlah besar persembahan. Mengetahui bhikkhu Sona dapat menguraikan Dhamma dengan baik, ibunya juga memohon bhikkhu Sona untuk membabarkan Dhamma kepadanya dan orang-orang lain di kota kelahirannya itu.

Bhikkhu Sona menerima permohonan tersebut. Ibunya membangun sebuah bangsal Dhamma yang dapat menampung banyak orang untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Ibu itu juga mengundang banyak teman, tetangga, dan anggota keluarganya untuk hadir dalam pembabaran Dhamma tersebut. Ibu kaya itu meninggalkan rumahnya yang hanya dijaga oleh seorang perempuan pembantu rumah tangga.

Ketika pembabaran Dhamma sedang berlangsung, datanglah kawanan pencuri yang berjumlah sangat banyak ke rumah ibu kaya itu. Pemimpin dari kawanan pencuri itu sengaja pergi ke bangsal Dhamma, tempat pembabaran Dhamma sedang berlangsung, dan pemimpin itu berada dekat serta memperhatikan gerak-gerik si ibu kaya. Dengan melakukan hal itu sang pemimpin bermaksud agar dapat memberi kabar kepada anak buahnya untuk segera melarikan diri apabila ibu kaya itu pulang ke rumahnya.

Ketika pembantu rumah tangga si ibu kaya mengetahui banyak pencuri datang memasuki rumah majikannya, ia segera melaporkan hal itu kepada si ibu kaya, tetapi si ibu hanya menjawab, "Biarkan pencuri-pencuri itu mengambil seluruh uangku, saya tidak peduli, tetapi engkau jangan kemari lagi, jangan mengganggu saya saat saya sedang mendengar Dhamma. Engkau sebaiknya kembali saja."

Pembantu rumah tangga itu kembali ke rumah majikannya. Kemudian pembantu rumah tangga itu melihat para pencuri sedang mengambil barang-barang berharga terbuat dari perak milik majikannya. Pembantu rumah tangga itu kembali pergi menemui si ibu kaya di bangsal Dhamma, memberitahukan apa yang sedang dilakukan oleh para pencuri. Tetapi, pembantu rumah tangga itu mendapatkan jawaban yang sama seperti semula. Ia pulang kembali ke rumah majikannya.

Selanjutnya pembantu rumah tangga melihat para pencuri sedang mengambil barang-barang emas dan permata milik majikannya. Ia pergi kembali melaporkan hal itu kepada majikannya. Saat itu si ibu mengatakan, "O sayang, biarkanlah pencuri-pencuri itu mengambil apa yang mereka sukai; mengapa engkau datang kemari lagi dan mengganggu saya saat sedang mendengarkan Dhamma ? Mengapa engkau tidak pulang dan tinggal di rumah saja seperti apa yang sudah saya katakan padamu ? Janganlah engkau mengganggu kembali mendekati saya dan mengatakan perihal barang-barang atau pencuri-pencuri itu lagi."

Pemimpin para pencuri yang berada dekat dengan si ibu itu mendengarkan semua perkataan yang sudah diucapkan oleh si ibu, dan ia benar-benar mengagumi keyakinan ibu itu terhadap Dhamma. Kata-katanya juga menjadikan dirinya berpikir, "Jika kami mengambil barang-barang orang yang bijaksana seperti ibu ini, kami benar-benar akan terkutuk, kehidupan kami akan mengalami kehancuran, dan bisa jadi badan kami akan hancur berkeping-keping."

Pemimpin itu memperoleh penerangan batin, segera ia pergi ke rumah si ibu dan menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan seluruh barang milik si ibu yang telah mereka ambil. Kemudian ia mengajak pengikut-pengikutnya ke tempat si ibu berada. Ibu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan sepenuh hati di bangsal Dhamma.

Sona Thera mengakhiri pembabaran Dhamma-nya ketika hari menjelang pagi hari. Ia turun dari tempat pembabaran Dhamma (Dhamma-asana), dan menuju ke tempat duduk yang telah disediakan.

Pemimpin para pencuri mendekati si ibu kaya, perempuan bijaksana, memberi hormat kepadanya dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengatakan kepada si ibu bahwa ia bersama kawan-kawannya telah memasuki rumah si ibu dan mengambil barang-barang berharga tetapi ia telah mengembalikan seluruh barang itu sesudah ia mendengar kata-kata si ibu kepada pembantu rumah tangganya yang melaporkan kejadian pencurian itu. Sang pemimpin beserta para pengikutnya memohon si ibu untuk memaafkan segala perbuatan buruk yang telah mereka lakukan.

