Senin, 09 Februari 2015

Kamavacara citta 54

Kamavacara citta 54 : 54 macam kesadaran / pikiran yang berkelana di kama-bhumi atau kama-loka.

A. Akusala citta 12 : 12 macam kesadaran / pikiran yang tidak baik atau jahat.

Lobhamula citta 8 : 8 macam akar loba.
1. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah ).
2. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah ).
3. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah ).
4. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam sasankharikam.
( kesdaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah ).
5. Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai masa bodoh, bersekutu dengan pandangan salah ).
6. Upekkhasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai masa bodoh, bersekutu dengan pandangan salah ).
7. Upekkhasahagatam ditthigatavippayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai masa bodoh, tidak bersekutu dengan pandangan salah ).
8. Upekkhasahagatam ditthigatavippayuttam sasankharikam.
(  kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai masa bodoh, tidak bersekutu dengan pandangan salah ).

Dosamula citta 2 : 2 macam akar kebencian.
9. Domanassasahagatam patighasampayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai ketidaksenangan, bersekutu dengan dendam ).
10. Domanassasahagatam patighasampayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai ketidaksenangan, bersekutu dengan dendam ).

Mohamula citta 2 : 2 macam akar kebodohan.
11. Upekkhasahagatam vicikicchasampayuttam.
( kesadaran / pikiran yang timbul disertai masa bodoh, bersekutu dengan keraguan ).
12. Upekkhasahagatam uddhaccasampayuttam.
( kesadaran / pikiran yang timbul disertai masa bodoh, bersekutu dengan kegelisahan ).

B. Ahetuka citta 18 : 18 macam kesadaran / pikiran yang tidak bersekutu dengan sebab ( hetu ), karena kesadaran ini merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan masa lampau.

Akusalavipaka citta 7 : 7 macam kesadaran / pikiran yang menjadi hasil / akibat dari akusala karma, yaitu hasil / akibat yang tidak baik / jahat.
1. Upekkhasahagatam cakkhuvinnanam.
( kesadaran amat timbul disertai masa bodoh ).
2. Upekkhasahagatam sotavinnanam.
( kesadaran telinga timbul disertai masa bodoh ).
3. Upekkhasahagatam ghanavinnanam.
( kesadaran hidung timbul disertai masa bodoh ).
4. Upekkhasahagatam jivhavinnanan.
( kesadaran lidah timbul disertai masa bodoh ).
5. Dukkhasahagatam kayavinnanam.
( kesadaran jasmani timbul disertai menyakiti ).
6. Upekkhasahagatam sampaticchanacittam.
( kesadaran menerima obyek disertai masa bodoh ).
7. Upekkhasahagatam santiranacittam.
( kesadaran menerima obyek disertai masa bodoh ).

Ahetuka kusalavipaka citta 8 : 8 macam kesadaran / pikiran yang menjadi hasil / akibat dari kusala karma yang bertenaga lemah, yaitu menimbulkan ketidaksempurnaan.
8. Upekkhasahagatam cakkhuvinnanam.
( kesadaran mata timbul disertai masa bodoh ).
9. Upekkhasahagatam sotavinnanam.
( kesadaran telinga timbul disertai masa bodoh ).
10. Upekkhasahagatam ghanavinnanam.
( kesadaran hidung timbul disertai masa bodoh ).
11. Upekkhasahagatam jivhavinnanam.
( kesadaran lidah timbul disertai masa bodoh ).
12. Sukhasahagatam kayavinnanam.
( kesadaran jasmani timbul disertai masa bodoh ).
13. Upekkhasahagatam sampaticchanacittam.
( kesadaran menerima obyek disertai masa bodoh ).
14. Upekkhasahagatam santiranacittam.
( kesadaran menerima obyek disertai masa bodoh ).
15. Somanassasahagatam santiranacitta.
( kesadaran memeriksa obyek timbul disertai kesenangan ).

Ahetuka kiriya citta 3 : 3 macam kesadaran / pikiran yang tidak berakibat dan tidak bersekutu dengan sebab / hetu.
16. Upekkhasahagatam pancadvaravajjanacitam.
( kesadaran yang menyelidiki obyek dari lima pintu disertai masa bodoh ).
17. Upekkhasahagatam manodvaravajjanacitam.
( kesadaran yang menyelidiki obyek dari landasan hati sanubari disertai masa bodoh ).
18. Somanassasahagatam hasituppadacittam.
( kesadaran yang menimbulkan senyum dari seorang arahat disertai kesenangan ).

C. Kamavacarasobhana citta 24 : 24 macam kesadaran / pikiran yang baik yang berkelana di kama bhumi.

Mahakusala citta 8 : 8 macam kesadaran / pikiran yang maha baik.
1. Somanassasahagatam nanasampayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan ).
2. Somanassasahagatam nanasampayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan ).
3. Somanassasahagatam nanavippayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan ).
4. Somanassasahagatam nanavippayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan ).
5. Upekkhasahagatam nanasampayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai masa bodoh, bersekutu dengan pemgetahuan ).
6. Upekkhasahagatam nanasampayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai masa bodoh, bersekutu dengan pengetahuan ).
7. Upekkhasahagatam nanavippayuttam asankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan tanpa ajakan, disertai masa bodoh, tidak bersekutu dengan pengetahuan ).
8. Upekkhasahagatam nanavippayuttam sasankharikam.
( kesadaran / pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai masa bodoh, tidak bersekutu dengan pengetahuan ).

√ mahavipaka citta 8 : 8 macam kesadaran / pikiran yang menjadi hasil / akibat dari mahakusala citta 8.
9 sampai dengan 16 sama dengan mahakusala citta 8 diatas.

√ mahakiriya citta 8 : 8 macam kesadaran / pikiran yang bukan kusala, akusala dan vipaka, hanya bertugas menerima obyek melalui dvara 6 atau enam pintu.
17 sampai dengan 24 sama dengan makakusala citta 8 diatas.

Senin, 02 Februari 2015

Memahami terjadinya mukjizat

Bagaimanakah proses dibalik terjadinya mukjizat ...

Apa saja faktor-faktor yang menentukan "kemanjuran" suatu "doa" atau "rapalan kata-kata" atau "mantra" yang dianggap suci oleh penganutnya ...

Apa definisi kematian dalam hakekat yang sesungguhnya ...

Memahami terjadinya mukjizat

Jika diamati dari kitab suci paham lain, perbuatan atau kejadian ajaib ( mukjizat ) yang diasumsikan ada empat jenis : penyembuhan orang sakit, pengusiran roh-roh jahat, penaklukan kekuatan alam, pembangkitan orang mati.

Dapat dijumpai di dalam tipitaka, sungguh tidak terhitung banyaknya mukjizat yang ditimbulkan baik oleh para buddha, oleh murid-murid beliau ( sangha ), bahkan oleh umat awam yang mempraktikkan ajaran buddha tersebut sebagai "conditioning service meditation" ( layanan memgkondisikan pengobatan untuk penyembuhan ) maupun "self service meditation" ( layanan mandiri pengobatan untuk penyembuhan ), yang tipikal-nya tidak diklaim sebagai monopoli baik oleh para buddha, oleh murid beliau maupun umat yang melaksanakannya walaupun mengalami kesembuhan yang dinilai sebagai keajaiban ( mukjizat ).

Proses mukjizat yang terjadi sangat reasonable ( mengandung alasan yang ilmiah berdasarkan sebab akibat ) dijelaskan secara objektif, tanpa mengandung iming-iming untuk konversi label paham tertentu, dan tidak mengandung ancaman halus dengan mengkambinghitamkan kekuatan jahat yang memberikan duri didalam umpan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan jasmani

Lebih dari 2.500 tahun yang lalu, seorang agung didalam sejarah peradaban manusia dibumi ini pernah menyatakan bahwa kesehatan jasmani seseorang ditentukan oleh 4 faktor, yaitu :

1. Faktor perbuatan orang tersebut ( istilah didalam agama buddha, disebut faktor kamma )
2. Faktor pikiran orang tersebut ( citta )
3. Faktor makanan orang tersebut ( ahara )
4. Faktor keseimbangan lingkungan hidup orang tersebut  ( utu )

Perbuatan seseorang akan menghasilkan materi khusus ( kammajarupa ) yang bereaksi terhadap jasmaninya, demikian pula pikiran seseorang akan menimbulkan materi khusus ( cittajarupa ) yang bereaksi dan berinteraksi dengan materi tubuh orang tersebut, ditambah dengan makanan / ahararupa ( termasuk obat-obatan, vitamin, mineral dsb ) akan menambak kontribusi kombinasi reaksi interaksi materi tubuh orang tersebut. Lingkungan hidup, kelembaban, temperatur, pakaian orang tersebut juga akan menimbulkan efek panas dingin kering lembab ( utujarupa ) tubuhnya yang juga berinteraksi dengan materi-materi sebelumnya. Keempat faktor materi ini saling berinteraksi dan korelasi membentuk materi-materi baru yang kompleks yang menjelaskan perbedaan fisik tiap makhluk.