Selanjutnya mereka memohon kepada Sona Thera untuk diterima sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha). Setelah mereka ditahbiskan menjadi bhikkhu, sembilan ratus bhikkhu baru itu mendapat bimbingan meditasi dari Sona Thera, dan mereka pergi ke hutan untuk melatih diri bermeditasi di tengah-tengah kesunyian.

Dari jarak 120 yojana, Sang Buddha mengetahui kisah para bhikkhu itu, dan memberikan sinar kebijaksanaan kepada mereka sehingga seolah-olah Beliau berada di tengah-tengah mereka.

Kepada mereka secara pribadi, Sang Buddha membabarkan syair 368, 369, 370, 371, 372, 373, 374, 375, dan 376 berikut ini :

Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih, dan memiliki keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada keadaan damai (nibbana), yang merupakan berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara).

O bhikkhu, kosongkanlah perahu (tubuh) ini. Apabila telah dikosongkan maka perahu ini akan melaju dengan pesat. Setelah memutuskan nafsu keinginan dan kebencian, maka engkau akan mencapai nibbana.

Putuskanlah lima kelompok belenggu pertama (dari sepuluh belenggu), dan singkirkanlah lima kelompok kedua (dari sepuluh belenggu), serta kembangkan lagi lima kekuatan (keyakinan, perhatian, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan) secara sempurna. Apabila seorang bhikkhu telah bebas dari lima belenggu, maka ia disebut seorang "Penyeberang Arus" (sotapanna).

Bersemadilah, O bhikkhu ! Jangan lengah ! Jangan biarkan pikiranmu diseret oleh kesenangan-kesenangan indria ! Jangan karena lengah maka engkau harus menelan bola besi yang membara ! Dan jangan karena terbakar maka engkau meratap, "O, hal ini sungguh menyakitkan !"

Tak ada samadi dalam diri orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Dan tidak ada kebijaksanaan dalam diri orang yang tidak bersamadi. Orang yang memiliki samadi dan kebijaksanaan, sesungguhnya sudah berada di ambang pintu Nibbana.

Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat sepi, telah menenangkan pikirannya, dan telah dapat melihat Dhamma dengan jelas, akan merasakan kegembiraan yang belum pernah dirasakan oleh orang-orang biasa.

Bila seseorang dapat melihat dengan jelas akan timbul dan lenyapnya kelompok kehidupan (khandha), maka ia akan merasakan kegembiraan dan ketenteraman batin. Sesungguhnya, bagi mereka yang telah mengerti tak akan ada lagi kematian.

Pertama-tama inilah yang harus dikerjakan oleh seorang bhikkhu yang bijaksana, yaitu : mengendalikan indria-indria, merasa puas dengan apa yang ada, menjalankan peraturan-peraturan (patimokkha), serta bergaul dengan teman kehidupan suci (sabrahmacari) yang rajin dan bersemangat.

Hendaklah ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya. Karena merasa gembira dalam menjalankan hal-hal tersebut, maka ia akan bebas dari penderitaan.

Setiap akhir satu syair di atas dibabarkan, seratus dari sembilan ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.

Kisah Dermawan Hasil Pertama Pekerjaannya

Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 Kitab Suci Dhammapada, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.

Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.

Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.

Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."

Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.

Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana menangis keras-keras sambil berkata, "O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."

Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, "Bhante, silakan menerima pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian.""Kepada brahmana itu, Sang Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan apabila masih tersisa satu sendok.:

Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.

Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan jasmani.

Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana, seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 367 berikut :

Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku", baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.

Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Bhikkhu Yang Berteman Dengan Bhikkhu Pengikut Devadatta

Suatu ketika seorang bhikkhu murid Sang Buddha berteman akrab dengan pengikut Devadatta. Ia sering berkunjung dan tinggal selama beberapa hari di vihara tempat Devadatta berdiam.

Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha, bahwa terdapat seorang bhikkhu murid Sang Buddha yang bergaul akrab dengan pengikut-pengikut Devadatta, sehingga ia sering berkunjung, bahkan menginap beberapa hari, makan, tidur, dan menikmati berbagai fasilitas yang terdapat pada vihara milik Devadatta.