Semakin tinggi kualitas perbuatan ( diindikasikan dengan nilai moralitas ) dulu dan sekarang, kualitas pikiran, kualitas makanan dan kualitas lingkungan hidup seseorang maka materi-materi yang ditimbulkan oleh keempat faktor itu akan memiliki kualitas tinggi; dan interaksi keempat materi dengan kualitas tinggi ini serta kontinuitas ( kesinambungan ) kemunculannya akan memberikan efek prima kesehatan jasmani seseorang dalam kesinambungan pula. Kontinuitas makin baik, maka kesehatan makin berdaya tahan lama. Pada prinsipnya merupakan kombinasi interaksi antara :
1. Proses sebab akibat berkondisi ( tidak muncul tiba-tiba )
2. Empat faktor ( perbuatan, pikiran, makanan, lingkungan fisik )
3. Waktu ( kala ) lampau dan sekarang, dalam hal kontinyu atau diskontinyu dengan tenggang waktu tertentu atau putus-putus.

Faktor-faktor kekuatan "doa" atau "paritta" atau "mantra"

Penelitian terkini didalam pengobatan, didalam eksperimental psikologi dan apa yang disebut parapsikologi telah melemparkan secercah cahaya sifat alamiah pikiran dan posisinya didunia ini. Selama empat puluh tahun terakhir pengaruh ini telah secara konstan tumbuh diantara para ahli kodokteran bahwa banyak kasus penyakit organik maupun fungsional secara langsung dikondisikan oleh faktor-faktor batin. Tubuh menjadi sakit karena pikiran mengontrolnya secara tersembunyi ( tidak disadari langsung oleh penderita ) menginginkan tubuhnya sakit, atau karena kegelisahan sehingga tidak dapat mencegah tubuh menjadi sakit.

Pikiran tidak hanya menyebabkan penyakit, juga dapat menyembuhkan. Pasien yang realistis memiliki kesempatan kesembuhan yang jauh lebih baik dibandingkan seorang pasien yang khawatir dan tidak gembira. Contoh-contoh yang didokumentasikan melalui penyembuhan 'keyakinan' termasuk didalamnya kasus-kasus penyakit organik dapat disembuhkan hampir secara instan. Didalam hubungan ini, sungguh menarik kita meninjaunya dari sisi buddha dharma untuk mengkondisikan terbebasnya dari penyakit atau mara bahaya, untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh makhluk-makhluk penggangu yang terlihat ataupun tidak terlihat, untuk memperoleh 'perlindungan' atau kebebasan dari kejahatan, dan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kebaikan makhluk hidup. Beberapa khotbah yang disebut "paritta sutta" dijadikan sebagai 'khotbah perlindungan'. Namun parita sutta ini tidaklah sama dengan pembacaan mantra atau doa paham lain, tidak ada satupun yang mistis didalam paritta sutta.

Kata paritta pertama kali digunakan oleh buddha gaotama didalam khotbah yang dikenal dengan "khanda paritta" didalam culla vagga, vinaya pitaka ( vol. II, hal 109 ), dan juga didalam anggutara nikaya dibawah judul 'ahi ( metta ) sutta' ( vol. II hal 82 ). Khotbah ini direkomendasikan oleh buddha gaotama sebagai "pelindung" untuk digunakan para bhikkhu untuk mempraktikkan dan mengembangkan metta ( cinta kasih universal ) kepada semua makhluk.

Setiap "doa"paham lain maupun "paritta" umat buddha atau "mantra" tertentu memiliki nilai kekuatan tertentu. Kekuatan-kekuatan yang saling berkombinasi secara sinergis akan menimbulkan kekuatan baru yang jauh lebih tinggi. Kekuatan-kekuatan itu, sebagai berikut :

1. Kekuatan kebenaran

Beberapa faktor berkombinasi memberikan kontribusi kepada 'kemanjuran' pembacaan paritta. Pembacaan paritta merupakan sebentuk saccakiriya, yaitu sebuah afirmasi atas kebenaran. Perlindungan dihasilkan dari kekuatan afirmasi kebenaran tersebut. Ini berarti menetapkan diri pembaca didalam kekuatan kebenaran terlebih dahulu sebagai modal utama. Dengan modal utama bahwa dirinya diliputi kebenaran, para pendengarpun diajak untuk berlibat didalam kebenaran tersebut. Itulah sebabnya diakhir paritta ini, biasanya pembaca memberikan afirmasi 'blesing' kepada pendengarnya dengan mengucapkan kata-kata 'dengan kekuatan kebenaran kata-kata ini semoga kamu sembuh/ baik. Kekuatan dhamma atau kebenaran melindungi pelaksana dhamma mengindikasikan prinsip dibalik pembacaan sutta ini. Apabila semua fator lainnya sama tingkatannya, maka pembacaan kebenaran ( paritta sutta ) akan memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan 'doa' semata.

2. Kekuatan moral

Tahap pertama pelaksanaan buddha dharma adalah kemoralan ( sila ). Dilandasi kemoralan yang baik, seseorang seyoganya berjuang untuk mencapai batin yang tenang dan seimbang. Apabila ini terjadi, maka orang yang memiliki kemoralan akan terlindungi dengan sendirinya oleh kekuatan moralnya tersebut. Orang yang mendengarkan pembacaan paritta dari orang yang bermoral akan muncul inspirasi pikiran yang baik secara reflektif induktif muncul pikiran yang bermoral baik yang dapat mengatasi pengaruh buruk dan akhirnya terlindung dari berbagai bahaya. Moralitas pembaca dan yang mendengarkan saling berpengaruh membentuk kombinasi kontribusi kekuatan paritta tersebut. Makin tinggi moralitas pembaca dan pendengarnya, maka kekuatan paritta tersebut akan menjadi makin tinggi.

3. Kekuatan cinta kasih

Khotbah yang dilakukan oleh buddha tidak akan pernah lepas dari cinta kasih. Beliau berjalan kemanapun dengan penuh cinta kasih untuk semua makhluk, memberikan petunjuk, mengkondisikan pencerahan dan membahagiakan banyak makhluk melalui ajarannya. Oleh karena itu, para pembaca paritta pun diharapkan melakukannya dengan cinta kasih dan belas kasihan kepada para pendengarnya dengan memgharapkan mereka berbahagia, terbebas dari penyakit, kesukaran, penderitaan dan mara bahaya. Semakin tinggi cinta kasih yang dikembangkan dan dipancarkan oleh pembaca paritta, maka kekuatannya akan semakin tinggi.

4. Kekuatan keyakinan

Keyakinan merupakan hal yang sangat penting  didalam semua tindakan. Pembacaan paritta atau 'doa' atau 'mantra' dengan keyakinan tinggi, akan menimbulkan efek ketenangan yang tinggi bagi batin pembacanya. Tingkat keyakinan yang tinggi dari pendengarnya akan berpengaruh bagi tingkat kemauan pendengar itu mendengarkan dan merenungkannya. Konflik batin menjadi teratasi, dan ujungnya cittajarupa yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik yang berinteraksi dengan materi tubuhnya tersebut sehingga tingkat kesehatan atau radiasi tubuhnya menjadi lebih baik.

5. Kekuatan konsentrasi

Pembacaan paritta dengan penuh konsentrasi akan memberikan efek sinkronisasi yang baik terhadap pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan kebenaran akan tetap terjaga, harmonisasi tetap terjaga, kestabilan faktor batin yang penuh cinta kasih akan tetap terjaga, keyakinan tetap terjaga penuh. Makin tinggi tingkat konsentrasi maka akan makin tinggi pula kekuatan batin orang tersebut, dan kekuatan batin ini tentu menjadi kontribusi penting didalam mengalahkan pengaruh-pengaruh negatif.

6. Kekuatan perbuatan ( kamma )

Setiap makhluk melakukan perbuatan sejak dulu hingga kini, dalam kehidupan lampau maupun kini. Perbuatan tersebut merupakan aksi, dan memiliki potensi untuk menghasilkan akibat. Perbuatan yang dilakukan suatu makhluk terdiri dari perbuatan tidak baik maupun perbuatan baik, dan masing-masing memberikan efek yang setimpal. Ada perbuatan yang mengkondisikan berbuahnya perbuatan lain yang belum masak menjadi masak atau yang sudah saat waktunya masak menjadi masak dengan sepenuhnya. Ada pula perbuatan baik yang memotong buah perbuatan tidak baik yang sedang berlangsung hingga selesai.