Sang Buddha mengundang bhikkhu itu, dan meminta keterangan darinya. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau telah mendengar berita tentang kelakuan bhikkhu tersebut, apakah berita itu benar. Bhikkhu itu mengakui bahwa ia telah berdiam beberapa hari di vihara milik Devadatta, tetapi ia berkata kepada Sang Buddha bahwa ia tidak mengikuti ajaran Devadatta.

Kemudian Sang Buddha menegur dan menunjukkan bahwa apa yang bhikkhu itu lakukan sesungguhnya membuat ia menjadi seperti pengikut Devadatta.

Kepada bhikkhu itu Sang Buddha mengatakan, "Anak-Ku, meskipun engkau tidak mengikuti ajaran Devadatta, tetapi engkau memperlakukan dirimu seperti salah satu pengikut Devadatta. Seorang bhikkhu hendaknya puas dengan apa yang telah diperolehnya, dan jangan iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang penuh dengan kecemburuan pada perolehan bhikkhu lain tidak akan mencapai pemusatan batin dan pandangan terang, atau jalan menuju ‘Kebebasan Mutlak?(nibbana). Hanya bhikkhu yang puas dengan apa yang telah ia peroleh akan mendapatkan pemusatan pikiran, pandangan terang, dan jalan menuju ‘Kebebasan Mutlak?

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 365 dan 366 berikut ini :

Hendaklah ia tidak mencela apa yang telah ia peroleh, juga hendaklah ia tidak merasa iri terhadap apa yang telah diperoleh orang lain. Seorang bhikkhu yang merasa iri terhadap apa yang diperoleh orang lain, tidak akan dapat mencapai perkembangan dalam semadi.

Walaupun hanya memperoleh sedikit, tetapi apabila seseorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya, maka para dewa pun akan memuji orang seperti itu, yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas.

Kisah Dhammarama Thera

Ketika beredar berita di kalangan para murid bahwa Sang Buddha akan mangkat (parinibbana) dalam waktu empat bulan lagi; banyak di antara para bhikkhu puthujjana, yang belum mencapai tingkat kesucian mengalami tekanan batin, merasa akan kehilangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Pada umumnya mereka berusaha berada dekat dengan Sang Buddha, tidak ingin bepergian jauh dari Beliau.

Ketika itu ada seorang bhikkhu yang bernama Dhammarama yang tinggal menyendiri dan tidak pergi mendekat kepada Sang Buddha. Perhatian beliau diarahkan pada perjuangannya untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Sang Buddha meninggal dunia. Ia melaksanakan meditasi ‘Pandangan Terang?(Vipassana Bhavana) dengan tekun. Kawan-kawan bhikkhu lain tidak mengerti apa harapan beliau dan apa yang sedang dilakukannya, mereka memiliki pengertian keliru perihal kelakuan Bhikkhu Dhammarama itu.

Kawan-kawan bhikkhu tersebut bersama Bhikkhu Dhammarama menemui Sang Buddha, dan mereka berkata kepada Sang Bhagava, "Bhante, bhikkhu ini kelihatan tidak mau peduli, tidak menghormat, dan tidak berbakti kepada Bhante. Ia terlihat menyendiri pada saat para bhikkhu lain sedang berada di dekat Bhante."

Setelah kawan-kawan bhikkhu itu menceritakan semua pandangannya, Bhikkhu Dhammarama dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha apa yang sesungguhnya merupakan harapannya, dan juga apa yang telah dilaksanakannya dengan mempraktekkan Vipassana Bhavana.

Sang Buddha sangat puas dan menghargai apa yang telah diungkapkan dan dilakukan oleh Bhikkhu Dhammarama, kemudian berkata, "Anak-Ku Dhammarama, engkau telah berperilaku sangat baik. Seorang bhikkhu yang mencintai dan menghormat kepada-Ku hendaknya berkelakuan seperti engkau. Mereka yang mempersembahkan bunga, pelita, dan dupa kepada-Ku tidaklah benar-benar memberi hormat kepada-Ku. Hanya mereka yang melaksanakan Dhamma, ajaran-Ku, adalah benar-benar seseorang yang memberikan hormat kepada-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 364 berikut :

Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma dan gembira dalam Dhamma, yang selalu merenungkan dan mengingat-ingat akan Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Jalan Benar Yang Mulia.

Dhammarama Thera mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.