Sebagai contoh, seorang yang sedang sakit ... Diakibatkan salah satunya oleh akibat perbuatan buruknya masa lampau. Dengan kondisi perbuatan baiknya mengingat atau mendengarkan pembacaan paritta / doa / mantra dengan penuh konsentrasi saat itu, serta merta sembuh diakibatkan perbuatan baiknya ini memotong hasil perbuatan buruknya yang menyebabkan dia sakit.

Sebaliknya apabila tidak ada perbuatan baik yang ditimbulkan untuk meng-counter akibat perbuatan tidak baik yang lampau atau akibat perbuatan tidak baik yang  lampau terlalu kuat mendominasi, maka pembacaan paritta / doa / mantra atau mendengarkannya, tidak akan serta merta membuahkan hasil, namun bukan berarti sia-sia.

7. Kekuatan suara

Telah lama diyakini bahwa getaran suara yang dihasilkan oleh pembacaan paritta yang harmonis akan berpengaruh kepada getaran materi didalam tubuh seseorang. Apabila semua hal kekuatannya sama, maka semakin harmonis pembacaan paritta, gerakan materi didalam tubuh seseorang akan menjadi harmonis dan akan mengakibatkan denyut nadi atau syaraf yang harmoni. Secara realitis, hal ini menginduksikan ketenangan dan kedamaian fisik maupun batin.

Singkatnya, pengunaan paritta, doa, atau mantra akan memiliki kekuatan yang tinggi dalam hal kemanjuran, baik untuk mengurangi / menghilangkan efek buruk maupun untuk menimbulkan atau mengembangkan efek baik, sepenuhnya sangat tergantung dari kebenaran yang terkandung didalam kata-katanya, moralitas pembaca atau pendengarnya, keyakinan pembaca dan pendengarnya, konsentrasi pendengar dan pembacanya, cinta kasih yang ditimbulkan atau dikembangkannya, harmonisasi getaran suara yang dibacakannya, terakhir namun yang terpenting adalah potensi pendengarnya ( kamma masing-masing yang pernah dan sedang dipupuknya ); jadi tidak tergantung pada label agama / paham tertentu.

Bagaimana dengan menghidupkan orang mati ?

Kematian merupakan satu hal yang pelik, dan terkadang merupakan hal tabu untuk dibicarakan bagi kalangan tertentu. Karena pembatasan-pembatasan tertentu tersebut, penelaahan definisi dan kriteria kematian menjadi beragam sesuai dengan tingkat keterbukaan dan daya tinjau pembahasnya.

Secara kedokteran konvensional, kematian ditetapkan apabila denyut jantung, dan syaraf  sudah tidak berfungsi total yang dapat ditunjukkan pada alat deteksi monitor denyut jantung / nadi yang secara notabene merupakan deteksi secara fisik.

Ditipitaka dijelaskan bahwa makhluk masih dikategorikan hidup apabila fisiknya masih terdapat jivita rupa yang merupakan unsur fisik kehidupan. Walaupun jantung dan nadi telah ditetapkan berhenti berdetak  dan dianggap oleh orang awam atau kedokteran sebagai "mati" , namun selama jivita rupa masih ada, makhluk itu tidak dikatakan mati dalam konteks buddhist.

Seseorang yang telah terbujur dingin dan dikatakan mati, namun orang tertentu yang terlatih batinnya dapat mengetahui dengan jelas bahwa jivita rupa orang itu masih ada, maka orang piawai itu pun dapat mengkondisikan 'kehidupan' ( sadar kembali ) orang yang dikatakan mati tersebut. Jadi orang piawai itu tidak menghidupkan kembali orang yang telah mati, namun ia mengetahui bahwa orang itu belum mati, dan dia mengetahui cara mengkondisikan orang itu agar sadar dan semua materi tubuh lainnya berfungsi.

Kematian merupakan sifat alamiah bagi semua yang yamg berpadu / lahir. Tidak ada satupun yang lahir tidak mengalami kematian. Bahkan yang pra-anggap yang menhidupkan orang mati pada kasus tertentu pun tak luput dari kematian.


Minggu, 01 Februari 2015

Kesedihan yang bermanfaat

Ada cerita dalam sakka panha tentang seorang bhikkhu yang bernama mahasiva thera. Ini adalah contoh nyata tentang kesedihan bermanfaat yang membuat thera ini meraih kearahatan.

Mahasiva thera adalah seorang guru meditasi dengan banyak pengikut. Bhikkhu-bhikkhu yang melakukan praktek meditasi dibawah bimbingannya berhasil meraih kearahatan. Melihat kenyataan gurunya belum mencapai arahat, salah satu arahat, muridnya, meminta thera ini memberi pelajaran dhamma. Mahasiva thera berkata ia tidak memiliki waktu untuk memberi pelajaran karena telah mengisi seluruh hari dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya, menyingkirkan keragu-raguan mereka, dan lain-lain.

Kemudian arahat muridnya berkata,
"Yang mulia, engkau seharusnya memiliki waktumu sendiri untuk melakukan perenungan dhamma di pagi hari".
"Kalau keadaan demikian terus, engkau bahkan tidak memiliki waktu untuk mati. Engkau selalu siap melayani orang lain. Tapi engkau tidak memiliki usaha untuk dirimu sendiri. Karena itu sejak saat ini aku tidak ingin mendengarkan pelajaran apapun darimu".
Kata muridnya yang kemudian terbang ke udara dan pergi dari hadapan gurunya.

Sekarang mahasiva thera baru menyadari bahwa muridnya datang tidak untuk belajar dhamma. Tapi untuk memperingakan agar lebih memperhatikan diri sendiri dan menyingkirkan keragu-raguannya.

Tidak lama setelah itu sang thera meninggalkan vihara. Kemudian ia mencari tempat yang cocok untuk berlatih meditasi pandangan terang dengan penuh disiplin.

Tapi, tidak seperti harapannya, meski telah berjuang keras dan menyakitkan ia gagal meraih kemajuan batin. Bahkan setelah berahun tahun ia masih jauh dari tujuan akhir.

Ia tengah menangis ketika muncul sesosok dewi. Dewi ini mulai menangis pula. Dewi ini berpikir dengan menangis ia akan meraih pengetahuan batin.

Kenyataan ini menyadarkan sang thera akan masalah sendiri. Setelah itu ia berusaha lebih keras dan berhasil memperoleh tingkat-tingkat pengetahuan yang membawanya ke tujuan akhir.

Cerita ini memberi pengetahuan bahwa para yogi pun bisa memperoleh tingkat-tingkat kesucian dalam waktu singkat melalui berbagai pengalaman. Sang thera gagal meraih tujuan akhir, meski berusaha keras karena konsentrasinya pecah. Hal ini berasal dari kemampuan teori dhamma yang dimilikinya.

Setelah menyadari hal itu muncul kesedihan. Kesedihan ini meningkatkan usahanya. Ini adalah kesedihan yang bermanfaat yang harus diterima.
Ada dua jenis kesedihan bermanfaat seperti tertulis dalam sakka panha sutta. Yang pertama disertai dengan vitaka-vicara ( pikiran yang terpecah-pecah ) dan yang lain tanpa vitaka-vicara. Tapi, kenyataan bila kita berpikir tentang kesedihan hal ini benar-benar nyata dan bukan suatu metafora.

Singkatnya, kesedihan dikatakan tidak bermanfaat jika berasal dari hasrat-hasrat indrawi atau sebab-sebab keduniawian. Sehingga kita harus mengabaikan pikiran-pikiran penyebab kesedihan. Jika kesedihan itu muncul secara spontan kita pun tidak boleh menyimpannya. Ia bisa hilang dengan sendirinya.

Kisah raja naga erakapatta

Kisah raja erakapatta

Ada seekor raja naga bernama erakapatta. Dalam salah satu kehidupannya yang lampau sewaktu masa buddha kassapa ia telah menjadi seorang bhikkhu untuk waktu yang lama. Karena kegelisahan ( kukkucha ) terhadap pelanggaran kecil* yang telah diperbuatnya, ia terlahir sebagai seekor naga. Sebagai seekor naga, ia menunggu munculnya seorang buddha baru. Erakapatta memiliki seorang putri yang cantik, dan melalui putrinya itu ia bertujuan menemukan sang buddha. Ia mengumumkan bahwa siapapun yang dapat menjawab pertanyaan sang putri berhak memperistrinya. Dua kali dalam sebulan, erakapatta mrnyuruh putrinya mencari di tempat terbuka dan menyanyikan pertanyaan-pertanyaannya. Banyak pelamar yang datang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan berharap memilikinya, tetapi tidak seorangpun dapat memberikan jawaban yang benar.

Suatu hari, melalui kekuatan mata-batinnya, sang buddha nampak seorang pemuda yang bernama uttara. Beliau juga mengetahui bahwa si pemuda akan mencapai tingkat kesucian sotapatti, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh putri erakapatta, sang naga. Waktu itu si pemuda telah betangkat dalam perjalanannya untuk bertemu dengan putri erakapatta. Sang buddha menghentikannya dan mengajarinya bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika sedang diberi pelajaran, uttara mencapai tingkat kesucian sotapatti. Sekarang di saat ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia tidak lagi memiliki keinginan terhadap putri erakapatta. Bagaimanapun uttara tetap pergi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk kebaikan bagi para makhluk.

Keempat pertanyaan pertama adalah sebagai berikut :
1. Siapakah penguasa ?
2. Apakah seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin dapat disebut seorang penguasa ?
3. Penguasa apakah yang bebas dari kekotoran batin ?
4. Orang yang seperti apakah yang disebut bodoh ?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah :
1. Ia yang mengontrol keenam indera adalah seorang penguasa.
2. Seseorang yang diliputi oleh kabut kekotoran batin tidak dapat disebut seorang penguasa; ia yang bebas dari kemelekatan disebut seorang penguasa.
3. Penguasa yang bebas dari dari kemelekatan adalah yang bebas dari kekotoran moral.
4. Seseorang yang menginginkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu adalah yang disebut bodoh.

Mendapat jawaban yang benar seperti di atas, putri naga kemudian menyanyikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan arus hawa nafsu, kehidupan berulang-ulang, pandangan-pandangan salah dan ketidaktahuan dan bagaimana dapat menanggulanginya. Uttara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seperti yang telah diajarkan oleh sang buddha.

Ketika erakapatta mendengar jawaban-jawaban ini, ia tahu bahwa seorang buddha telah muncul didunia ini. Sehingga ia meminta kepada uttara untuk mengantarkannya menghadap sang buddha. Saat melihat sang buddha, erakapatta menceritakan kepada sang buddha bagaimana ia telah menjadi seorang bhikkhu selama masa buddha kassapa, bagaimana ia tidak sengaja menyebabkan sebilah pisau rumput patah ketika ia sedang naik perahu, dan bagaimana ia sangat khawatir karena ia tidak melakukan pengakuan atas kesalahan kecil tersebut sebagaimana mestinya, dan akhirnya bagaimana ia terlahir sebagai seekor naga.

Setelah mendengarnya, sang buddha mengatakan kepada sang naga, betapa sulit untuk dilahirkan di alam manusia, dan untuk dilahirkan pada saat munculnya para buddha atau selama para buddha mengajar.

Kemudian buddha membabarkan syair berikut :

Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia,
Sungguh sulit kehidupan manusia,
Sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar,
Begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang buddha.

Khotbah diatas bermanfaat bagi banyak makhluk. Erakapatta sebagai seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Catatan :

* kenapa hanya mematahkan daun rumput saja bisa menjadi seekor naga ?

Ceritanya, erakapatta sewaktu menjadi bhikkhu di kehidupan lalunya, sedang naik perahu disungai gangga, lalu memegang daun tumbuhan yang tumbuh di tepi sungai, tetapi ia tidak segera melepaskannya sehingga bersamaan dengan melajunya perahu, daun rumput/ tanaman itu menjadi robek/ rusak. Hal ini termasuk pelanggaran kecil vinaya kebhikkhuan.

Ternyata bhikkhu ini tidak melakukan pengakuan dan karenanya tidak didisiplinkan sebagaimana mestinya, dan ketika ia menjelang ajal, timbullah dalam dirinya rasa kegelisahan yang teramat besar karena dia tidak mengakui pelanggaran tersebut. Akibat pikiran yang buruk yang kacau ini pada saat menjelang ajal, maka ia terlahir kembali menjadi naga.

√ naga bisa bersalin rupa mengambil wujud sebagai manusia. Naga-naga ini berada di bawah komando virupakkha, salah satu dari empat raja dewa di catummaharajika.